Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD, Perludem: Itu Kemunduran Demokrasi!

Fokus kepada masalah mahar politik

Jakarta, IDN Times - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian merencanakan tindak evaluasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2019 dengan memfokuskan evaluasi biaya politik yang tinggi.

Rencana evaluasi Pilkada langsung ini kemudian disambut oleh beberapa partai politik dengan mengusulkan pemilihan kepala daerah kembali ke DPRD.

Namun, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil, mengatakan bahwa usulan tersebut adalah kemunduran.

1. Pengembalian Pilkada ke DPRD adalah kemunduran

Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD, Perludem: Itu Kemunduran Demokrasi!(Ilustrasi) ANTARA FOTO/Reno Esnir

Fadli Ramadhanil mengatakan bahwa usulan mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD adalah tidak logis.

"Tidak produktif terhadap wacana mengevaluasi Pilkada, serta merupakan langkah mundur demokratisasi di Indonesia," kata Fadli melalui keterangan tertulis pada Sabtu (9/11).

Menurutnya, jika ingin mengevaluasi Pilkada, apalagi soal biaya politik yang tinggi, pembentukan undang-undang dan juga elite politik harus diketahui penyebabnya apa.

Baca Juga: Ini Alasan Perludem Minta Pilkada DKI Jakarta Digelar 2022

2. Harusnya respons Mendagri dan parpol lebih komprehensif

Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD, Perludem: Itu Kemunduran Demokrasi!Mendagri Tito Karnavian (Dok.Kemendagri)

Bagi Fadli, respons dari elite politik
dan Kemendagri tentang evaluasi Pilkada dapat lebih komprehensif dan menyentuh pokok masalahnya.

"Jika fokusnya biaya politik yang tinggi, harus betul-betul diklasifikasikan secara benar, pada komponen apakah calon kepala daerah mengeluarkan biaya terbesar," kata dia.

3. Mahar politik yang harusnya jadi bahan evaluasi

Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD, Perludem: Itu Kemunduran Demokrasi!(ilustrasi korupsi) IDN Times/Sukma Shakti

Dirinya berasumsi bahwa pengeluaran uang yang besar dari kepala daerah bisa saja digunakan untuk kegiatan yang harusnya tidak dilakukan di Pilkada, seperti mahar politik atau tiket pencalonan, yang merupakan akibat dari kelemahan sistem penegakan hukum

"Bakal calon kepala daerah pun kebanyakan mengungkap praktik mahar politik ini setelah yang bersangkutan gagal menjadi calon kepala daerah," kata Fadli.

Harusnya, menurut Fadli, momen tersebut yang jadi ajang evaluasi Pilkada yakni fokus kepada masalah mahar politik.

4. Langkah menghilangkan mahar politik

Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD, Perludem: Itu Kemunduran Demokrasi!Ilustrasi korupsi. (IDN Times/Santi Dewi)

Menurutnya, praktik mahar politik dapat diselesaikan dengan beberapa langkah.

Pertama, dengan transparansi setiap penyumbang partai, harus dilakukan dan dilaporkan secara terbuka. Tiap sumbangan juga harus mengikuti nominal partai yang diatur dalam UU Partai Politik.

Kedua, jika partai politik diberikan uang kampanye, maka laporan awal mesti dicatat sebagai sumbangan.

Terakhir, larangan mahar politik di dalam UU Pilkada harus diperbaiki. Menurut Fadli, besarnya biaya politik pasangan calon dapat disebabkan karena tidak adanya batasan belanja kampanye realistis dan memadai di dalam UU Pilkada.

Baca Juga: Diulang karena Tanpa Pemenang, 6 Fakta Pilkada Makassar 2020    

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya