Wamenkumham: Keadilan Restoratif Solusi Over Kapasitas Lapas
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy O.S Hiariej mengungkapkan, kebijakan restorative justice atau keadilan restoratif memiliki manfaat untuk mengatasi kelebihan kapasitas narapidana yang ada di lembaga pemasyarakatan Indonesia.
"Bagi kami Kementerian Hukum dan HAM pendekatan restorative justice sangat bermanfaat, dan ini merupakan suatu hal yang penting karena masalah terbesar yang dihadapi oleh Kemenkumham adalah overcrowding atau over kapasitas di lapas," kata dia dalam agenda Konferensi Nasional Keadilan Restoratif dilihat dari Youtube ICJR, Rabu (2/11/2022).
Eddy mengatakan, lapas di Indonesia hanya bisa menampung 140.000 narapidana, sementara sekarang jumlah narapidana yang ada berkisar 260.000 orang, atau lebih sekitar 120.000.
Baca Juga: 9 Kasus Dihentikan Kejati Sumut dengan Restoratif Justice
1. Pengertian dari restoratif itu sendiri
Keadilan restoratif, kata dia, punya dua pengertian, yang pertama adalah pengertian dari segi konsep dan yang kedua adalah pengertian dari segi proses
"Pengertian restoratif dari segi konsep mengandung makna bahwa restoratif bukanlah pada penghukuman tetapi pada pemulihan," ujarnya.
Sedangkan pengertian restorative dari segi proses, mengandung makna bahwa ini adalah penyelesaian perkara pidana yang tidak hanya berorientasi pada pelaku, tetapi juga melibatkan korban lebih dari itu. Yakni bisa juga keluarga korban, keluarga pelaku, bahkan bisa melibatkan masyarakat di mana pelaku bertempat tinggal.
Baca Juga: Penegak Hukum Diminta Hati-Hati Terjebak Persepsi Keadilan Restoratif
2. Restorative justice jadikan hukum pidana manusiawi
Ke depan, kata Eddy, yang harus diperhatikan bersama soal restorative justice ini adalah agar ada koordinasi, kolaborasi, dan kerjasama antaraparat penegak hukum dan lembaga terkait dalam hal ini adalah kepolisian, Kejaksaan, Kementerian Hukum dan HAM, LPSK serta Mahkamah Agung jadi kunci mewujudkan restorative itu sendiri
"Adalah keliru jika kita memandang restorative justice akan membuat hukum pidana menjadi permisif, tetapi membuat hukum pidana itu sebagai sebuah hal yang manusiawi, yang tidak hanya menjadikan korban sebagai subjek dalam penyelesaian, tetapi korban juga merupakan objek dalam penyelesaian perkara pidana," ujarnya.
3. Overcrowding dan perubahan paradigma hukum pidana tak hanya pada aparat hukum
Dia mengatakan, keberhasilan suatu sistem peradilan pidana di negara-negara maju bukan terletak pada berapa banyak kasus hukum yang bisa diproses dan banyaknya kasus hukum yang bisa diselesaikan, namun dari bagaimana usaha masyarakat bersama untuk mencegah terjadinya kejahatan.
"Dengan demikian masalah overcrowing dan perubahan paradigma hukum pidana tidak hanya pada aparat hukum, tetapi yang paling penting adalah kepada seluruh masyarakat Indonesia," kata dia.
Bukan hanya itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan serta Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), kata dia, juga berkaitan dengan penerapan keadilan restoratif.
"Kita mohon doanya bersama agar pada tahun ini kita bisa punya KUHP baru karena pembaharuan hukum pidana khususnya terkait restorative justice ini dibuka pintu seluas-luasnya dalam suatu kitab undang-undang hukum pidana," ujarnya.