[WANSUS] Herawati: Eijkman Segera Uji Klinik Kandidat Vaksin COVID-19

Masyarakat harus mulai berpikir hidup dengan COVID-19

Jakarta, IDN Times - Indonesia dan dunia hingga saat ini masih menghadapi pandemik virus corona atau COVID-19. Selain tenaga medis yang berjuang untuk memberikan kesembuhan bagi para pasien, sejumlah ahli dan peneliti juga kini fokus berupaya menemukan vaksin hingga metode pengobatan yang bisa menekan angka penyebaran COVID-19 ini.

Wakil Kepala Bidang Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekular (LBM) Eijkman Institute, Herawati Sudoyo, berbagi cerita bagaimana upaya Indonesia menemukan vaksin hingga isu-isu terkait virus corona. Berikut wawancara khusus IDN Times bersama Herawati Sudoyo, Sabtu (16/5).

Baca Juga: Peneliti Eijkman Institute: COVID-19 Tak Akan Hilang

1. Indonesia sedang melakukan terapi plasma untuk mengobati pasien COVID-19, seperti apa terapi ini dan apa kesulitan dalam penerapannya?

Terapi plasma darah ini sebenarnya sesuatu yang sudah lama, ini teknologi yang sudah dicoba di berbagai macam penyakit virus yang terakhir. Terapi ini digunakan untuk mengobati pasien-pasien dengan ebola. Jadi sebenarnya, sederhana sekali, kita itu mengambil plasma, yaitu cairan yang ada di dalam memisahkan plasma tersebut dari darah kita, dari pasien yang sembuh dari COVID-19.

Nah, kemudian dari situ kita memberikan kepada pasien yang sedang sakit, tapi tidak dalam keadaan berat sekali.

Itulah yang sebenarnya dilakukan pada terapi konvalesen, kenapa orang menggunakan alternatif ini, karena kita tahu bahwa sampai sekarang belum ada pengobatannya, jadi ini adalah sebenarnya jalan pintas untuk dapat memberikan pengobatan pada pasien-pasien dengan COVID-19.

Sebenarnya ini adalah merupakan konsorsium, kita bermitra ada dokter-dokter di rumah sakit, karena merekalah yang memiliki pasien-pasien tersebut, kemudian PMI karena mempunyai unit transfusi darah. PMI dapat melakukan plasmaferesis, yakni memisahkan plasma dari darah lengkap, terus kemudian dari situ barulah lembaga Eijkman berfungsi untuk melakukan sesuai dengan kepakaran kita maupun misi kita.

Jadi kita melakukan yang namanya uji netralisasi. Jadi di situ dites, apakah plasma tersebut memang mampu untuk membunuh atau mengurangi virus itu.

Kenapa kok kita, kenapa Eijkman? Karena memang kita memiliki laboratorium yang bisa digunakan untuk perbanyakan virus. Kita tahu bahwa virus ini patogen berbahaya karena kita belum punya vaksin, karena kita belum punya pengobatan, jadi dimasukkan dalam kategori itu.

Tentu saja karena kita masuk laboratorium khusus, nah itulah peran lembaga Eijkman, setelah itu ya kembali lagi ke rumah sakit. Kesulitan seperti apa dan berapa persen keakuratan menggunakan terapi ini 

2. Seberapa akurat terapi plasma darah ini untuk mengobati pasien COVID-19, dan apakah khusus hanya untuk pasien kritis?

Uji klinik mengenai penggunaan plasma konvalesen di COVID-19 itu sudah dimulai di China, cuma bagaimanapun kita tetap harus melakukan uji klinik tersebut. Jadi sebenarnya paling bagus adalah kita melakukan uji tersebut terlebih dahulu terhadap pasien terbatas, baru kemudian kita lakukan dalam pasien yang jauh lebih banyak, dan bisa digunakan. Jadi sebenarnya tidak ada kendala untuk itu, yang kuncinya adalah koordinasi saja.

Kondisi kritis sekali kita tidak melakukan plasma konvalesen, karena nanti kita tidak tahu sebenarnya apakah ini dia side effect-nya ataukah karena dia sudah masuk dalam titik di mana tidak bisa kembali lagi, biasanya atau persyaratannya adalah digunakan di pasien yang tidak terlalu atau bukan terminal 

3. Jumlah pasien sembuh meningkat di Indonesia, apakah bisa disebut bahwa kasus COVID-19 sudah menurun?

Saya kira kuncinya adalah pertama perbanyakan dari tes dan itu sudah. Kita menyadari bahwa sampai saat ini tesnya belum mencapai target yang kita inginkan. Makin banyak tes yang dilakukan, semakin dapat kita melakukan analisis dengan benar.

Analisis macam-macam apakah prediksi, apakah tadi itu penurunan masuk dalam prediksi. Jadi apa yang dilakukan sampai sekarang maupun hasil-hasil yang sudah ada itu, sebenarnya menggunakan data-data apa pun yang tersedia sekarang, tapi kita sekarang dan semuanya tahu bahwa kita harus perbanyak tes dulu, baru dari situ kita dapat melakukan prediksi dengan benar.

4. Virus corona di Indonesia terus bermutasi, bisa dijelaskan bagaimana virus ini bermutasi?

Pada tanggal 4 Mei kemarin itu meng-upload whole genome sequence (WGS), jadi itu informasi genetik dari 3 coronavirus di Indonesia. Seminggu kemudian kita meng-upload kembali 4 dari sekuens coronavirus.

Ke mana itu di-upload? Ada satu badan internasional NGO, GISAID, di mana semua peneliti di dunia menyimpan data virusnya, sehingga semua peneliti dunia dapat menggunakannya, itu public access. Nah kita sudah memasukkan atau memberikan hasil kita kepada GISAID tersebut sebanyak 7.

Banyak yang menanyakan sebenarnya asal (virus corona)nya dari mana, dengan sequence itu kita memang dapat mencari asal-usul, kita memang dapat melihat dari mana
datangnya, kita dapat melihat tipenya, kita dapat melihat apakah terjadi mutasi yang ke arah jauh lebih virulen dan kita juga dapat sebenarnya melihat kapan sih umur dari virus tersebut, jadi maksudnya kapan masuk ke Indonesia, kapan dia punya motif-motif tertentu tadi.

Tapi kita di Indonesia ini sebenarnya belum bisa melakukan analisis dengan benar, karena apa, karena kita perlu jauh lebih banyak untuk dapat mengambil konklusi yang baik.

Ada suatu badan yang begitu sekuens kita masuk dia langsung melakukan analisis, dan analisis itulah yang bisa memperlihatkan misalnya sekuens informasi virus nomor 1 ,2, 3 itu asalnya dari mana saja.

Tapi, kami belum berani mengambil kesimpulan tersebut. Kita sendiri rasanya harus mendapatkan data yang jauh lebih banyak, atau kesimpulan itu dari jumlah informasi genetik yang jauh lebih banyak daripada apa yang kita miliki.

5. Terkait rencana pelonggaran PSBB, apa itu herd immunity (kekebalan kelompok) dan apa dampaknya?

Herd immunity adalah suatu imunitas yang memang keluar dari kita sendiri, karena exposure ya, karena kita sudah terpapar. Tapi kita tidak tahu sekarang ini, jalan satu-satunya adalah sebenarnya melakukan mapping dengan jauh lebih baik, lebih banyak, dan kemudian tentunya kita mengharapkan tetap ada vaksinasi.

Karena herd immunity bisa saja seleksi, mereka-mereka yang memiliki imunitas akan bertahan hidup, mereka yang tidak punya imunitas akan hilang. Tentunya itu berarti kita masih ada risiko-risiko itu, jadi paling bagus tentunya adalah kita mengusahakan yang terbaik buat bangsa ini.

Tidak usah kita berbicara mengenai herd immunity karena itu sebenarnya istilah, yang bagaimana kita punya imunitas. Coba sekarang lihat apakah kita itu, sekarang ini kita masih termasuk kami memeriksa tes untuk PCR, virusnya ini bagi mereka-mereka yang sudah memiliki gejala. Padahal kita tahu bahwa yang memiliki gejala itu tidak terlalu banyak dibanding dengan orang tanpa gejala, yang bebas berkeliaran kemana-mana.

Jadi yang paling baik tentunya adalah kita bisa saling cover lebih banyak, dari situ kita bisa mempelajari, mungkin gak sih bahwa mereka-mereka itu punya imunitas, kenapa mereka punya imunitas? Kenapa yang lain tidak? Semuanya dapat secara ilmiah diterangkan.

6. Tes dan spesimen kita semakin menurun jumlahnya, menurut Anda apa penyebabnya? Kenapa kita masih mengimpor kit reagen?

Kalau pertanyaannya demikian drop tadi itu macam-macam, apakah memang bahwa yang datang itu jauh lebih rendah, dengan sendirinya akan turun.

Kedua, apa reagen kita itu habis atau tidak. Jadi bisa saja itu terjadi, terus kemudian jadi salah satu reagen aja misalnya habis karena itu banyak yang harus kita lakukan, dengan
sendirinya jumlah akan menurun. Tapi kalau kita lihat sebenarnya dari gambaran, sekarang (kasus positif) masih naik, kita belum mencapai puncak (pandemik)nya.

Kita lihat 31 Desember sekarang itu bulan Mei pertengahan, itu ada 4 setengah bulan. Biasanya kalau suatu perusahaan atau company untuk kimia mereka membuat suatu tes itu panjang jalannya.

Karena apa? Karena ada quality assurance ada quality control kemudian goal standard-nya apa, jadi yang pertama kali mengeluarkan tes itu biasa dijadikan goal standard , kalau kemudian kita misalnya tiba-tiba membuat sesuatu atau tes dalam waktu sangat sangat pendek,

Nah QAQC, pertanyaan dari awam aja QAQC-nya bagaimana? Validasinya bagaimana, sehingga kita ini tentu harus, misalnya melakukan validasi terlebih dahulu. Itu yang sebenarnya kita sedang lakukan, dengan beberapa tes yang dirakit di Indonesia, jadi harus ada validasi.

7. Kapan vaksin COVID-19 bisa ditemukan?

Bagaimana kalau saya bilang 12 bulan dari mulai dilakukan. Jadi kita itu diminta untuk juga membantu pengembangan vaksin Indonesia. Karena itu, kita melakukan tadi mencari informasi genetik dari virus-virus yang ditemukan di Indonesia. Apakah memang mereka itu punya motif spesifik atau tidak, sebenarnya kalau tidak ada motif spesifik dan kita menganggap semuanya sama, kita mengambil aja tadi dari bank data, tapi kita kan tidak tahu.

Kita tuh betul-betul buta dengan virus penyebab COVID-19 ini. Karena saya kira seluruh dunia sebenarnya tidak siap dan kemudian juga pengetahuannya sama sekali tidak ada. Nah, karena itu kita tidak bisa begitu saja mengandalkan data-data yang ada di dunia, karena itu kita lakukan. Oke kalau pengembangan vaksin jadi step on, tahap pertama itu apa? Ya cari motifnya, apakah memang virus yang ada di Indonesia itu unik atau tidak.

Nah, itulah mengapa kita baru meng-upload 7, tetapi target kita sih kalau bisa lebih dari 50 dan mencapai 100 untuk informasinya. Tapi in the same time, sambil nunggu yang 100 kita sudah mulai sebenarnya sekarang ini masuk ke tahap 2, jadi 2 bulan.

Satu bulan pertama tahap 1 adalah sikonsing, tadi informasi genetik, kumpulkan sebanyak-banyaknya, tahap kedua kita mendesain virus tersebut yang mungkin kalau dimasukkan ke dalam tubuh, itu dapat meningkatkan maupun merangsang terjadinya antibodi, karena itu penting.

Kalau kita masukkan bagian dalam virus, fragmennya ya, potongannya kemudian tidak meningkatkan atau merangsang terjadinya antibody, berarti itu gagal. Jadi kita masih cari tempat lain lagi, nah kita juga mengharapkan bahwa desain maupun strategi yang kita ambil itu bagus atau cocok.

Cuma begini pada dasarnya, normalnya kalau pembuatan vaksin itu akan memerlukan kurang lebih 5 tahun lebih untuk sampai ke pasar, tapi dengan percepatan untuk coronavirus 2 ini, di dunia sampai sekarang sudah hampir 100 institusi lembaga perusahaan yang membuat vaksin, bahkan beberapa dan 2 di antaranya itu sudah uji klinik.

Bahkan kita juga akan melakukan uji klinik dari kandidat vaksin tersebut. Nah, jadi semua itu percepatan, makanya kalau ditanya kapan, ya kita Indonesia punya, kita harus kasih target itu, kita harus melakukan percepatan, begitu.

8. Apakah relaksasi PSBB yang dicanangkan pemerintah bisa menjamin masyarakat bebas dari COVID-19?

Saya kira begini, seperti tadi saya katakan, bahwa kita itu belum mengenal 100 persen karakter dari virus ini. Jadi apa yang mesti kita lakukan dengan virus ini adalah seandainya memang relaksasi itu terjadi, walaupun saya tidak begitu suka melakukan semua kegiatan yang disebut the new normal, kita beraktivitas tetap dengan menjaga jarak, melakukan semua tindakan yang sehat.

Misalnya mau tidak mau kita menggunakan masker untuk melindungi publik dan kita sendiri, kerumunan juga, kalau bisa tetap tidak melakukan kerumunan massal, jadi memang kita akan berubah, tapi memang itulah yang harus kita jalani.

Sebenarnya kalau bisa adalah target kita itu tercapai dengan memperbanyak tes, supaya betul-betul kita bisa melihat prediksi, melihat kenaikan-kenaikan maupun penurunan dari kurva tersebut.

Nah tadi ada komentar, kayaknya sudah mencapai puncak. Nah kita akan melihat bahwa prediksi dari beberapa institusi itu macam-macam, prediksi kami sendiri tadi awalnya Mei akhir puncaknya, tapi kemudian ada beberapa prediksi lain yang mundur dan yang terakhir dari Singapura berdasarkan data-data justru mundur lagi.

Kita sebenarnya tinggal mau melihat keadaan kita sekarang bagaimana, keadaan di masyarakat sekarang. Bisa tidak kita kontrol? Karena sekarang yang tidak kita inginkan bahwa tenaga kesehatan akan kewalahan dan juga tenaga laboratorium akan kewalahan, kalau misalnya publik itu tidak disiplin dan tidak peduli dengan yang lainnya.

Saya kira sekali lagi kita itu harus bisa memberikan pengertian kepada publik, kita itu harus menjaga satu sama lain, karena tentunya apabila memikirkan diri sendiri kita akan tidak peduli dengan apa yang namanya jaga jarak.

Karena sejujurnya dengan kita dua setengah bulan tinggal di rumah, tidak beraktivitas dan sebagainya memang jelas sekali, bahwa itu menghambat penyebaran maupun penularan virus corona.

Kita belum apa-apa sebenarnya dibanding dengan negara-negara lain yang sudah jauh lebih dulu melakukan karantina sendiri, mandiri dan sebagainya, dan kemudian sekarang relaksasi, padahal kan kita dua bulan terlambat (menerapkan PSBB).

9. Kenapa Lab Biosafety Levels 2 di Indonesia terbatas?

Begini, kita itu tergantung dari kegiatan laboratorium tersebut, laboratorium yang biasa bekerja dengan patogen-patogen yang memang terdedikasi untuk mikroorganisme berbahaya. Misalnya dia biasa bekerja dengan TBC, tapi yang resisten terhadap obat-obatan, itu sangat berbahaya dia akan punya laboratorium tersebut, BSL 2 itu, dan akan bekerja dalam suatu kabinet yang melindungi dia dari kuman-kuman dan kuman-kuman juga tidak bisa keluar dari contaiment tersebut

Jadi dua arah yang dilindungi, karena tidak semua laboratorium di Indonesia itu siap dengan itu, tetapi dengan percepatan ini kita mencoba untuk mendayagunakan semua kemampuan yang ada di Indonesia, banyak sekali sebenarnya laboratorium yang sudah bekerja dengan HIV maupun TB, itu pun yang kemudian didayagunakan untuk mendeteksi virus corona ini.

10. WHO mengatakan virus corona tidak akan hilang. Apa pendapat Anda dan apa yang harus kita persiapkan?

Saya kok agak setuju atau setuju dengan apa yang dikemukakan oleh WHO, karena kita tahu bahwa tiap hari itu informasi berubah dan itu tidak masalah. Sama seperti campak, apakah benar-benar bisa hilang, sama sekali tidak kan. Nah, walaupun kita sudah lakukan vaksinasi, sebagian publik memang ada yang tidak mau vaksinasi, sehingga outbreak bisa terjadi di mana-mana.

Jadi apakah SARS COVID-19 itu atau COVID-19 itu nantinya akan turun dan kemudian akan kembali lagi, bisa saja terjadi lagi. Tapi kita harapkan bahwa vaksinnya sudah ada. Jadi kita sudah bisa menggunakan pencegahan itu, daripada kita nantinya keluar lagi dan kita tidak terlindungi, kejadian seperti itu bisa saja. Menurut saya ya, jadi kita hidup dengan COVID-19. Tidak menampik saya kira kita sudah mulai berpikir ke arah itu, ya kelihatannya demikian.

Kalau misalnya jumlah mereka yang masuk ke dalam kategori sakit berat itu sudah menurun, saya kira kalau misalnya dia positif ya mungkin nantinya yang  ada obat-obat baru juga, kita sebenarnya sudah cukup siap dengan itu, nantinya ya kondisi aman bisa kita capai, saya kira.

Kita akan mempersiapkan diri nih dengan relaksasi yang sebenarnya juga berarti bisa keluar dari rumah, tetapi kembali ini normal, kita masih belum tahu apakah memang semuanya terdeteksi.

Jadi kalau dari sisi kami, kami lebih dahulukan memperkuat tes tadi, dan itu sudah memang dilakukan dengan otomatisasi, kemudian tes dibuat supaya lebih close, sehingga tidak perlu terlalu ketat persyaratan laboratoriumnya.

Kemudian yang paling penting adalah penelusuran kontak dengan pasien positif, nah kita mencoba untuk mematikan penyebaran tersebut, jadi banyak kegiatan yang sudah lebih dari sisi kita.

Nah publik kita minta yang sudah tahu bahwa dia itu ada kontak dan sebagainya, karantina mandiri, kembali sebenarnya arah situ. Kalau keluar (rumah) ya kita harus mengikuti protokol-protokol, kalau hidup sehat, jaga jarak, sampai benar-benar bisa dikatakan aman.

Baca Juga: Eijkman: Dana Pemerintah untuk Bikin Vaksin COVID-19 Sangat Sedikit

Topik:

  • Sunariyah
  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya