[WANSUS] Komnas Perempuan Respons Desakan Jokowi Sahkan RUU TPKS

Jalan panjang mandeknya RUU TPKS 

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko “Jokowi” Widodo meminta agar rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual (TPKS) untuk segera disahkan.

RUU PKS sebelum menjadi TPKS, jauh sebelumnya adalah rancangan dari Komnas Perempuan, LBH Apik Jakarta dan Forum Pengada Layanan (FPL) yang diserahkan pada DPR 6 Juni 2016. Kemudian Komnas Perempuan menyerahkan draf RUU PKS ini ke Jokowi pada 8 Juni 2016. 

Kemudian pada 20 Juni  di tahun yang sama, di rapat Paripurna, RUU PKS masuk sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2016 hingga pada 5 Desember 2017 kembali ditetapkan menjadi RUU TPKS (inisiatif DPR) sebagai satu dari 50 RUU yang masuk Prolegnas Prioritas 2018. Mandek hingga 2019, RUU ini belum juga disahkan dan kembali masuk sebagai Prolegnas 2019-2024, hingga akhirnya sempat dikeluarkan dalam Prolegnas 2020 dan masuk kembali di Prolegnas 2021.

RUU ini juga mendapat banyak pro dan kontra dari fraksi-fraksi partai yang ada di DPR, hingga kemarin Presiden Joko "Jokowi" Widodo berharap RUU TPKS bisa segera disahkan guna memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual.

"Saya berharap RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Ini segera disahkan, sehingga dapat memberikan perlindungan secara maksimal bagi korban kekerasan seksual di Tanah Air," kata Jokowi dalam keterangan persnya yang disiarkan langsung di kanal YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (4/1/2022).

Lantas apa tanggapan Komnas Perempuan mengenai instruksi Presiden Jokowi terkait RUU TPKS ini? Berikut adalah kutipan wawancara khusus IDN Times, bersama Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani.

1. Apa tanggapan Komnas Perempuan atas desakan Presiden terkait pengesahan RUU TPKS ini?

[WANSUS] Komnas Perempuan Respons Desakan Jokowi Sahkan RUU TPKSKetua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani dalam wawancara khusus bersama IDN Times, Senin (10/1/2022). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Membahas RUU TPKS, apalagi di awal tahun 2022 ya kita semuanya menanti sangat bahwa RUU PKS ini akan menjadi salah satu agenda prioritas di dalam pembahasan program legislasi nasional di tahun 2022 ini.

Kita tahu bahwa sebetulnya upaya untuk membentuk payung hukum yang lebih baik, untuk isu kekerasan seksual ini kalau dia sendiri sudah sejak 2010 ya secara spesifik, tetapi memang ketika kita nanti dalam program legislasinya dia sudah mulai sekitar 7 tahun yang lalu, jadi di periode yang lalu DPR periode 2014-2019 tidak berhasil menyelesaikan pembahasannya. Sementara untuk periode 2019-2024 ini kita tahu bahwa sudah sudah berproses dua tahun ya, dan kita tahu bahwa banyak kasus yang muncul, baik itu di media media massa juga media media sosial di Indonesia dan selain isu terus melambung dan kompleks sekali kasus-kasus yang muncul belakangan ini kan.

Tapi daya tanggap kita juga memang sangat terbatas itu dan keterbatasan itu kan bukan karena hanya sekadar gak punya budget ya Ini bukan sekadar tidak punya alokasi keuangan ini lebih dari itu ada persoalan di tingkatan substansi, struktur dan juga budaya hukum serta proses pencegahan yang tidak aktif.

Karenanya pembahasan dan pekerjaan segera dari rancangan undang-undang tindak pidana kekerasan yang betul-betul memperhatikan pengalaman dari perempuan korban kekerasan itu sangat kita pikirkan.

Dengan pernyataan dari pak Presiden kami menyambut baik ya, dan kami juga mengamati bahwa satgas yang dibentuk selama ini telah menyelenggarakan pertemuan beberapa kali gitu untuk mempercepat proses pembahasan.

Jadi kita menyambut sangat baik pernyataan dari bapak presiden dan tentunya kita berharap, seringkali bapak Presiden dipolitisir ya tapi sesungguhnya dia adalah wajah dari kepala pemerintahan sekaligus kepala negara, maka kami sungguh berharap pernyataan ini kemudian menjadi dorongan bagi sejumlah pihak termasuk partai-partai yang selama ini masih ingin menunda atau menolak rancangan UU ini untuk segera turut membahas memastikan kepentingan korban itu terselenggara.

Baca Juga: Komnas Perempuan Optimistis RUU TPKS Sah, Suara Millennial Penentunya

2. Apakah Presiden terlalu lama buka suara terkait hal ini, mengingat pengesahannya kerap mandek?

Saya pikir proses yang panjang ini sudah lebih masuk ke dua periode ini menunjukkan bahwa persoalannya sangat serius. Jadi yang pertama bukan persoalan isu kekerasan seksual nya karena semua orang bilang kami sepakat, bahkan dari partai yang ingin menunda atau yang menolak bahkan juga begitu, kami sepakat bahwa isu kekerasan seksual ini sangat genting, kami sepakati harus segera memiliki payung hukum yang lebih baik untuk perlindungan korban dan seterusnya.

Tetapi, sebenarnya kita lebih penting dekat tapinya kenapa gitu, ada yang sebetulnya karena menurut kami ya tidak terlalu memahami isu kekerasan seksual sebagai sebuah peristiwa yang sangat khas, memiliki dimensi yang khas dalam pengalaman, baik itu dia perempuan ketika menjadi korban, ataupun laki-laki ketika menjadi korban.

Begitu juga dalam situasi di dalam masyarakat, bagaimana masyarakat menyikapi atau merespon isu kekerasan seksual ini, ada yang ingin mencampurkannya dengan persoalan-persoalan kesusilaan lainnya, secara awam memang kita memikirkan bahwa isu kekerasan seksual ini terkait dengan bagaimana seseorang berperilaku ya, bagaimana orang merasa ia bisa melakukan objektifikasi seksual pada yang lain, bagaimana orang menggunakan ruang kuasa yang ia miliki kemudian melakukan penyerangan maupun ancaman ataupun berbagai bentuk lainnya yang menyebabkan seseorang kehilangan baik itu otonomi atas dirinya dalam menentukan apakah dia ingin atau tidak ingin berelasi seksual atau juga dampak yang paling berat itu kan sebetulnya trauma yang berkepanjangan ya dan bahkan bisa menyebabkan orang kehilangan keinginan untuk melanjutkan kehidupannya.

Tetapi kalau dia mempercampuradukkan maka persoalan kesusilaan yang didiskusikan, itu kan di satu titik ada yang menjadi korban, tetapi isu yang lain adalah persoalan-persoalan kesusilaan di mana tidak ada yang menjadi korban dalam misalnya hubungan suka sama suka, diluar perkawinan, yang dianggap bertentangan dengan kesusilaan.

Bayangkan korban perkosaan ketika dicampur dengan persoalan kesusilaan ini seringkali akan lebih banyak dituduh sebagai orang yang melakukannya dengan hubungan suka sama suka, artinya ini kan pasti akan melemahkan korban jiwa tidak sebangun yang kelihatannya berkesinambungan, tetapi dia tidak sebangun, karena itu kalau dia dicampurkan dalam pengaturannya justru akan merugikan korban.

Hal lain juga berbagai tantangan tantangan yang umumnya menimbulkan negosiasi-negosiasi politik yang berakibat pada reduksi di dalam materi muatan perundang-undangan yang akan dilakukanlah ini yang sangat perlu kita perhatikan bersama agar RUU ini ini bukan hanya sekadar cepat pengesahannya, tetapi betul-betul bisa melingkupi kebutuhan-kebutuhan korban selama ini dan bisa mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapi di dalam proses hukum dan juga proses pemulihannya. 

3. Menurut Komnas Perempuan, apa poin krusial yang harus jadi perhatian dalam pengesahan RUU TPKS ini?

[WANSUS] Komnas Perempuan Respons Desakan Jokowi Sahkan RUU TPKSDokumentasi - Desakan pengesahan RUU PKS dalam aksi Gejayan Memanggil di Yogyakarta pada 30 September 2019. (IDN Times/Pito Agustin Rudiana)

Isu yang seringkali dipikirkan dan seringkali menjadi tiar kebohongan dari muatan RUU TPKS ini adalah kemudian karena dia tidak mengatur persoalan tentang zina misalnya pengujian dianggap yang memperbolehkan atau permisif pada zina itu sendiri ini sangat tidak tepat, karena tadi saya sampaikan persoalannya tidak dapat digabungkan karena kalau digabungkan kita akan mengurangi kemungkinan korban mendapatkan perlindungan yang baik, karena sedari awal struktur ataupun konstruksi pikir kita kemudian menempatkan sebuah ruang ragu-ragu abu-abu, apakah ini memang tindak kekerasan atau perilaku yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat.

Pada isu zina sebetulnya sangat rumit ya, tidak bisa serta merta kita berpendapat bahwa dengan demikian situasi yang merupakan persoalan sosial ini sekaligus persoalan hukum ini harus ditindak dengan penanganan pidana. Kan ada sebenarnya ada filosofi hukumnya ya tentang apa yang sebaiknya dan bagaimana pengaturannya, apakah melalui hukum pidana atau bukan.

Misalnya saja dalam isu hubungan di luar pernikahan yang dilakukan oleh salah satu pihaknya adalah orang yang telah berpasangan secara resmi atau menikah, tidak dengan serta merta kita bisa mengatakan bahwa kita cabut dia jadi delik biasa dan delik aduan di dalam KUHP kita sekarang delik aduan ya.

Jadi artinya pasangannya yang menikah secara resmi inilah yang dapat melaporkan bahwa dia menjadi pihak yang dirugikan akibat hubungan di luar perkawinan yang dilakukan oleh pasangannya dengan orang lain, bagi perempuan dalam pengalaman pendokumentasian Komnas Perempuan, tidaklah gampang untuk memutuskan melalui proses hukum bagi pasangannya yang melakukan hubungan di luar perkawinan dengan perselingkuhan atau yang lainnya ya. 

Karena ada banyak pertimbangan, ini bukan sekadar pertimbangan ekonomi, di mana seorang perempuan punya ketergantungan pada pasangannya, tetapi bisa juga pertimbangan-pertimbangan sosial lain, termasuk misalnya Bagaimana jika anak-anaknya kehilangan sosok seorang ayahnya sekalipun mungkin sosok ayahnya sendiri hanya bersifat formalistik ya mungkin tidak pernah ada di rumah lebih sering keluyuran di luar punya kelakuan yang entah bagaimana, tetapi secara formal anak-anaknya akan tetap diakui sebagai anak yang punya ayah kan ya di dalam kartu keluarganya sekurang-kurangnya.

Begitu juga kalau dia kemudian persoalan hukum ini membawa pasangannya ke ranah pidana penjara misalnya nanti Anaknya akan memiliki stigma sebagai anak yang berayahkan seorang narapidana, bisa jadi akan menyulitkan anaknya di masa depan ketika mencari pasangan, apalagi komunitas yang mensyaratkan ayahnya menjadi wali untuk bisa hadir di dalam pernikahan, dengan pasti akan sulit sekali ya.

Jadi untuk seorang menentukan apakah akan menyikapi perselingkuhan suaminya dengan ranah hukum itu sesuatu keputusan yang luar biasa banyak. Banyak sebetulnya yang melaporkan dengan maksud agar suaminya ini berhenti berhubungan, bukan dengan maksud untuk mempidanakan bahkan juga banyak yang kemudian mengambil keputusan untuk bercerai saja, karena meskipun bercerai secara administratif sekurang-kurangnya, tadinya persoalan-persoalan sosial di masa depan itu masih bisa lebih tertanggulangi. 

Jadi isu tentang kesusilaan itu di luar itu kekerasan seksual ya itu justru lebih pelik yang perlu mendapatkan perhatian, juga yang sangat serius dan mungkin pengaturannya itu bukan di ruang hukum pidana tetapi di ruang pendidikan baik itu di dalam institusi seperti keluarga yang kita kenal memang merupakan institusi penting di dalam masyarakat kita atau juga melalui lembaga-lembaga keagamaan.

Kita tahu ya banyak lembaga keagamaan yang menyelenggarakan kursus sebelum perkawinan sekarang untuk dapat menjangkau kawan-kawan muslim, KUA juga menyelenggarakan kursus bagi calon pengantin yang diharapkan bisa mengurangi misalnya ya peristiwa-peristiwa hubungan di luar perkawinan dari orang yang telah berpasangan itu, tentunya bisa juga melalui berbagai program-program untuk anak-anak muda jika itu yang dikhawatirkan kan, ada juga melalui pendidikan lembaga-lembaga pendidikan.

Kita juga punya kementerian Menpora ya untuk Pemuda dan Olahraga itu jadi satu fokus yang perlu diperhatikan sehingga kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif bagi anak muda yang selalu dicurigai ya, anak-anak muda ini kan dicurigai oleh banyak pihak sebagai orang yang lebih lose ya, yang tidak patuh nilai moral, karenanya akan berhubungan seksual di luar, berbagai prasangka dan praduga pada anak muda yang sebetulnya lebih banyak lagi anak muda yang sebetulnya berproduksi dengan luar biasa gitu kreatif dan lain-lain, yang tidak sama sekali di dalam bayangan prasangka itu.

Pengaturannya bisa jadi ada pengaturannya bisa jadi bukan di dalam ranah hukum pidana melainkan di ruang-ruang pengaturan yang lain tidak berarti persoalan ini tidak penting, karena memang juga dia bisa menjadi faktor pemicu terjadinya kekerasan tetapi sekali lagi ya harus dibedakan dengan kekerasan itu sendiri-sendiri. Nah dengan membedakan dengan kekerasan itu sendiri kita memiliki ruang yang lebih besar untuk memastikan yang pertama pemulihan korban terjadi, mengutus impunitas bisa diwujudkan dan untuk mencegah peristiwa serupa terulang lagi di masa depan.

4. Ada rekomendasi tidak atau komunikasi dari Komnas Perempuan ke DPR?

Kalau lihat dari sejarah penyelenggaraan RUU TPKS ini ya, memang naskah-naskah awal sebagai naskah akademis itu berasal dari Komnas Perempuan. Kami sama lembaga pengadilan layanan selama 5 tahun dan mendedikasikan untuk mengumpulkan pengalaman-pengalaman perempuan korban kekerasan seksual dalam berbagai jenisnya, dan dalam hambatannya untuk dapat disikapi secara hukum.

Tentunya penyikapan secara hukum ini juga menyasar ya pada aspek-aspek budaya sosial ekonomi, psikologi dan lain-lain. 

Di dalam proses pembahasan periode sebelumnya juga memberikan daftar inventarisir masalah, kami juga telah memberikan keterangan sejumlah pihak termasuk baleg dalam perumusan yang di tahun 2020/2021 ini, Komnas Perempuan sampai saat ini terus mengupayakan untuk bisa berkomunikasi dengan pimpinan DPR, kemudian pimpinan partai dan pimpinan fraksi untuk bisa memberikan kejelasan lebih ya tentang urgensi dari pengaturan ini dan juga aspek-aspek apa saja yang perlu mendapatkan perhatian utama, sehingga kita bisa betul-betul memastikan nanti hasil dari pembahasan ini bermanfaat bagi korban.

5. Apa mungkin RUU ini segera disahkan, karena dari pemberitaan jika masuk dalam agenda sidang pertama pertengahan Januari atau Februari sudah bisa disahkan?

[WANSUS] Komnas Perempuan Respons Desakan Jokowi Sahkan RUU TPKSAndy Yentriyani, Komisioner Komnas Perempuan/ Pimpinan Transisi (Tangkap Layar Facebook/IDN Times)

Kalau lihat dari preseden UU Cipta kerja mungkin saja kalau semuanya mau kalau semuanya berkonsentrasi untuk kalau semuanya memberikan sumber daya untuk itu, kalau semua legislator kita partai-partai ini betul-betul merealisasi ucapan mengenai bahwa komitmennya adalah untuk warga, komitmennya adalah bagi rakyat khususnya kelompok-kelompok yang tertindas dan salah satu kelompok yang paling tertindas adalah korban kekerasan seksual.

Karena pertama seringkali dicurigai sebagai sebuah tindakan suka sama suka, disangkal situasinya kemudian bahkan dihakimi dan banyak dari korban yang bahkan sampai diusir dan dikucilkan dari masyarakat menjadi buat kami kita sama-sama, coba kita optimis dan juga bagi kami dari Komnas Perempuan akan terus mengawal .

6. Seoptimis apa Komnas Perempuan pada desakan Presiden agar RUU TPKS disahkan?

Di dalam situasi-situasi perjalanan 23 tahun Indonesia ada banyak hal yang kita anggap tidak mungkin terjadi, misalnya, kenapa dulu sulit kita meyakinkan orang bahwa kekerasan di dalam rumah tangga itu mungkin terjadi, memang terjadi, perlu kemudian payung hukum yang secara spesifik, kita punya undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sejak tahun 2004.

 Kita juga punya undang-undang mengenai representasi perempuan ya di dalam politik, sekalipun masih ada berbagai hambatan-hambatannya gitu. 

Jadi kalau ditanya optimis, kami optimis sebetulnya kan kita lihat bagaimana publik yang terutama, saya senang sekali bagaimana perkembangan pemikiran yang ada di tingkatan publik. Sebagai orang yang berada di dalam isinya selama lebih 20 tahun kemudian secara spesifik mengamati perjalanan di tahun 2010-2014, tiga periode ini ya sekarang ya sejak mulai digulirkan, saya pikir sudah jauh berbeda menyikapi isu kekerasan seksual. 

Saya senang sekali kawan-kawan muda yang kemudian membuat kampanye-kampanye membuat diskusi diskusi di lingkungannya dan sebagai pihak yang selalu diperebutkan ya, suaranya, teman-teman Milenial ini adalah penentu masa depannya Indonesia termasuk menentukan apakah RUU ini bisa segera dibahas dan disahkan.

Suara teman-teman muda itu sangat diperhitungkan di dalam parlemen, karena itu kalaupun ada hambatan secara politik saya yakin kita bisa bekerja bersama untuk memastikan perhatian pada korban ini akan tetap berada di dalam jalurnya.

Baca Juga: Wamenkumham Dorong DPR Sahkan RUU TPKS Akhir Januari 2022

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya