[WANSUS] Menelisik Fenomena Kematian Pasien COVID-19 Isolasi Mandiri

Wawancara khusus dengan Inisiator LaporCovid-19 Ahmad Arif

Jakarta, IDN Times - Pertarungan melawan COVID-19 bukan hanya terjadi di lorong-lorong rumah sakit atau tempat tidur perawatan yang dipenuhi alat bantu medis. Pasien COVID-19 yang menjalani pemulihan di rumah, di bawah atapnya masing-masing juga banyak yang bergelut melawan virus ini. Mereka yang tidak menjalani perawatan di rumah sakit disebut pasien isolasi mandiri (isoman). 

Sepintas, isoman diperuntukkan bagi pasien COVID-19 tanpa gejala, namun belakangan, kasus kian meningkat. Bak audisi, pasien dengan gejala berat juga antre untuk bisa masuk rumah sakit, sebagian berhasil, sebagian dirawat di rumah, namun di sisi lain kasus kematian saat isoman juga kian meningkat.

Ternyata setelah ditelisik, pemicunya beragam. LaporCovid-19 bahkan merangkai data terkait kematian isoman lewat situs resminya. Inisiator LaporCovid-19 Ahmad Arif menjelaskan berbagai kondisi yang dihadapi pasien isoman, terutama usai angka kematian saat isoman meningkat tajam.

Berikut petikan wawancara khusus IDN Times bersama Ahmad Arif.

1. Dari mana LaporCovid-19 mengumpulkan data kematian isolasi mandiri yang ditampilkan dalam website?

Data kematian isoman diperoleh dari beberapa metode berbasis laporan dari warga melalui WhatsApp BOT atau Telegram BOT. Kami memiliki form pengaduan jadi warga, kalau ada beberapa informasi terkait COVID-19 orang yang meninggal di rumah sedang isoman atau perjalanan di rumah sakit bisa melapor ke WhatsApp BOT kami.

Selain itu kami juga punya tim yang menelusuri, misalnya ada teman yang mengabari ada yang meninggal, tetangganya, keluarganya di sosial media, terutama di Twitter, Instagram. Ada tim yang mengontak meminta kronologi detailnya, kapan, lokasi, siapa, biar tidak terjadi overlay, tidak tumpang tindih dengan data yang masuk.

Ada juga sumber dari survei yang dilakukan oleh teman-teman CSO dalam hal ini teman-teman CISDI, terutama di Jawa Barat setelah puskesmas dalam periode dua minggu, sekitar awal-awal Juli.

Lalu berikutnya ada juga data yang resmi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mereka memiliki pendataan yang cukup baik terkait orang-orang yang menjalani isoman termasuk yang meninggal, dan itu yang di-share ke kami, secara official daerah yang membagi datanya secara detail adalah DKI.

Sehingga seolah-olah terlihat angka kematian isoman ini sangat tinggi di DKI, karena angka di DKI mendekati riil, jadi angkanya sangat tinggi dan terdata cukup baik.

Daerah lain di luar DKI fenomennya cenderung seperti puncak gunung es, tidak semua daerah itu atau semua orang yang keluarga, teman meninggal itu melapor ke kami, sehingga di luar data Jakarta ibaratnya basis datanya hanya berbasis laporan warga, tidak ada persentatif mewakili itu, skala itu bahkan gambarannya sebelum data dari Jakarta, laporan kematian isoman yang masuk ke kami justru paling tinggi dari Jawa Barat.

Jadi di luar sebelum ada data official dari DKI pelaporan yang paling banyak masuk justru dari Jawa Barat nomor satu, kemudian Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Banten baru Jakarta. Kalau dari ilustrasi ini, kekhawatiran ini jauh lebih tinggi  di luar Jakarta cuma tidak terdata dengan baik dan dengan tidak terlaporkan dengan baik.

Baca Juga: Krisis Tenaga Kesehatan Jadi Mimpi Buruk Indonesia Hadapi Pandemik

2. Bagaimana variasi data yang masuk, apa banyak komorbid, bergejala ringan atau tanpa gejala?

[WANSUS] Menelisik Fenomena Kematian Pasien COVID-19 Isolasi MandiriInisiator LaporCovid-19 Ahmad Arif dalam program live instagram IDN Times bertajuk "Jakarta Darurat Kematian Pasien Isoman", Rabu (28/7/2021). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Kalau saya bagi berdasarkan laporan yang masuk itu ada dua karakter yang meninggal saat isoman, yang pertama mereka memang bergejala menengah hingga berat yang membutuhkan perawatan rumah sakit segera, pada saat itu rumah sakit penuh, sehingga tidak bisa rumah sakit terpaksa isoman yang menyebabkan mereka meninggal dunia.

Sehingga kematian isoman menjadi indikator mengenai kolapsnya sistem layanan kesehatan di daerah itu, jadi makanya kemudian di daerah-daerah yang kasus aktifnya sangat tinggi, faskes relatif terbatas maka kematian isoman sangat tinggi.

Beberapa yang isoman ini dan yang kemudian meninggal ini cenderung menghindari rumah sakit, jadi ini ada di daerah-daerah sub-urban dan di daerah di desa mereka bisa memiliki gejala klinis COVID-19 bahkan melakukan tes antigen mandiri, rata-rata kemudian reaktif mereka gak mau ke rumah sakit takut isu di-covid-kan, protokol kesehatan dan seterusnya.

Banyak ketika kemudian sudah berat ada yang keluarganya dibawa ke rumah sakit tapi kan penuh juga dan akhirnya meninggal. Jad ada dua karakter yang seperti itu, jadi beda-beda tergantung daerahnya. Untuk yang di desa dan sub-urban itu kecenderungan cukup tinggi orang-orang yang takut di-covid-kan menghindari rumah sakit.

Baca Juga: Luhut Akui Kematian Tinggi karena Pasien Isoman Terlambat Ditangani

3. Apa kala itu pemerintah memberikan perhatian atau tidak sehingga kasus kematian isolasi mandiri meningkat?

Puncak-puncaknya itu sekitar dua minggu lalu itu sangat tinggi di Jakarta sehari tinggi, sekarang sudah sangat menurun di Jakarta, pada puncaknya sekitar dua minggu lalu (wawancara dilakukan 28 Juli 2021) dalam sehari bisa 83 orang yang meninggal saat isoman, itu pada minggu-minggu pertama bulan Juni, minggu kedua bulan Juli sekarang levelnya sudah di bawah 10 di bawah 5.

Saat itu memang rumah sakit sangat penuh, sementara pemantauan juga terbatas. Pemantauan ini kan diharapkan faskes primer (seperti) puskesmas terutama, puskesmas pada periode-periode itu juga banyak nakes yang positif dan terbatas sehingga pemantauan juga sangat minim.

Ini juga terjadi bukan hanya di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan di Jawa yang lain, rata-rata faskes primer juga kewalahan, baik karena mereka banyak yang positif juga, kewalahan keterbatasan sumber daya, mereka juga kalawalahan ketersediaan obat-obatan dan juga belakangan juga terbatas dengan oksigen. Ini banyak isoman yang butuh oksigen sementara oksigen yang dimiliki faskes primer juga terbatas di pasar, stok obat-obatan juga sangat terbatas dan langka.

Sebenarnya kan isoman itu kan seharusnya ditujukan untuk orang gejala ringan atau tanpa gejala. Kalau sampai dia bergejala sedang, berat atau komorbid itu memang mau gak mau harus di rumah sakit. Puskesmas juga gak akan bisa menangani, itu probelmnya pada situasi seperti itu rumah sakit penuh, sehingga org dengan gejala berat terpaksa isoman, memang risikonya jadi tinggi bahkan orang yang gejala ringan itupun perlu pemantauan minimal cek rongent, karena kalau gejala ringan ternyata ada flek perlu perawatan intensif.

Jadi kunci pemantauan itu jadi sangat baik sekali, kami usulkan dengan situasi penuhnya fasilitas kesehatan rumah sakit dan seterusnya, harusnya ada ada pusat-pusat isolasi mandiri yang terpusat itu harus diperbanyak, dengan juga ada nakes yang memantau dan juga kepastian screening di awal-awal dan harus dipisahkan yang miliki komorbid, risiko tinggi, harusnya dapat pantauan lebih. Ini yang belum terjadi dari kemarin-kemarin sekarang sih saya lihat ada upaya untuk misalnya telemedicine, cuma kan tidak aksesibel mungkin org-orang di sekitar Jakarta bisa, tapi nggak semua, itupun juga tidak semua bisa akses beberapa telemedicine berbayar ini butuh dukungan bukan hanya dari medis tapi juga logistik makan vitamin apa lagi kalau menjalani isolasi satu keluarga ada satu yang keluarga yang positif di anggota keluarga seluruh anggota keluarga.

4. Dari data yang masuk, apa banyak klaster keluarga dan bagaimana dengan ragam usianya?

[WANSUS] Menelisik Fenomena Kematian Pasien COVID-19 Isolasi MandiriBhabinkamtibmas dan Babinsa Gunsel saat memberikan makanan kepada warga laksanakan Isoman (IDN Times/Ervan)

Cukup beragam, jadi ada yang kebanyakan malah justru meninggal itu di dalam kasus keluarga dan ada dalam beberapa laporan itu meninggal suami istri dengan selang waktu hari bahkan ada yang selang waktu jam. Ada yang kemudian kami dapat laporan itu di daerah Klaten itu suaminya kemudian dalam hitungan jam istrinya, kemudian anaknya.

Usia yang meninggal bahkan kalau sekarang ya belakangan ini sebenarnya banyak anak-anak muda juga banyak, bahkan anak-anak kecil di umur bawah 10 tahun itu juga ada, jadi sangat beragam tapi untuk jenis kelamin terus terang kami belum merinci secara detail, tetapi kalau secara umum data angka kematian COVID-19 secara nasional memang rata-rata paling banyak masih laki-laki jadi kami duga ini juga terjadi polanya seperti ini tetapi kalau usia sudah beragam sekali.

5. Melihat keadaan ini, apa yang harus didorong dan dilakukan oleh pemerintah?

Jadi sebenarnya data kematian ini atau data apapun data pandemik, salah satunya data kematian data kasus ini sangat penting untuk dua hal, yang pertama bagi kebijakan-kebijakan itu kenapa, misalnya ketika ada data kematian isoman yang meningkat di suatu daerah itu sebenarnya indikator nyata bahwa fasilitas kesehatan yang kolaps sudah tidak memadai lagi sudah tidak bisa menampung pasien.

Sehingga kebijakannya harusnya apa? Harusnya mau tidak mau dari sisi hulunya menekan penularan, agar laju kasus aktif itu tidak melebihi kapasitas faskes, itu yang pertama.

Dari sisi hilirnya kalau fasilitas kesehatan memang tidak memadai mau tidak mau memang harus dibentuk salah satu adalah di antaranya track triase, memilih mana yang harus ditangani prioritas mana yang tidak.

Selalu meningkatkan tempat-tempat isolasi mandiri terpusat, sebenarnya jadi daerah-daerah yang kematian isoman tinggi harus segera dibentuk pusat-pusat isolasi mandiri yang itu ada faskes tim support yang baik itu dari sisi kebijakannya.

Nah kalau dari sisi masyarakatnya ini juga penting untuk membangun, memperbaiki persepsi risiko, sebenarnya jika angka Kematian ini tidak ditampilkan secara transparan masyarakat masih mengira bahwa tingkat kematiannya kecil, bahkan banyak orang yang berpikir yang meninggal itu hanya sakit jadi kalau ke rumah sakit nanti akan di-covid-kan dan seterusnya.

Data yang tidak transparan, data yang tidak benar dan kemudian dibiarkan ke publik ini bisa membiaskan persepsi risiko masyarakat. Masyarakat merasa seolah-olah aman padahal sebenarnya tidak, prinsip komunikasi risiko itu kan harusnya transparansi data dan informasi, tujuannya apa? Untuk meningkatkan kewaspadaan dan kemampuan masyarakat dalam mitigasi risiko.

Sebenarnya kita kan selama ini seolah-olah komunikasi risiko itu menenangkan masyarakat dengan menutupi data under-reported data seolah-olah kematiannya kecil angka kesembuhan yang diglorifikasi, dan seterusnya jadi padahal sebenarnya angka kesembuhan itu bukan variabel. Dalam pandemik sebenarnya kan, kalau kasusnya tinggi apalagi dengan COVID-19 yang tingkat kematian yang rendah, relatif rendah, kan covid bukan penyakit yang sangat mematikan, akan tetapi bahaya covid adalah tingkat menular yang tinggi, yang ketika itu dibiarkan akan membanjiri faskes dan melumpuhkan rumah sakit.

Ini prinsip-prinsip yang seharusnya disadari benar, bahwa tingkat kematian covid itu tidak terlalu tinggi, tetapi kalau orang yang tertular banyak dan butuh perawatan banyak misalnya, kemudian angka kasus aktifnya tinggi melebihi kapasitas kesehatan, ya kalau juga orang akhirnya meninggal jadi banyak bukan hanya karena covid saja yang meninggal, tetapi juga karena berbagai penyakit lain yang harusnya butuh penanganan tidak bisa tertangani, karena rumah sakit dikontrol untuk pasien covid, itulah yang disebut excess deaths yang berlebih.

Masyarakat harus tahu konsep ini, harus tahu tentang risiko ini sehingga tidak mengabaikan tentang risiko, hati-hati, prokes dan seterusnya jadi kadang-kadang saya bingung juga ketika satu sisi pemerintah mengajak masyarakat prokes tetapi di sisi yang lain masyarakat tidak diberikan informasi yang benar yang transparan, yang apa adanya mengenai resikonya dan apa yang harus dilakukan. Jadi kemudian jadi tidak nyambung komunikasinya seperti itu.

Baca Juga: Jokowi: Pakai Masker! COVID-19 Masih Mengancam Kita

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya