Menkopolhukam, Mahfud MD (IDN Times/Ilman Nafi'an)
Mahfud MD menjelaskan duduk perkara antara warga sipil dengan aparat penegak hukum (APH) di Pulau Rempang, Batam. Menurut Mahfud, kisruh antara warga sipil dengan aparat bermula dari upaya pengosongan tanah pada Kamis (7/9/2023). APH datang untuk mendampingi petugas pematok lahan.
Ia menambahkan bahwa tanah di Pulau Rempang sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah entitas perusahaan untuk mengelola lahan di sana.
"Jadi, pada tahun 2001 atau 2002, sebelum investor resmi masuk, tanah ini rupanya belum digarap dan gak pernah ditengok. Sehingga, pada 2004 menyusul dengan beberapa keputusan, hak tanah itu diberikan kepada orang lain. Akhirnya ditempati. Padahal, SK (Surat Keputusan) haknya sudah dikeluarkan pada 2001 secara sah," ungkap Mahfud di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan pada Jumat (8/9/2023).
Investor akhirnya berhasil digaet masuk ke Pulau Rempang pada 2022. Pemegang hak tanah yang diberikan kewenangan sejak 2001 oleh pemerintah lalu datang. Mereka kemudian menemukan tanahnya sudah ditempati oleh orang lain.
"Kemudian diurut-urut ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun dari pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Lalu, diluruskan sesuai dengan aturan bahwa itu masih menjadi hak (entitas perusahaan) karena investor akan masuk," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Namun, menurut keterangan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), masyarakat adat yang ada di sana justru sudah menghuni tanah tersebut sejak 1834.
Meski begitu, warga hanya memiliki hak guna bangunan (HGB) tanah di pulau tersebut. Sertifikat tanah hanya diberikan kepada warga asli di Pulau Batam. Dokumen itu diberikan usai melalui proses verifikasi yang panjang.