Pendidikan Tinggi Indonesia dan Caranya Beradaptasi dengan New Normal

Benarkah kita memasuki era new normal?

Jakarta, IDN Times – Pandemik COVID-19 masih menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Lebih kurang tiga bulan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ditetapkan, sejumlah wilayah, termasuk DKI Jakarta, mulai memasuki masa transisi yang juga dikenal dengan fase new normal atau kenormalan baru.

Merayakan hari jadi yang keenam, IDN Times mengadakan program Webinar enam hari berturut-turut. Salah satunya membahas kemungkinan berlangsungnya The Great Reset atau pengaturan ulang secara besar-besaran di dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi.

Topik ini dibahas bersama dengan Rektor Universitas Hasanuddin Makassar Prof.Dr.Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A., Rektor IPB Prof.Dr.Arif Satria, SP, M.Si., Praktisi Pendidikan Najelaa Shihab, dan perwakilan mahasiswa dari Persma UIN Jakarta Sultan Rivandi pada Jumat (12/6) sore.

Keputusan untuk keberlanjutan sistem pendidikan harus diambil dengan segera.

“Karena pasti tidak akan ideal, keputusan apa pun, tapi keputusan harus diambil,” kata Arif dalam paparannya.

1. Pandangan soal great reset yang diperlukan dunia pendidikan tinggi

Pendidikan Tinggi Indonesia dan Caranya Beradaptasi dengan New NormalRektor Universitas Hasanuddin, Prof.Dr.Dwia Aries Tina Pulubuhu,M.A dalam Ngobrol Seru New Normal or The Great Reset: Life After Pandemic COVID-19 (Tangkap Layar YouTube IDN Times)

Memulai pemaparan, Rektor Universitas Hasanuddin, Makassar, Dwia Aries Tina Pulubuhu langsung menyampaikan apa-apa saja yang harus diatur ulang dalam dunia pendidikan tinggi. Hal ini sesuai dengan tema webinar bertajuk The Great Reset: Life After Pandemic COVID-19.

Ada sedikitnya empat aspek yang disoroti Dwia yang perlu ditata ulang atau mengalami great reset di dunia pendidikan tinggi. Yakni, tata ulang management adminsitratif pengelolaan pendidikan tinggi, tata ulang riset, publikasi dan inovasi, tata ulang tanggung jawab sosial universitas, dan tata ulang kurikulum.

“Kalau dilihat selama pandemik ini, ternyata semua bisa berjalan dengan cepat,” kata Dwia bicara soal penataan ulang management administrative.

Mulai dari penyeleksian mahasiswa baru, registrasi, ujian, bahkan sampai wisuda menurut Dwia dapat dilakukan dengan cepat, efisien, dan produktif.

Riset, publikasi dan inovasi menjadi aspek kedua yang menurut Dwia perlu ditata ulang di jenjang pendidikan tinggi.

“Model riset kedepannya bisa dibangun juga Eco science system yang bagus,” kata Dwia.

Dari pandemik ini, Dwia mengatakan masyarakat tampak semakin belajar soal Kesehatan, tak hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk planet ini.

Melakukan inovasi terkait dengan metode pembelajaran dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (luring) menurut Dwia perlu dilakukan.

“Kalau menurut saya harus diatur ulang dalam model blended learning. Memadukan antara daring dan luring,” kata Dwia menawarkan salah satu solusi baru.

Aspek lain di pendidikan tinggi yang perlu ditata ulang menurut dia adalah tata ulang tanggung jawab sosial. Kampus, menurut dia, bisa menjadi modal sosial yang tersedia untuk dilibatkan aktif bersama pemerintah, termasuk dalam situasi pandemik.

Penataan ulang kurikulum tak luput dari pertimbangan.

“Bagaimana kurikulum yang mengedepankan interaksi antara kognitif dan pola hidup,” kata Dwia. Kurikulum baru diharapkan dapat membuat cabang-cabang ilmu baru yang berkaitan dengan Kesehatan planet dan lingkungan bisa lebih banyak tercipta.

“Di great reset, new normal ini bukan back to normal tapi go forward better untuk kehidupan dunia ini,” tutup Dwia di akhir paparannya.

2. Pelajaran yang dapat dipetik di era pandemik

Pendidikan Tinggi Indonesia dan Caranya Beradaptasi dengan New NormalRektor IPB, Prof.Dr.Arif Satri,SP,M.Si dalam Ngobrol Seru New Normal or The Great Reset: Life After Pandemic COVID-19⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣ (Tangkap Layar YouTube IDN Times)

Menjalani proses pendidikan di era pandemik COVID-19, sejumlah pengalaman dan pelajaran berharga dibagikan Rektor IPB.  Beberapa di antaranya seperti melakukan install ulang tata kehidupan terutama aspek sosial ekonomi dan juga menentukan mindset yang ingin diterapkan di masyarakat.

Menurut Arif, masyarakat dapat memilih growth mindset atau fixed mindset untuk diterapkan. Growth mindset bisa membuat masyarakat berkembang dengan situasi yang ada, namun fixed mindset akan menciptakan stagnansi.

“Dari pembelajaran ini kan yang penting juga adalah soal inovasi,” kata Arif dalam paparannya.

“Ketika kita keluar dari krisis ini Ini adalah sebuah tantangan baik untuk belajar untuk menghasilkan inovasi-inovasi unggul dan ini momentum bagi kita untuk bisa melakukan lompatan-lompatan besar,” kata Arief.

Bicara soal pelajaran yang dapat diambil, Najelaa Shihab ikut diminta bersuara. Posisinya unik kali ini. Dikenal sebagai salah satu sosok aktif di pendidikan, dalam webinar ini, Najelaa ditempatkan sebagai pengamat pendidikan.

Dia berharap banyak proses belajar positif yang dapat diambil dengan penerapan cara belajar di masa pandemik ini. Kebiasaan-kebiasaan baru yang saat ini muncul, meski secara terpaksa, menurut Najelaa mempengaruhi ekosistem pendidikan.

“Yang pasti yang terlihat jelas tentu tingkat adopsi teknologi yang terakselerasi dengan sangat cepat,” kata dia.

Namun, tak dipungkiri Najelaa sejumlah tenaga pendidik masih gagap dalam penggunaan teknologi sebagai medium untuk mengajar. Bahkan dia menyebutkan, kesenjangan juga semakin tampak.

 “Kami bekerja Pemprov DKI itu masih 31 persen yang sebetulnya tidak dapat akses sama sekali,” kata Najelaa.

“Jadi digital divide itu nyata dan kesenjangan itu makin terlihat nyata di saat situasi pandemik seperti ini,” ucap dia.

Aspek menarik lain yang tak luput dari pengamatan Najelaa adalah soal kebiasaan baru yang membuat feedback dari peserta didik kini dapat lebih sering terdengar. Pendidikan seolah menjadi wilayah dua arah, tak lagi seperti dulu.

Selain itu, dukungan orangtua pada peserta didik dalam mengikuti pembelajaran jarak jauh atau popular dengan sebutan belajar online, juga jadi dampak positif di tengah pandemik COVID-19.

Baca Juga: 46 Ribu Satuan Pendidikan Terkendala Listrik dan Internet

3. Benarkah kita sedang menuju era new normal?

Pendidikan Tinggi Indonesia dan Caranya Beradaptasi dengan New NormalKurva kondisi Indonesia menuju new normal menurut rektor IPB (IDN Times/Arief Rahmat)

Menjadi pertanyaan menarik untuk mengintip benarkah Indonesia saat ini sedang memasuki era new normal atau tidak.

Dalam webinar, Arif menunjukkan sebuah kurva. “Bersiap untuk “New Normal”?” begitu judul kurvanya. Sayangnya, kurva yang tertulis bersumber dari Hermanto Siregar (2020) yang disampaikan rektor IPB ini justru seolah membisikkan kabar tak mengenakkan.

“Sekarang ini kita belum normal. Kita ini masih mau menanjak. Masih jauh dari nilai normal,” kata Arif dalam pemaparannya mengenai kurva tersebut.

“Normal itu harus sudah melandai, kemudian konsisten, itu normal. Kalau kita ini masih menanjak,” kata Arif lagi.

Dalam kondisi seperti ini, menurut dia penting agar keputusan apapun yang diambil pemerintah harus menjadikan sains sebagai dasarnya.

“Saya belum melihat pergerakan atau langkah-langkah yang memang strategis atau pun terukur daripada dunia pendidikan kita untuk beradaptasi kepada new normal life atau sebuah kehidupan baru atau the great reset tadi,” perwakilan mahasiswa dari Persma UIN Jakarta, Sultan Rivandi ikut angkat bicara.

Istilah-istilah yang dikeluarkan pemerintah kepada publik, menurut Sultan justru sulit dipahami publik.

“Apa jangan-jangan segala istilah yang berkembang di masyarakat itu tidak penting?” kata Sultan lagi.

Namun, yang lebih penting menurut Sultan adalah kiat-kiat pemerintah atau pun kampus untuk menetapkan langkah strategis yang lebih terukur agar publik, termasuk mahasiswa, siap memasuki kehidupan normal baru.

4. Mahasiswa: Millennials jadi korban paling berat dari pandemik COVID-19

Pendidikan Tinggi Indonesia dan Caranya Beradaptasi dengan New NormalPerwakilan mahasiswa dari Persma UIN Jakarta, Sultan Rivandi dalam Ngobrol Seru New Normal or The Great Reset: Life After Pandemic COVID-19⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣ (Tangkap Layar YouTube IDN Times)

“Generasi yang paling terhantam dahsyat atas Covid atau situasi sekarang ini kan generasi saya, generasi anak muda,” ujar Sultan menegaskan.

Secara terbuka Sultan menyebutkan beragam kondisi millennials saat ini. Mulai dari kebimbangan untuk memperjuangkan kelulusan, banyaknya fresh graduate yang tak punya pekerjaan, millennials disebut Sultan seolah berada di situasi yang sangat gersang.

Sultan menyebutkan, pada Februari lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan data 5-6 juta penduduk menganggur. Pandemik COVID-19 memungkinkan angka itu terus meningkat hingga menembus 15 juta.

“Artinya memang kita sedang mengalami ketakutan yang luar biasa, kebingungan yang luar biasa dan butuh tindakan yang jelas untuk selesaikan ketidaknormalan ini untuk segera kita bersiap pada normal baru,” kata Sultan mewakili kegundahan millennials.

Mendengar apa yang disampaikan Dwia, Arif, dan Sultan, Najelaa sampai pada sebuah kesimpulan.

“Ini periode di mana sebetulnya siapa pun tidak bisa memberikan kepastian,” kata Najelaa.

Bahkan menurut dia, bicara soal kemungkinan untuk kembali menerapkan pembelajaran tatap muka di sektor pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, protokol yang harus diikuti tidak semata-mata hanya dari bidang pendidikan saja.

“Protokol kesehatan dan sebagainya jadi memang Insya Allah mudah-mudahan segera ada kebijakan. Apalagi yang sifatnya terintegrasi bukan hanya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, karena kaitannya dengan Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, kemudian Kementerian Kesehatan juga,” kata Najelaa.

5. Urgensi sektor pendidikan masih jadi yang nomor sekian

Pendidikan Tinggi Indonesia dan Caranya Beradaptasi dengan New NormalNgobrol Seru New Normal or The Great Reset: Life After Pandemic COVID-19⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣⁣ (Tangkap Layar YouTube IDN Times)

What is essential in learning menjadi kalimat yang diminta Najelaa untuk sama-sama direfleksikan di tengah pandemik ini, di tengah cara pembelajaran yang berlaku sekarang ini.

“Saya sangat berharap murid-murid dan mahasiswa bisa mengambil kesempatan ini untuk betul-betul mengenal dirinya, mengeksplorasi bidang-bidang yang memang akan menumbuhkan potensinya dengan utuh,” kata Najelaa.

Bicara soal politik dan kebijakan, Najelaa menyoroti pemotongan anggaran yang terjadi di mana-mana.

“Saya sangat ingin menjaga supaya pendidikan ini bukan termasuk salah satu sektor yang dikorbankan,” kata Najelaa. “Karena biar bagaimana pun, investasi negara di pendidikan itu adalah investasi jangka panjang,” kata dia melanjutkan.

Dia menyayangkan masih banyak pihak yang menilai urgency bidang pendidikan seolah dinomorsekiankan dibandingkan dengan sektor riil, industri ataupun kesehatan.

“Kita betul-betul perlu meyakinkan bahwa dokumen anggaran itu sesungguhnya dokumen moral soal keberpihakan mana yang seharusnya mendapat dukungan lebih,” kata Najelaa.

Di bidang pendidikan menurut dia kelompok-kelompok rentan baru di masa pandemik justru semakin terlihat. Besar harapan Najelaa, di masa pandemik ini pilihan-pilihan yang diambil ke depannya, termasuk oleh pemerintah, bisa menjadi solusi bagi sektor pendidikan agar dapat berjalan lebih baik lagi.

Baca Juga: Tahun Akademik Pendidikan Tinggi Dimulai Agustus, Nadiem: Tetap Online

Topik:

  • Margith Juita Damanik
  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya