Menyibak Persoalan di Balik Meningkatnya KDRT selama Pandemi COVID-19

#dirumahaja tak selalu aman

Jakarta, IDN Times – Komisioner Komnas Perlindungan Perempuan, Rainy Hutabarat menyebutkan rumah bukanlah tempat yang aman bagi perempuan dan anak perempuan di tengah pandemi virus corona jenis baru (COVID-19).

Dia merujuk pada berbagai laporan yang diterima, termasuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tentang meningkatnya kasus KDRT saat ini.

“Kesetaraan dan keadilan gender harus terus disosialisasikan termasuk pada masa pandemik COVID-19 di mana rumah menjadi ruang yang diharapkan sebagai tempat perlindungan yang aman dari penularan COVID-19,” kata Rainy ketika dihubungi IDN Times pada Rabu (15/4).

Pandemi virus corona membuat pemerintah menerapkan sejumlah kebijakan untuk menekan laju angka kasus. Beberapa wilayah, termasuk Jakarta menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Di dalamnya ada berbagai aturan pembatasan untuk mengatur jaga jarak fisik (physical distancing) dan larangan berkumpul dalam jumlah tertentu (social distancing). Tak hanya itu, pemerintah jga mengimbau untuk tidak keluar rumah. Mereka menerbitkan aturan bagi perusahaan dan sekolah agar aktivitas bisa dilakukan dari rumah secara online

Tetap berada di rumah seharian, bagi sebagian warga dianggap berkah. Orang tua yang biasanya sibuk, kini punya waktu seharian bertemu dengan anak-anaknya. Begitu juga anak yang sekolah secara online dari rumah, bisa menghabiskan waktu bersama keluarga.

Di Instagram, kita bisa lihat dari figur publik sampai warga biasa membagi suasana “Bahagia" saat harus #dirumahaja. Bisa masak-masak, berkebun, olahraga bahkan belajar bersama.

Tapi, kehidupan nyata sering tidak seindah foto-foto dan cerita di Instagram. Sebagian warga terpukul atas dampak ekonomi yang berat, bahkan hingga terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Tidak bisa keluar rumah, juga berpotensi menimbulkan kebosanan dan kejenuhan. Belum lagi kekhawatiran atas penularan virus corona serta dampaknya terhadap perekonomian keluarga. 

Rasa cemas dan stres pun berpotensi menular, mempengaruhi cara berkomunikasi dalam rumah tangga. Apalagi jika harus bertemu secara intens setiap hari dalam waktu lama, minimal dua pekan.

Dengan berbagai faktor tersebut, kondisi berkepanjangan di tengah pandemi COVID-19 ini, berisiko meningkatkan angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Pemerintah Indonesia hingga saat ini masih terus mengimbau agar masyarakat belajar di rumah, bekerja di rumah, dan beribadah di rumah. Beberapa wilayah, termasuk Jakata menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), minimal 14 hari.

1. Rumah bukan tempat yang aman bagi perempuan dan anak perempuan

Menyibak Persoalan di Balik Meningkatnya KDRT selama Pandemi COVID-19Ilustrasi (IDN Times/Larasati Rey)

“Rumah bukan ruang aman bagi perempuan dan anak perempuan,” kata Rainy. Padahal, tetap berdiam diri di rumah sebenarnya diharapkan pemerintah, sebagai cara ampuh pemutus rantai penularan virus corona.

Konselor Trauma, Nur Hidayati Handayani, menjelaskan dalam situasi darurat, otak manusia memiliki respons stres. “Ketika situasi darurat terjadi itu muncul, fast respons kita yang biasa terjadi apakah melawan atau lari,” kata Handa begitu dia akrab disapa dalam media briefing online yang diprakarsai Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK) pada Selasa (14/4).

“Kita kan gak bisa lari karena harus di rumah. Jadi stress respons yang terjadi kita harus melawan. Ketika stress respons ini naik, secara biologis jantung berdebar kaya siap-siap mau berantem,” kata Handa.

2. Ini penyebab tingkat KDRT bisa meningkat selama masa pandemi COVID-19

Menyibak Persoalan di Balik Meningkatnya KDRT selama Pandemi COVID-19Ilustrasi kekerasan/pelecehan seksual. IDN Times/Sukma Shakti

Menurut Handa, yang mungkin menjadi penyebab tingkat KDRT meningkat selama masa pandemi COVID-19 adalah intensitas antara pasangan yang juga semakin tinggi.

“Sebenarnya dalam hubungan yang sehat dibutuhkan waktu masing-masing sendiri. Tapi dalam masa karantina, juga gak punya pengetahuan akan hal itu, mau-mau gak mau ketemu terus,” kata Handa.

Masalah lain muncul. “Ditambah gak punya kemampuan dalam berkomunikasi yang efektif, bagaimana menyampaikan kebutuhan, menyampaikan emosi yang sehat. Sehingga yang keluar justru perilaku kasar,” ujar lulusan Magister Konseling dari Universitas Auckland, Selandia Baru ini.

Rainy mengatakan beban kerja yang bertambah selama bekerja di rumah menyebabkan kelelahan fisik dan menimbulkan stres. Belum lagi pemikiran untuk menghadapi pandemik yang belum jelas kapan akan berakhir.

“Kejenuhan karena di rumah saja dan faktor ekonomi karena kehilangan pekerjaan atau penghasilan berkurang,” kata Rainy menyampaikan hal yang mungkin menyebabkan KDRT meningkat.

Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Siti Mazuma, menyebutkan budaya patriarki yang menempatkan perempuan dalam posisi yang harus menyediakan pangan dan memastikan keluarga sehat menjadi sebab KDRT meningkat.

“Pandemik ini yang mneyebabkan perempuan tidak bisa kerja juga membuat kerentanan mereka menjadi berganda,” kata Siti saat dihubungi IDN Times pada Jumat (17/4).

3. Puluhan laporan KDRT masuk ke Komnas Perempuan selama pandemi virus corona

Menyibak Persoalan di Balik Meningkatnya KDRT selama Pandemi COVID-19IDN Times/Dini suciatiningrum

Rainy menyebutkan Komnas Perempuan masih terus mendata kasus KDRT selama pandemik COVID-19 dan pemberlakuan PSBB. “Data pengaduan yang masuk ke Komnas Perempuan tentang KDRT, merupakan jumlah yang tercampur dengan masa pandemik COVID-19, jumlahnya totalnya puluhan,” kata Rainy.

“Pada masa normal saja KDRT merupakan kasus terbanyak dilaporkan ke lembaga pengada layanan khususnya kekerasan terhadap istri dan anak perempuan dengan pelaku suami, ayah kandung, ayah tiri/angkat dan paman,” lanjut dia.

Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan sepanjang 2019 lalu, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah KDRT. Jumlah kasusnya mencapai angka 75 persen atau 11.105 kasus.

KDRT paling banyak dilaporkan, dan tidak sedikit di antara pelapor mengalami pula kekerasan seksual. Pada ranah KDRT kekerasan yang paling menonjol berturut-urut adalah kekerasan fisik sebanyak 4.783 kasus (43 persen), kekerasan seksual 2.807 kasus (25 persen), psikis 2.056 kasus (19 persen) dan ekonomi 1.459 kasus (13 persen).

Perihal bentuk kekerasan seksual, ada lima bentuk kekerasan dengan laporan kasus paling banyak kepada Komnas Perempuan adalah Inses (822 kasus), Perkosaan (792 kasus), Persetubuhan (503 kasus), Pencabulan (206 kasus), dan Eksploitasi seksual (192 kasus).

Usia korban yang mengalami KDRT menurut catatan Komnas Perempuan mayoritas pada usia 25-40 tahun, kemudian mereka yang berusia 13-18 tahun, atau terkategori usia anak.

4. Sekjen PBB sebut KDRT terjadi di berbagai negara

Menyibak Persoalan di Balik Meningkatnya KDRT selama Pandemi COVID-19instagram.com/antonioguterres

Sekjen PBB, Antonio Guterres dalam video yang diunggah di akun Twitternya (@antonioguterres), memperingatkan bahwa pemberlakuan karantina selama masa wabah COVID-19 ini dapat berpotensi meningkatkan kasus KDRT. Video tersebut diunggah Antonio pada Senin (6/4).

“Namun itu (karantina) dapat menjebak perempuan yang tinggal dengan pasangan yang kasar,” kata Antonio dalam videonya. Dia menyebutkan, di beberapa negara, angka jumlah wanita yang menghubungi layanan bantuan meningkat dua kali lipat.

Dia mengimbau kepada tiap pemerintah untuk menyiapkan penanganan KDRT yang kerap menjadikan perempuan sebagai korban. Hal itu, menurut Guterres, harus menjadi bagian penting dari rancangan penanganan COVID-19 secara nasional.

5. Yang harus dilakukan perempuan agar terhindar dari KDRT selama masa pandemi

Menyibak Persoalan di Balik Meningkatnya KDRT selama Pandemi COVID-19IDN Times/Alfisyahrin Zulfahri Akbar

Menurut Rainy, pencegahan KDRT bukan hanya dilakukan oleh perempuan, namun juga perlu datang dari suami. “Untuk menjadikan rumah sebagai ruang yang steril dari kekerasan dan virus corona,” kata Rainy.

Menurutnya, perempuan perlu mengajak suami untuk mengelola pembagian kerja yang adil bagi anggota-anggota keluarga. Mulai dari suami, istri, anak-anak, dan anggota keluarga lain yang tinggal dalam satu rumah yang sama.

Agar terhindar dari tindak KDRT, Siti pun mengingatkan setiap perempuan perlu mencari sistem pendukung. “Hubungi saudara, keluarga dan jangan lupa menyimpan nomor darurat lembaga pendampingan korban dan lembaga bantuan hukum,” kata Siti. “Jangan biarkan siapa pun menjadikanmu objek kekerasan apalagi pasanganmu,” lanjut dia.

Baca Juga: KDRT Meningkat Selama Wabah COVID-19, Komnas Perempuan Buka Suara

6. Dampak KDRT tak hanya bagi rumah tangga namun juga bagi anak

Menyibak Persoalan di Balik Meningkatnya KDRT selama Pandemi COVID-19IDN Times/Lia Hutasoit

KDRT nyatanya tak hanya berdampak bagi pasangan suami dan istri, namun juga bagi anak-anak. Disadari atau tidak, anak kerap menjadi korban dari KDRT. Banyak yang mengalami trauma yang akhirnya menimbulkan depresi bahkan rasa ingin bunuh diri.

Handa menyebutkan, fase perkembangan dari usia balita hingga usia remaja merupakan fase di mana manusia mengalami banyak perkembangan secara fisik, psikologis, kognitif, dan sosial. “Oleh karenanya, sangat penting untuk memberikan tempat yang aman dan juga kemampuan pengasuhan yang sehat bagi anak,” kata Handa.

Menurut dia, dampak KDRT pada anak beragam dan berbeda-beda. bergantung dari resiliency atau ketahanan mental anak tersebut. “Pastinya, anak-anak korban KDRT mengalami stres secara emosional yang membahayakan perkembangan otak serta mengganggu pertumbuhan kognitif dan sensorik mereka,” tutur Handa.

Adapun gejala yang dialami anak yang mengalami trauma adalah kesulitan tidur, kesulitan mengatur emosi, sangat takut untuk sendirian. Hal ini menyebabkan terhambatnya perkembangan bahasa anak. “Mereka sangat berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan mental seperti depresi, gangguan kecemasan, hingga kecenderungan untuk melakukan bunuh diri,” ujar Handa.

Dampak jangka panjangnya, menurut Handa, anak-anak yang tumbuh dalam situasi KDRT memiliki kemungkinan mengulangi pola kekerasan. Bisa juga anak tersebut menjadi pelaku atau korban kekerasan di masa mendatang jika mereka tidak melalui proses penyembuhan trauma.

7. Korban KDRT tak perlu takut untuk segera melapor

Menyibak Persoalan di Balik Meningkatnya KDRT selama Pandemi COVID-19(Hotline untuk penanganan virus corona) IDN Times/Arief Rahmat

Handa mengingatkan hukuman terhadap pelaku KDRT harus memberi efek jera. “Dan menghindari cara-cara penyelesaian kekeluargaan yang tidak memihak kepada korban,” kata Handa.

Dia juga menyarankan perlunya pendampingan kepada korban untuk mengadukan kasusnya dan dilindungi dari ancaman. Berikut daftar kontak dan hotline yang dapat dihubungi jika memerlukan pendampingan saat menjadi korban KDRT:

Komnas Perempuan
Telpon: 021-3903963
Fax: 021-3903922
Tautan: https://s.id/6Tsdx
Email: petugaspengaduan@komnasperempuan.go.id
Facebook: www.facebook.com/stopktpsekarang/
Twitter: @komnasperempuan

LBH APIK
Whatsapp: 0813-8882-2669 (WA only) mulai pukul 09.00-21.00 WIB
Email: PengaduanLBHAPIK@gmail.com

Baca Juga: Duh! Kasus KDRT Justru Meningkat Selama Wabah Virus Corona 

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya