Dinilai Tak Memadai Lagi, DPR Siap Ganti UU tentang Majelis Kehormatan

Perlu penjabaran terperinci sesuai dengan perkembangan hukum

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) dibentuk untuk menjalankan amanat Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang RI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.

Oleh karena itu, pada tanggal 13 Agustus 2003 diundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU Mahkamah Konstitusi), yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU Perubahan Mahkamah Konstitusi).

Namun, UU MK yang mengatur lembaga ini dianggap sudah tidak memadai dengan kondisi saat ini. Beberapa alasan pokok menyebabkan Komisi III DPR RI tengah sibuk melakukan Rapat Dengar Pendapat dan Rapat Kerja terkait penggantian UU No 8 tahun 2011 tentang MK.

Baca Juga: Ini Daftar Pimpinan DPR RI dari Masa ke Masa

1. Ketidakjelasan posisi Majelis Kehormatan dan Dewan Kode Etik dalam UU

Dinilai Tak Memadai Lagi, DPR Siap Ganti UU tentang Majelis KehormatanIDN Times/Marisa Safitri

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, yang menyatakan bahwa keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang terdiri dari unsur Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemerintah, dan Mahkamah Agung dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Keterlibatan unsur DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung dalam Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dinilai tidak memberi jaminan transparansi.

Akibat hukum atas putusan MK tersebut adalah pengaturan mengenai Majelis Kehormatan MK dalam UU tentang MK menjadi tidak operasional. Pengaturan mengenai Majelis Kehormatan MKi dan Dewan Etik hanya diatur melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PMK/2014 tentang 3 Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Seiring dengan kebutuhan hukum masyarakat, keberadaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan Dewan Etik dinilai semakin penting. Hal itu terutama karena adanya berbagai kasus hukum yang dilakukan oleh oknum hakim konstitusi sehingga menggoyahkan wibawa Mahkamah Konstitusi.

2. UU membutuhkan peraturan turunannya

Dinilai Tak Memadai Lagi, DPR Siap Ganti UU tentang Majelis KehormatanIDN Times/Fitang Budhi Adhitia

Dalam penggantian RUU MK ke depannya diharapkan mampu memberikan ketentuan bagi peraturan turunnya. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie menegaskan desain RUU MK mendatang sudah waktunya disusun secara lebih tajam dan komprehensif. Sehingga, undang-undang yang telah ada saat ini memiliki rincian yang lebih jelas dan tidak menimbulkan misinterpretasi atau multitafsir. Jimly memberikan contoh terkait rincian masa jabatan seorang hakim konstitusi dalam undang-undang.

“Misalnya terkait dengan masa jabatan. Pada RUU MK nantinya, dapat dijelaskan hakim itu cukup menjabat 1 periode saja karena dengan lebih dari satu periode itu mudah mendapatkan keuntungan dari jabatan tersebut,” jelas Jimly saat ditemui di Gedung Parlemen, kemarin (10/7).

3. Pengaturan hukum acara belum lengkap

Dinilai Tak Memadai Lagi, DPR Siap Ganti UU tentang Majelis KehormatanIDN Times/Marisa Safitri

UU MK memiliki permasalahan berkenaan dengan hukum acara. Hal ini disebabkan tidak adanya pengaturan terkait hukum acara yang komprehensif sesuai dengan perkembangan hukum yang ada. Terkait hukum acara persidangan sampai saat ini masih menggunakan kesepakatan hakim konstitusi dan belum diatur di dalam undang-undang.

Saat ini, Mahkamah Konstitusi mengatur lebih lanjut tugas dan wewenangnya melalui peraturan Mahkamah Konstitusi. Namun seharusnya Peraturan Mahkamah Konstitusi tidak hanya melengkapi hal-hal yang bersifat operasional, melainkan ada juga yang seharusnya menjadi materi muatan Undang-Undang.

Dengan banyaknya perkembangan hukum terutama mengenai hukum acara yang belum terakomodir dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi terutama mengenai hukum acara, maka perlu dilakukan penggantian Undang-Undang untuk memperkuat peran Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi baik dari sisi kelembagaan atau pun hukum acaranya.

Baca Juga: Mengenal Puan Maharani, Kandidat Terkuat Ketua DPR RI

4. Diperlukannya penegasan standarisasi terkait rekrutmen hakim konstitusi

Dinilai Tak Memadai Lagi, DPR Siap Ganti UU tentang Majelis KehormatanANTARA FOTO/Galih Pradipta

Perkembangan kebutuhan hukum lain yang menuntut perlunya perubahan UU Mahkamah Konstitusi adalah rekrutmen hakim konstitusi. Permasalahan dalam rekrutmen hakim konstitusi yaitu tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi belum memiliki standar yang sama di setiap lembaga pengusul (DPR, Pemerintah, dan Mahkamah Agung) calon hakim konstitusi.

Dengan tidak adanya standarisasi mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi maka tiap lembaga pengusul memiliki mekanisme masing-masing yang berbeda satu sama lain.

Baca Juga: DPR Gelar Rapat Paripurna RAPBN, 279 Anggota Dewan Absen

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya