Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Times/Santi Dewi
Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) peristiwa Mei 1998, Marzuki Darusman (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Intinya sih...

  • Negara diduga sengaja ingin menghapus peristiwa pemerkosaan massal 1998: Penyangkalan perkosaan massal 1998 terkait penulisan ulang sejarah Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan.

  • Tim pencari fakta sempat berbicara di forum PBB: TGPF berhasil dibentuk berkat dorongan dari negara sahabat dan bisa meminta keterangan dari siapapun, termasuk Wiranto.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) peristiwa Mei 1998, Marzuki Darusman mengatakan, penyangkalan perkosaan massal 1998 diduga kuat sengaja dilakukan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Hal itu, kata Marzuki, diduga terkait proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang diinisiasi oleh Kementerian Kebudayaan. Pada 20 Juli 2025 lalu, penulisan ulang sejarah itu sudah memasuki tahap uji publik.

Dalam pandangan koalisi masyarakat sipil melawan impunitas, ada bagian-bagian tertentu yang tidak dimasukan ke dalam sejarah versi pemerintahan Prabowo Subianto. Salah satunya pemerkosaan massal yang terjadi saat kerusuhan Mei 1998.

"Pernyataan yang melecehkan tragedi Mei 1998 juga terkait kuat dugaan ucapan yang terlepas oleh saudara Menteri (Fadli Zon) sehubungan dengan rencana pemerintah untuk menulis ulang sejarah Indonesia," ujar Marzuki, dikutip dari YouTube KontraS pada Jumat (12/9/2025).

Itu sebabnya Marzuki menjadi salah satu penggugat individu pernyataan Fadli ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tujuannya, ia ingin melindungi para korban pemerkosaan Mei 1998.

"Mereka terbukti telah mengalami tindakan-tindakan traumatis hingga saat ini terkait pada usaha tidak hanya melecehkan tetapi juga menyangkal (perkosaan) Mei 1998," tutur dia.

Ia menilai pemerintahan Prabowo Subianto seharusnya melanjutkan pemberian tanggung jawab kepada para korban yang sudah dimulai di rezim Joko "Jokowi" Widodo. Di era pemerintahan Jokowi, ia mengakui telah terjadi 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu.

"Pelanggaran HAM berat di masa lalu di pemerintahan sebelumnya diakui sebagai utang untuk diselesaikan," katanya.

1. Negara diduga sengaja ingin menghapus peristiwa pemerkosaan massal 1998

Aktivis perempuan yang mendampingi korban pemerkosaan massal Mei 1998, Ita Fatia Nadia. (Tangkapan layar YouTube KontraS)

Sementara penggugat lainnya, aktivis perempuan Ita Fatia Nadia menegaskan, perkosaan massal Mei 1998 bukan sekadar rumor. Sebab, ia bersama Kalyanamitra turut mendampingi korban secara langsung.

Ita menilai, perkosaan Mei 1998 di Indonesia dapat dikatakan tragedi kemanusiaan yang paling hebat. Bahkan, peristiwa yang terjadi 27 tahun itu bisa disejajarkan dengan tragedi perkosaan di Bosnia Herzegovina dan Rwanda.

"Ini merupakan kesengajaan yang dilakukan oleh negara untuk menghapus peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat, meskipun pada tahun 2023 sudah diumumkan peristiwa Mei 1998 dimasukan ke dalam peristiwa pelanggaran HAM berat," kata Ita.

Peristiwa perkosaan massal, kata Ita, akan disangkal secara sistematis lewat penulisan ulang sejarah yang digagas oleh Kementerian Kebudayaan. Ia pun mengakui, korban dari peristiwa pemerkosaan 1998 memilih untuk diam dan melanjutkan kehidupannya.

"Beberapa korban menelepon saya. Mereka mengatakan bahwa tidak bisa (membantu). Kami sudah memiliki keluarga. Kami tidak ingin seperti nasib Ita Martadinata," tuturnya menirukan kalimat dari para penyintas perkosaan massal 1998.

Ita Martadinata adalah aktivis HAM yang dibunuh secara misterius pada 1998, jelang keberangkatannya ke kantor PBB New York untuk memberikan kesaksian soal pemerkosaan massal tersebut.

2. Tim pencari fakta sempat berbicara di forum PBB

Koordinator tim relawan peristiwa Mei 1998, Romo Sandyawan Sumardi ketika memberikan keterangan pers. (Tangkapan layar YouTube KontraS)

Cerita lain disampaikan oleh Sekretaris Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Sandyawan Sumardi. Ia bersama koleganya di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Kongres Amerika Serikat (AS).

"Waktu itu wartawan dari hampir seluruh dunia ada di sana," ujar pria yang akrab disapa Romo Sandyawan.

Ia mengisahkan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) akhirnya bisa dibentuk berkat dorongan dari sejumlah negara sahabat. Kondisi Pemerintah Indonesia ketika itu dinilai lemah sehingga akhirnya membentuk TGPF.

Keberadaan TGPF begitu kuat di mata hukum karena mereka bisa memanggil siapapun dan dapat meminta dokumen apapun. Salah satu yang berhasil dimintai keterangan adalah Wiranto.

"Pembentukan TGPF ketika itu di Mabes TNI. Proses investigasi pun berjalan," tutur dia.

3. Koalisi masyarakat sipil sudah layangkan gugatan hukum terhadap Fadli Zon

Menteri Kebudayaan, Fadli Zon ketika berbincang di program 'Real Talk' with Uni Lubis by IDN Times. (Tangkapan layar YouTube IDN Times)

Ita, Marzuki Darusman, dan dua institusi lainnya menggugat Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada Kamis (11/9/2025). Fadli digugat karena pernah menyangkal di ruang publik adanya perkosaan massal pada Mei 1998. Gugatan sudah didaftarkan ke PTUN dengan nomor registrasi perkara 303/G/2025/PTUN-JKT.

Kuasa hukum Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas, Jane Rosalina Rumpia menjelaskan, obyek gugatan mereka adalah pernyataan Menbud di dalam siaran pers Kementerian Kebudayaan Nomor 151/Sipers/A4/HM.00.005/2025 pada 16 Mei 2025. Siaran pers itu disebarkan ke ruang publik pada 16 Juni 2025 lalu melalui akun resmi media sosial Kemenbud dan Fadli Zon.

"Siaran pers itu menyatakan laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa ada data pendukung yang solid, baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku. Di sini lah perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. Jangan sampai kita mempermalukan nama bangsa sendiri," ujar Jane ketika membacakan ulang cuplikan siaran pers saat memberikan keterangan pada hari ini.

"Penting untuk berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang problematik," imbuhnya.

Pernyataan problematik Fadli terus berlanjut ketika berbincang di program Real Talk With Uni Lubis, yang tayang di YouTube IDN Times. Gugatan yang dimasukan ke PTUN merupakan tindak lanjut dari gugatan serupa yang disampaikan pada 15 Juli 2025 dan 29 Juli 2025.

"Kedua surat yang kami layangkan kepada Menbud dan Presiden Prabowo Subianto tidak direspons. Sehingga sesuai dengan tenggat waktunya, kami mendaftarkan gugatan pada hari ini," tutur Jane.

Editorial Team