Putri Gus Dur Kritik Pernyataan Fadli Zon yang Sangkal Perkosaan Massal Mei 1998

- Gus Dur bantu korban pemerkosaan Mei 1998 pergi ke luar negeri.
- Amnesty duga Fadli Zon sengaja menyangkal demi bela Prabowo.
- Pemerintah tak pernah periksa temuan TGPF di ruang pengadilan.
Jakarta, IDN Times - Putri mendiang Presiden keempat, Alissa Wahid mengkritik keras sikap Menteri Kebudayaan, Fadli Zon karena menyangkal peristiwa perkosaan massal pada Mei 1998. Alissa menyebut Menteri dari Partai Gerindra itu menyangkal peristiwa perkosaan massal karena mengklaim tidak tahu adanya insiden kemanusiaan tersebut.
Tetapi, dalam pandangan Alissa ketidaktahuan seseorang lantas tidak membatalkan fakta sejarah. "Yang Pak Fadli Zon tidak tahu itu tidak sama dengan itu tidak benar. Just because you can not see, doesn't mean it doesn't happen. Jadi, jangan karena kita gak tahu informasinya terus kita menganggap itu tidak benar," ujar Alissa seperti dikutip dari keterangan tertulis pada Minggu (22/6/2025).
Ia menambahkan pemerintah sudah secara sah mengakui bahwa peristiwa kelam itu benar-benar terjadi. Hal itu dibuktikan dengan munculnya laporan resmi adanya kekerasan seksual pada rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas HAM.
Bahkan, di bawah kepemimpinan Presiden ke-7, Joko "Jokowi" Widodo, sudah dikeluarkan Keppres nomor 17 tahun 2022 yang berisi pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat di masa lalu. Jokowi pun mengakui peristiwa Mei 1998 sebagai salah satu dari 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu. Kemudian Tim PPHAM itu dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
"Kemenko Polhukam dalam 12 kejahatan HAM berat di masa lalu, di masa periode Pak Jokowi yang kedua sudah menyebutkan itu. Artinya, itu sudah menjadi informasi yang diverifikasi," imbuhnya.
1. Gus Dur sempat bantu korban pemerkosaan Mei pergi ke luar negeri

Lebih lanjut, Alissa mengatakan mendiang sang ayah sudah berupaya membantu warga korban pemerkosaan pada Mei 1998 untuk pergi ke luar negeri. "Gus Dur dulu bercerita kepada saya, menemui korban-korban perkosaan, membantu mereka pergi ke luar negeri. Ada kok yang dulu sempat ke Ciganjur sebelum akhirnya pergi ke luar negeri," katanya.
Maka, Alissa berharap Fadli tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan dan memperbanyak data mengenai fakta yang terjadi pada tragedi Mei 1998.
2. Amnesty duga Fadli Zon sengaja menyangkal demi bela Prabowo

Sementara, Direktur eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid mengatakan sikap Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal pemerkosaan massal pada Mei 1998 betul terjadi karena diduga ikut merasa malu peristiwa itu pernah ada. Selain itu, pemerintahan Prabowo Subianto diduga tidak merasa nyaman karena rekam jejak masa lalu.
Lagipula, peristiwa kerusuhan pada Mei 1998 sudah tak bisa lagi dibantah lantaran bukti dokumentasi menumpuk. Usman pun menduga Fadli sengaja menyangkal peristiwa pemerkosaan massal agar nama sejumlah individu yang tertulis di laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tidak diproses hukum.
"Pernyataan Menteri tersebut juga bisa dihubungkan dengan rekomendasi TGPF, tepatnya rekomendasi nomor 2. Isinya pemerintah perlu sesegera mungkin menindak lanjuti kasus-kasus yang diperkirakan terkait dengan rangkaian tindak kekerasan yang memuncak pada kerusuhan 13-14 Mei 1998 yang dapat diungkap secara yuridis," ujar Usman seperti dikutip dari YouTube Koalisi Perempuan Indonesia pada 14 Juni 2025 lalu.
Tindak lanjut itu, kata Usman, berupa proses hukum terhadap warga sipil maupun militer. Selain itu, TGPF meminta pemerintah untuk mempercepat proses yudisial yang sedang berjalan.
"Dalam rangkaian ini, Pangkoops Jaya, Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin perlu dimintakan pertanggung jawabannya. Dalam kasus penculikan yang terjadi pada Mei, Letjen Prabowo dan semua pihak yang terlibat harus dibawa ke pengadilan militer. Demikian juga dalam kasus (penembakan) Trisakti perlu dilakukan berbagai tindakan lanjutan yang sungguh-sungguh untuk mengungkap penembakan mahasiswa," tutur dia.
Usman pun menyadari dua nama yang disebut di dalam laporan TGPF kini sudah menjadi pejabat yang lebih tinggi. Sjafrie kini menduduki posisi Menteri Pertahanan, sedangkan Prabowo adalah Presiden ke-8.
"Padahal, mereka seharusnya dimintai pertanggungjawaban berdasarkan rekomendasi TGPF," imbuhnya.
3. Pemerintah tak pernah periksa temuan TGPF di ruang pengadilan

Di sisi lain penyebab peristiwa pemerkosaan massal 1998 tak pernah terbukti di muka hukum karena pemerintah tidak pernah memeriksa dan mengajukannya ke pengadilan.
"Persoalannya adalah apakah pemerintah pernah membentuk pengadilan? Faktanya, itu tidak pernah dibentuk. Jadi, seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah adalah membentuk terlebih dahulu pengadilan HAM misalnya atau pengadilan apa pun untuk memeriksa keseluruhan laporan dan bukti-bukti yang terkait perkosaan massal," kata Usman.
Ia menilai, apabila Menteri Fadli Zon menyampaikan pandangannya bukan dari sumber resmi, maka sama saja dengan menyampaikan pernyataan kosong.
"Itu sama seperti Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, usai dilantik di kabinet menyangkal ada pelanggaran HAM berat di peristiwa Mei 1998," kata dia.
Padahal, Komnas HAM pernah melakukan penyelidikan untuk tiga peristiwa besar yakni penembakan mahasiswa di berbagai kampus; kerusuhan pada 13-15 Mei 1998 dan rangkaian penculikan serta penghilangan paksa sepanjang kerusuhan Mei 1998. Ketiga peristiwa ini disimpulkan oleh Komnas HAM ketika itu sebagai pelanggaran HAM berat.