Disorientasi Politik hingga 'Sindrom Jokowi' Ancam Hantui Pemilu 2024

Loyalis Jokowi tak ingin kehilangan kekuasaan

Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif Para Syndicate, Ari Nurcahyo, menilai ada beberapa alasan munculnya kelompok masyarakat yang menginginkan kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo terus berlanjut pada 2024.

Ari menyebut salah satu penyebab keinginan tersebut adalah karena ‘Jokowi Sindrom’ atau keinginan beberapa kelompok masyarakat yang memilih pemimpin mirip seperti Jokowi, atau Jokowi itu sendiri.

“Kita menghadapi problem disorientasi politik. Ada sindrom Jokowi, ada sindrom survei, dan 'decapresinasi',” ujar Ari di Jakarta, Rabu (21/9/2022).

1. Loyalis Jokowi tak ingin kehilangan kekuasaan

Disorientasi Politik hingga 'Sindrom Jokowi' Ancam Hantui Pemilu 2024Presiden Joko "Jokowi" Widodo (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Ari menyebut munculnya 'Sindrom Jokowi' karena beberapa pihak cukup nyaman berada di lingkaran Jokowi selama dua periode. Loyalis Jokowi ini enggan berganti kursi pemerintahan, karena mereka takut hak istimewa yang didapat ketika berada di lingkaran Presiden Jokowi.

“Jadi upaya melanggengkan Jokowi, orang ingin figur Pak Jokowi ini berlangsung lama, kalau bisa di luar dua periode,” ujarnya.

Akibatnya, kelompok yang terkena 'Sindrom Jokowi' ini menginginkan Jokowi tetap berada di kursi pemerintahan dengan cara apapun, baik dengan perpanjangan masa jabatan, penundaan pemilu, hingga duat sebagai cawapres Prabowo Subianto.

Ari juga menilai ada kecenderungan kelompok ini melihat capres 2024 yang mirip dengan Jokowi. Dia menilai kandidat terdekat adalah Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang mirip Jokowi.

“Jadi sintesanya kalau saya lihat begitu kira-kira. Kita butuh figur yang mirip Pak Jokowi. Ganjar itu kan mirroring Jokowi banget karena gesturnya sama, sama-sama orang Jateng, sama-sama suka blusukan,” jelasnya.

Baca Juga: Jokowi Jawab Isu Bakal Jadi Cawapres: Itu dari Siapa?

2. Ada sindrom survei partai politik

Disorientasi Politik hingga 'Sindrom Jokowi' Ancam Hantui Pemilu 2024Ilustrasi bendera partai politik. (ANTARA FOTO/Ampelsa)

Kemunculan isu Jokowi maju sebagai cawapres juga dinilai dilatarbelakangi karena partai politik takut mendeklarasikan nama-nama unggulannya, sebab tak sama seperti hasil lembaga survei.

Ari menyebutkan, hal ini timbul karena beberapa lembaga survei hanya mengumumkan nama-nama yang sama seperti Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, hingga Anies Baswedan. Sementara, nama-nama kader partai politik lain seperti Puan Maharani, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) relatif rendah elektabilitasnya dalam hasil survei.

“Sindrom survei itu satu sisi nama-nama itu saja yang muncul, tokohnya itu-itu saja, pilihannya itu-itu saja. Ada stagnasi elektabilitas, survei itu hasilnya memotret pada itu,” ujarnya.

3. 'Decapresinasi' parpol hanya dukung kader tertentu

Disorientasi Politik hingga 'Sindrom Jokowi' Ancam Hantui Pemilu 2024Presiden Joko Widodo (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Selain itu, menurut Ari, ada kemunculan 'decapresinasi' partai politik, karena kadernya tak masuk bursa survei elektabilitas, atau memiliki tingkat ketenaran rendah.

“Ada decapresinasi parpol, sekarang merasa tidak percaya diri, terkungkung dengan hasil survei,” ucap dia.

Padahal, menurut Ari, Jokowi bisa digantikan siapa pun sesuai keinginan rakyat pada Pemilu 2024.

“Pak Jokowi bisa digantikan siapa pun, dan kita harus berani membuka mata pada tokoh terbaik, jangan terpaku pada Pak Jokowi,” ucapnya.

Baca Juga: Sebut Jokowi Bisa Maju Jadi Cawapres di 2024, PDIP Siap Dukung?

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya