[WANSUS] Membongkar NasDem: Koalisi, Duet Ganjar-Anies, dan Pilgub DKI

NasDem jadi sorotan setelah usulkan Ganjar-Anies

Jakarta, IDN Times - Partai NasDem menjadi satu-satunya yang telah memiliki tiga nama kandidat yang direkomendasikan sebagai bakal capres untuk Pilpers 2024. Mereka antara lain Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.

Dua kandidat, Anies dan Ganjar, disebut memiliki elektabilitas tinggi menurut beberapa survei. Kendati, NasDem tak kunjung mengumumkan siapa seorang kandidat yang bakal dipilih jadi bakal capres untuk Pilpres 2024.

Tak hanya itu, meski NasDem memiliki kandidat untuk diusung, partai politik besutan Surya Paloh ini belum mencapai batas ambang batas parlemen. NasDem butuh berkoalisi dengan partai politik lain agar bisa ikut berlaga dalam kontestasi Pilpres 2024.

Siapa partai politik yang akan bekerja sama dengan NasDem, dan bagaimana hubungan NasDem dengan Demokrat dan PKS saat ini?

IDN Times melakukan wawancara khusus dengan Ketua DPP Nasdem, Willy Aditya, untuk mengupas pertanyaan terkait persiapan NasDem dalam Pemilu 2024. Berikut hasil wawancara lengkap bersama Willy Aditya pada Rabu, 6 Juli 2022.

NasDem sudah bertemu beberapa partai besar, Demokrat, PKS, hingga Gerindra, kapan akan koalisi?

Tentu koalisi menjadi keniscayaan, tidak ada partai yang bisa mengusung calon sendiri di luar PDIP. Maka kemudian komunikasi itu harus intensif.

Nasdem sudah mengeluarkan tiga nama maka berikutnya sejauh apa komunikasi politik dalam membangun koalisi untuk proses pengusungan. Dengan Demokrat sudah tiga kali bertemu, dengan PKS kalau dihitung jauh-jauh hari sudah tiga kali bertemu.

Bagaimana proses menuju ke koalisi tentu itu sebuah proses. Kita lihat bagaimana. Kalau lihat sekarang masih taaruf aja.

Tentu kita tak ingin koalisi seperti kawin paksa. Koalisi harus dibangun berdasarkan dua hal. Pertama adalah kecocokan figur yang diusung, kedua tentu chemistry di antara partai pengusung.

Dua hal itu butuh waktu karena apa? Karena bagaimana membangun tidak hanya kesepahaman, tapi bagaimana membuat ikatan dalam sebuah kesepakatan bekerja bersama.

Dia harus dilandaskan pada platform perjuangan bersama. Common platform. Dia tidak hanya declare figure. Kalau seperti itu kan kita jadi fanclub atau fan base aja.

Politik itu adalah sebuah pertarungan gagasan, bukan hanya pertarungan orang per orang. Maka demikian yang intensif dilakukan NasDem, Demokrat,  PKS, Gerindra, bagaimana exercise gagasan itu berkelanjutan dari pemerintahan Jokowi.

Ada Gerindra yang berkomunikasi dengan NasDem, sementara Gerindra juga dekat dengan PKB, dengan ketua umum Muhaimin Iskandar. Sudah ada sinyal Prabowo-Cak Imin 2024. Kalau NasDem melihat langkah Gerindra-PKB ini bagaimana? Apakah setuju? Kan tidak ada kandidat NasDem itu Prabowo-Cak Imin?

Iya akhirnya bukan setuju atau tidak setuju. NasDem bagaimana pun akan mengupayakan nama-nama yang sudah dideklarasikan itu menjadi perjuangan maksimal dari partai NasDem.

Sejauh ini yang belum memiliki koalisi memang partai Demokrat, PKS, maka kemudian komunikasinya jauh lebih intensif dengan partai tersebut.

Tapi kami belum sampai pada proses kesepakatan. Baru membangun kesepahaman dan exercise problem-problem yang ada, tentang kepemiluan, nasional.

Tapi komunikasi masih terjaga, bahkan dengan Gerindra sekali pun. Karena politik kita satu hal yang sangat dinamis. Prinsip yang kami kedepankan, kami tak ingin koalisi itu last minute. Itu yang coba kami usahakan sedini mungkin.

Karena kalau koalisi terbangun sedini mungkin, ada capres sedini mungkin, konfirmasi itu menguntungkan rakyat.

Rakyat tidak membeli kucing dalam karung. Kemudian kerja sama politiknya menjadi sangat kualitatif. Ada kesepahaman yang dibangun, ada kerja sama. Sehingga kehadiran figur dan partai pengusung itu bisa terkoneksi sedalam mungkin.

Jadi kalau politik last minute kan benar-benar kawin paksa. Kita ingin mengantitesa itu sebenarnya. Jadi bukan suatu hal sederhana.

Pilihan partai politik, pilihan-pilihan politik yang diambil oleh NasDem, Pak Surya bilang adalah bisa sangat mudah, bisa sangat sulit sekali. Sangat mudah karena sudah punya kandidat. Sangat sulit karena diblokir sama partai lain.

Baca Juga: Elite PKS Sindir NasDem Usung Anies Jadi Capres 2024

Ada kandidat yang diblokir partai lain?

Ada kandidat yang diblokir memangnya?

Semuanyalah.

Dari tiga kandidat yang sudah bergabung partai, ada Pak Ganjar di PDIP. Ada blok kubu merah itu?

Ini bukan kali pertama. Ketika kita mengusung Ppak Jokowi, Pak Jokowi juga kader PDIP. Dan itu penghormatan kami pada kader partai lain yang kami melihatnya itu kader-kader bangsa yang memiliki kualifikasi sebagai calon presiden.

Harusnya tersanjung, dihormati. Kalau NasDem punya banyak kader seperti itu kan tersanjung juga NasDem. Proses ini saling apresiasi saja ya.

Artinya apa? NasDem mencoba kosmopolitan, open mind, melihat siapa yang layak, siapa yang pantas. Itu yang kemudian jadi standar partai NasDem.

NasDem tahu diri, tidak memaksakan, oh harus orang kuat. Harus dari rumah kami, oh tidak. Karena apa? Karena bicara high politics, kalau bicara high politics adalah sudah kepentingan umum, kepentingan orang banyak, kepentingan negara, bangsa. Maka kita harus tahu diri, menempatkan kepentingan lebih besar itu di atas kepentingan partai, golongan, dan kelompok.

Menyorot Anies Baswedan, sebelum rakernas NasDem sudah mencuat elektabilitasnya. Di PKS sendiri suaranya 60 persen ke Anies, Demokrat mencalonkan Anies-AHY karena elektabilitasnya tinggi. Berarti Anies menjadi pemersatu tiga partai (Demokrat, PKS, NasDem). Bagaimana tanggapan NasDem?

Tentu tadi basisnya ada dua hal, pertama kesepahaman antara dua partai. Kedua adalah figur.

Komunikasi yang terjadi antara NasDem dan Demokrat ini masih parsial. NasDem sendiri dengan PKS, NasDem sendiri dengan Demokrat.

Belum kemudian mencoba bersama-sama, dan NasDem juga belum menentukan siapa figur yang kemudian menjadi satu nama. Pak Surya kan jelas-jelas mengatakan nanti akan kita cari hari baik, bulan baik, waktu yang baik untuk mengumumkan satu nama.

Prosesnya masih sangat dinamis. Karena sebuah pertandingan itu kan harus melihat lawan tandingnya siapa. Gak mungkin kita menyusun sendirian. Tergantung tiga partai ini. Kita menyusun komunikasi seperti apa.

Tentu pasti akan jatuh pada salah satu pilihan. Siapa yang paling cocok merepresentasikan. Sejauh ini komunikasinya intensif sekali, masih dalam proses penyesuaian-penyesuaian satu dan lainnya.

Tapi juga kami melakukan komunikasi dengan partai lain. Dengan Gerindra intensif.

Ada komunikasi intensif selain dengan tiga partai itu?

Selain dengan tiga partai itu ada komunikasi?

Iya, dengan Gerindra juga intensif. Dengan beberapa partai, PKB, Golkar, kita kan belum tahu juga KIB (Koalisi Indonesia Bersatu) bagaimana.

Tapi komunikasi dilakukan secara terus-menerus, karena secara target masih ada waktu sampai akhir tahun paling lama untuk menentukan siapa.

Ini kan kalau pinjam istilah Pak Jokowi itu ojo kesusu (jangan buru-buru).

Politik selalu melibatkan sebuah pilihan-pilihan yang presisi. Itu menjadi penentu yang sangat krusial. Siapa yang dipilih dan bagaimana kemudian.

Konsekuensi-konsekuensi itu sangat kalkulatif, ada pepatah yang mengatakan the gift is only in the details. Yang detail lah yang memenangkan pertarungan.

Itu sekarang momen-momen di mana detailing itu dihitung betul. Kalau di NasDem itu chief of common nya Pak Surya Paloh. Kami serahkan pada Pak Surya sepenuhnya untuk memilih menentukan yang bagaimana kemudian melihat situasi politik itu.

Kami sebagai pasukan memfasilitasi, mencoba merangkai, merajut, dari seluruh proses-proses yang sudah diputuskan.

Konsekuensi memilih Anies Baswedan yang disebut bisa memecah belah umat

Ada Anies Baswedan, ada konsekuensi. Anies kemarin sering dikaitkan dengan polarisasi di umat beragama. Di NasDem sendiri mengusung Pak Anies sebagai capres, adakah langkah mitigasinya? Bagaimana NasDem memandang Anies?

Itu yang menjadi tema besar Rakernas Partai NasDem. Politik kebangsaan. Kita sudah terbiasa dengan steoritipe dan stempel. Kita menganggap orang lebih pancasilais ketimbang kita. Kita menganggap lebih islamis atau agamis.

Itu sebuah proses yang dibuat sebenarnya. Pak Surya mengatakan ini adalah orang orang yang hidup di tengah kerusuhan. Kalau kita lihat ada sebuah perdebatan luar biasa antara Bung Karno dan Buya Hamka.

Ketika Bung Karno membuat pamflet Bekerja jangan hanya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dibalas sama Buya Hamka, Akar tunggang dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Proses dialog kemudian membuat orang saling kosmopolitan. Hari ini, kita hidup di era post trust, orang menganggap kebenaran apa yang dia yakini. Makanya polarisasi terjadi. Jadi siapa sih yang untung dari polarisasi ini?

Pihak yang membuatnya?

Iya. Bukan hanya pihak yang membuat.

Politik itu harus kita lihat dalam dua perspektif. Ada kompetisi dan ada kolaborasi. Ada dua hal yang saya ingin ceritakan.

Pertama, proposal Sukarno waktu sidang 1 Juni 1945. Apa proposal dia yang pertama? Yang pertama Pancasila itu adalah Kebangsaan Yang Satu. Bukan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kenapa? Indonesia itu masih to be come. Aceh sudah menjadi negara sebelum Indonesia ada. Ngayogyakarta sudah jadi negara. Kita punya banyak bangsa.

Terus ini kalau diadu itu, bubar jalanlah barangnya. Polarisasi itu keniscayaan, tapi bagaimana bersatu itu menjadi sebuah keharusan. Itu pilihan.

Kalau kita masih terjebak dalam narasi-narasi cebong kampret ya partai itu saja sudah berbeda. Dia memiliki tendensi, dia memiliki ideologi, dia memiliki basis konstituensi. Itu sebuah perbedaan yang dilagakan.

Itu sekarang hal yang sangat riskan yaitu dilagakan antara yang satu seolah sok pancasilais, yang satu sok sok agamis. Terus dibenturkan seperti itu. Yang rugi kita sendiri.

Kita ambil contoh paling dekat bagaimana Amerika terbelah dengan politik kebencian yang dikumandangkan oleh Trump, dampaknya luar biasa.

Sekarang apakah kita mau bebal? Saya katakan sekali lagi kita mau bebal atau tidak?

Kalau kita terjebak dalam narasi kadrun, cebong, kampret, kita tetap jadi bebal. NasDem melalui Pak Surya Paloh memilih tidak mau terjebak dalam itu.

Kita tidak mau menjadi manusia yang bebal. Kita tidak mau masyarakat yang menggadaikan kebangsaan yang satu itu hanya untuk kemudian fansclub-fansclub yang fandalis.

Seolah-olah dia paling benar sendiri. Memang siapa yang tidak menggunakan identitas hari ini? Kita harus melihat dia secara holistik, kita harus lihat dalam Pilkada.

Pilkada, Pileg, nanti kita bicara Pilpres. Di Jakarta hampir setiap dapil, bataknya dua. Identitasnya gila-gilaan. Siapa partainya? Periksa aja.

Di luar Jawa, piye-piye wonge dewe (gimana-gimana saudara kita sendiri). Itu kurang identitas apa? Jadi jangan kemudian memberikan steorotipe stigamatisasi ini harus dimitigasi pada seseorang. Itu unfair.

Seolah mengaku paling nasionalis, mengaku paling patriotis, tapi kemudian bekerja secara sadar dengan hal-hal yang ada. Nangis kita.

Orang bekerja pada ranah itu. Di Jakut dan Jakbar itu dua per dapil Tionghoa. Terus kita mempertahankan seperti ini? Mengaku paling nasionalis, mengaku paling patriotis tapi bekerja atas dasar? Oh jangan begitu. Itu klaim sepihak.

Kita sama-sama saja. Sama-sama bangsa Indonesia, sama-sama negara Indonesia, hand in hand bergotong royong, gak usah ada merasa paling benar sendiri. Merasa paling nasionalis, jangan.

Saya ini skripsinya politik pemekaran Sukarno. Pak Surya seorang nasionalis. Baca semua pidato-pidatonya. Jadi hal itu kemudian membuat dia seorang cosmopolitan. Nasionalisme Indonesia adalah sekaligus nasionalisme yang internasionalisme, bukan yang chauvinistik, bukan berbasiskan Jawa.

Kalau pun toh seperti itu kita pasti jadi negara Islam, 80 persen Islami. Tapi pilihannya kan republik. Bahasa mayoritas Jawa tapi pilihan bahasa Melayu yang jadi bahasa persatuan kita yang jadi Bahasa Indonesia.

Jangan sekali-sekali lupa sejarah, jangan sekali-kali merasa dirinya paling benar. Ini bahaya bagi kita. Kita hidup di daerah post trust yang benar-benar menyediakan realitasnya fragmented, bisa merasa dirinya paling benar, setiap orang bisa mengaku dirinya paling super, proses untuk kemudian untuk mencari titik tengah, mencari titik temu, mencari benang merah. Itulah political exercise.

Kalau kita tetap, apalagi ada bahasa mitigasi, mak alangkah sombongnya kita jadi orang. Itu narasi yang terlalu sombong. Menganggap kelompok lain lebih hina dari kelompok kita. Jangan. Kita hentikan narasi ini. Kita berpikir tentang kekitaan. Itulah pidato politik Pak Surya Paloh tentang politik kebangsaan kemarin di Rakernas. Ini menjadi pertanyaan, koreksi, autokritik bagi dari kita semua.

NasDem melihat Anies bukan seperti dikatakan orang-orang bisa memecah belah umat?

NasDem Pak Surya tentu memberikan penghitungan yang detail. Kami tidak mau terlibat dalam politik rendahan seperti itu, itu benar-benar sebuah kreasi saja. Mungkin diproduksi.

Pertanyaannya setiap zaman pasti ada tantangan. Siapa sih yang gak mengalami kebangkitan politik identitas? Periksa Eropa, periksa Amerika, negara-negara lain, Eropa yang begitu besar, yang begitu panjang sejarah demokrasinya, hari ini neofasisme muncul. Anti imigran di mana-mana. Kan itu yang dikampanyekan Trump, anti-imigran.

Membangun tembok pembatas antara Amerika dan Meksiko. Lihat Neonazi muncul di mana-mana, di Eropa sana. Apakah kita mau berbicara dalam kerangka seperti ini? Apakah nasionalisme seperti ini yang mau dipegang? Kan kagak.

Terus kenapa kita harus terjebak dengan cebong dan kampret? Kenapa harus berpikir mitigasi satu sama lain? Emang yang mengaku sangat pancasilais itu sangat pancasilais dalam kebijakan? Lihat the way of thinking-nya.

Jangan mengaku paling patriotis lalu menjual negara paling di depan. Kontradiksi menurut saya.

Baca Juga: Disebut Picu Polarisasi, Nasdem Nilai Anies Tokoh Islam Moderat

Duet pemersatu bangsa Ganjar-Anies?

Kemarin kalau Surya Paloh sendiri bilang ada duet pemersatu bangsa Ganjar-Anies, ini serius gak sih bakal melahirkan dua nama ini?

Itu seperti pidato Sukarno 1 Juni. Pak Surya tak ingin terjebak dalam narasi "dilanjutkan" atau "perubahan". Pemilu kan biasanya hanya melahirkan dua narasi. Bagi si kontestan itu changes, bagi yang melanjutkan, status quo, to be continue.

Ini kan narasi yang given. Satu perubahan, satu lanjutkan. Kenapa kita tidak berbicara pada narasi yang lain?

Jadi Pak Surya ada seniman-senimannya. Berpikirnya tidak normal-normal, berpikirnya out of the box.

'Ah dari pada kita terjebak pada narasi change dan continue, kita buat saja narasi baru yang sifatanya rekonsiliasi, kenapa gak kita dudukan saja bersama barang ini?'

Itu proposal. Siapa yang menjadi representasi ya monggo. Pak Surya tidak sampai pada teknis. Tapi Pak Surya mencoba mengajak kita, kenapa tidak bisa? Politik itu kan social engineering, sebuah proses rekayasa sosial. Tentu bisa kita lakukan dan bisa kita dialog kan.

Berarti proposal ini serius ya?

Ya kalau Pak Surya kapan gak serius? Beliau orang yang memikirkan resistensi negara bangsa secara serius, secara detail seorang patriot sejati.

Tapi yang paling penting adalah niat saja. Apa yang disampaikan Pak Surya adalah dia memiliki niat yang tulus kepada negara dan bangsa yang dia cintai. Dia coba sampaikan, sebagai sebuah bentuk tawaran dan gagasan partai politik. Yang lain tidak terima kan mungkin punya pemikiran yang berbeda-beda.

Kita gak tahu. Pikiran orang apa. Pilihan orang apa. Tapi setidaknya saya bisa yakinkan itu lahir dari hati yang paling dalam, niat yang sangat tulus dari hati seorang Surya Paloh.

Soal duet ini apa sudah ada tanggapan dari dua kandidat atau nama yang disebut tadi, Ganjar-Anies?

Ya itu pekerjaan yang tidak sederhana, makanya dia tidak sederhana, dia ditawarkan oleh orang yang tidak sederhana juga, namanya Surya Paloh.

Satu itu kan bukan pekerjaan yang hanya mengawinkan semata-mana, Satu bagaimana mengomunikasikan dengan partai-partai, kedua bagaimana mengomunikasikan dengan para kandidat? Kalau masing-masing punya ego. Saya pingin nomor satu, saya pingin nomor satu. Siapa yang mau nomor dua?

Yang kedua, siapa partai yang kemudian ingin melihat kita menyanyikan Indonesia Raya dengan riang gembira? Tidak sedikit juga sebagian orang berdendang di atas kerusuhan, memancing di tengah keributan, kita kan ingin sebuah narasi yang ingin pemilu itu sukacita, riang gembira, narasinya mengarah ke sana.

Tapi kapan nih ketentuan kepastian NasDem bakal memilih satu nama?

Kalau satu nama masih proses. Itu proposalnya banyak yang sinical. Artinya gagasan itu dilawan gagasan saja, kan political exercise. Apa? Capaian yang paling tinggi dalam proses politik adalah pertarungan gagasan, bukan pertarungan orang per orang.

Ketika Surya Paloh mampu menawarkan sebuah gagasan, lawan dong dengan sebuah gagasan. Ketika dia menawarkan sebuah proposal ‘Pemersatu Bangsa’ kita bisa exercise, kita bisa jadikan bentuk pemilih sebagai sebuah momentum untuk membicarakan proble, program kebangsaan.

NasDem dalam pemilu kali ini memulai dua hal, satu tradisi preelimenary. Kami gagal menyelenggarakan konferensi yang kemudian itu menjadi proses demokratisasi yang kita inginkan. Kami lakukan pre eliminary.

Di dalam negara demokrasi pre eliminary itu tidak hanya membicarakan kandidat, tapi melagakan, membahas gagasan-gagasan apa yang paling pas untuk program pemerintahan. Itu kita tawarkan. Political gagasan itu yang menjadi sebuah panduan, mercusuar.

Kalau orang kan jatuhnya subjektif. Gw suka si ini, gw suka si anu, si kadrun, gw gak suka si ini. Kan subjektif. Apa hal yang paling objektif adalah gagasan.

Ahmad Sahroni maju ke Pilgub DKI?

Soal pilgub DKI, dari NasDem sudah menyiapkan Pilgub. Katanya Ahmad Sahroni akan maju?

Sultan Priok. Itu yang disiapkan NasDem. Kan NasDem itu sadar, coba rasional, ada kader yang sanggup, yang cocok, ya kita dorong. Itulah tugas partai, menjadi fasilitator untuk anak bangsa.

Kita coba create, kita coba kerja sama.

Siapa pasangannya?

Ya belum. Tapi ada canda-canda dengan Airin. Tapi ini masih bercanda. Belum. Politik sekali lagi dinamikanya kan dari cangkir ke bibir, itu banyak sekali yang akan terjadi.

Ya kita lihatlah, itu kalau sebagai sebuah political discord bagus, Ahmad Sahroni-Airin, itu bagus. Ahmad Sahroni orang yang jejak rekamnya luar biasa, terakhir Formula E, dan sebagainya. Dia seorang petarung, dengan narasi hidup luar biasa.

Jadi tentu orang pingin memiliki jejak rekam seperti Roni.

Sudah pasti Ahmad Sahroni yang bakal diusung di Pilgub DKI?

Sejauh ini yang dinominasi oleh NasDem itu Ahmad Sahroni.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya