Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Menanti Implementasi Putusan MK soal SD-SMP Swasta Gratis

Anak-anak Sekolah Dasar Negeri Banjar Bendo Sidoarjo antusias saat bertemu dan berjabat tangan langsung dengan Presiden RI, Prabowo Subianto. (dok. Tim Komunikasi Prabowo)
Intinya sih...
  • Putusan MK meminta pemerintah menanggung biaya pendidikan dasar bagi anak-anak di Indonesia, membuat SD dan SMP baik negeri dan swasta sederajat harus gratis.
  • Komisi X DPR RI menyatakan implementasi putusan MK akan memiliki kendala terutama pada kategori sekolah swasta yang tidak mandiri dalam pembiayaan.
  • Lembaga JPPI mengungkap dana yang dibutuhkan agar SD dan SMP swasta/sederajat gratis ialah hanya sebesar Rp84 triliun, bisa dipenuhi tanpa membebankan anggaran pada APBN.

Jakarta, IDN Times - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXIII/2025 terkait uji materiil Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) jadi angin segar bagi anak-anak hingga remaja yang ingin menuntut jenjang pendidikan dasar. Putusan ini dibacakan di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (27/5/2025) lalu.

Putusan MK yang dianggap progresif ini meminta pemerintah menanggung biaya pendidikan dasar bagi anak-anak di Indonesia. Artinya, SD dan SMP baik negeri dan swasta sederajat harus gratis. Entah bagaimana mekanismenya ke depan karena hingga saat ini pemerintah belum mengumumkan rumus pasti terkait cara mengakomodir ketentuan tersebut.

Adapun Pemohon dalam perkara ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama tiga pemohon individu, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Fathiyah dan Novianisa adalah ibu rumah tangga, sementara Riris bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS).

MK menegaskan, pemerintah pusat maupun daerah harus menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Namun yang jadi sorotan publik ialah mengenai ketersediaan anggaran. Mengingat pemerintah di era kepemimpinan Presiden RI, Prabowo Subianto sedang menggencarkan efisiensi anggaran.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Mahkamah menilai berkenaan dengan frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas yang secara eksplisit penerapannya hanya berlaku bagi sekolah negeri, menimbulkan kesenjangan akses pendidikan dasar bagi peserta didik yang terpaksa bersekolah di sekolah madrasah/swasta akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri. Pertimbangan ini juga menjadi dalil Pemohon.

Menurut MK, dalam kondisi demikian negara tetap memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan tidak ada peserta didik yang terhambat dalam memperoleh pendidikan dasar hanya karena faktor ekonomi dan keterbatasan sarana pendidikan dasar. Oleh karena itu, frasa "tanpa memungut biaya" dalam norma a quo memang dapat menimbulkan perbedaan perlakuan bagi peserta didik yang tidak mendapatkan tempat di sekolah negeri dan harus bersekolah di sekolah/madrasah swasta dengan beban biaya yang lebih besar.

"Sebagai ilustrasi, pada tahun ajaran 2023/2024, sekolah negeri di jenjang SD hanya mampu menampung sebanyak 970.145 siswa, sementara sekolah swasta menampung 173.265 siswa. Adapun pada jenjang SMP, sekolah negeri tercatat menampung 245.977 siswa, sedangkan sekolah swasta menampung 104.525 siswa,” ujar Enny.

Menurut MK, data tersebut menunjukkan, meskipun negara telah berupaya memenuhi kewajibannya dalam menyelenggarakan pendidikan dasar tanpa memungut biaya dengan membentuk satuan pendidikan yang dikelola pemerintah, namun masih terdapat kesenjangan yang menyebabkan banyak peserta didik tidak dapat tertampung di sekolah negeri dan harus mengandalkan keberadaan sekolah/madrasah swasta.  

Artinya, secara faktual masih terdapat warga negara selaku peserta didik yang melaksanakan kewajibannya mengikuti pendidikan dasar pada satuan pendidikan yang tidak dikelola negara (sekolah/madrasah swasta) dengan harus membayar sejumlah biaya untuk dapat mengikuti pendidikan tersebut.

Lantas, apa saja catatan penting dari implementasi Putusan MK 3/2025 soal SD dan SMP swasta sederajat gratis ini?

1. Berpotensi problematik implementasinya

Ilustrasi aktivitas siswa di sekolah. (IDN Times/prokopim)

Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), I Nyoman Parta menilai Putusan MK 3/2025 sejalan dengan tujuan utama kemerdekaan Indonesia, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, ia meyakini, implementasi di lapangan tidaklah sesederhana putusan itu, terutama karena adanya ragam kategori sekolah swasta.

“Cuman turunannya agak problematik sedikit yah. Kan ada SD swasta mandiri, ada SD swasta tidak mandiri. Ada SMP swasta tidak mandiri, ada SMP swasta mandiri,” ujarnya.

Sekolah swasta yang tidak mandiri memang memiliki ketergantungan pembiayaan pada pemerintah dan pihak eksternal. Nyoman menjelaskan, sekolah tersebut biasanya tumbuh dari kebutuhan masyarakat di daerah terpencil, yang tidak memiliki cukup sekolah negeri. 

"Nah yang begini menurut saya tidak masalah, memang harus digratiskan itu," ungkap legislator daerah pemilihan (Dapil) Bali ini.

Sebaliknya, sekolah swasta mandiri yang sebagian besar pelajar dari keluarga mampu dan tidak bergantung pada dana pemerintah.

"Sekolah swasta itu tidak mengambil uang dari BOS, kan. Ya artinya mereka tidak terlalu fokus dengan biaya dana BOS. Nah, tetapi mendapatkan uang dari kontribusi orangtua murid. Nah ini bagaimana mengurusnya, mengaturnya,” ucap Nyoman.

Nyoman menambahkan, saat ini DPR melalui Panitia Kerja (Panja) RUU Sidiknas tengah membahas skema yang relevan untuk mengakomodasi berbagai jenis sekolah tersebut.  Diharapakan aturan turunan dari putusan MK nanti bisa membedakan antara sekolah yang harus digratiskan sepenuhnya dan sekolah yang masih bisa menerima kontribusi dari masyarakat.

2. Hanya perlu recofusing Rp84 triliun dari anggaran pendidikan

(IDN Times/Aditya Pratama)
(IDN Times/Aditya Pratama)

Lembaga Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yang merupakan Pemohon dalam Putusan MK 3/2025 punya hitung-hitungan untuk mengakomodasi ketentuan tersebut. Kornas JPPI, Abdullah Ubaid Matraji mengungkap dana yang dibutuhkan agar SD dan SMP swasta/sederajat gratis ialah hanya sebesar Rp84 triliun.

Ubaid menegaskan, anggaran Rp84 triliun itu bisa dipenuhi tanpa membebankan anggaran pada APBN. Sebab, mekanisme kebutuhannya memungkinkan dengan pengalihan alokasi anggaran pendidikan yang dianggap kurang prioritas alias refocusing.

Ia menilai, pihak yang bisa melakukan refocusing anggaran pendidikan ini ialah Presiden RI, Prabowo Subianto, bukan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Medikdasmen).

"Cukup dengan cara refocusing anggaran pendidikan yang sudah ada, tanpa menambah anggaran lagi dari luar dana pendidikan," ujarnya.

Selain itu, Ubaid menyampaikan, opsi lain terkait skenario anggaran untuk SD dan SMP swasta gratis ini juga bisa dibantu oleh APBD. Menurutnya, pemerintah daerah harus mulai menghitung ulang berapa jumlah peserta didik SD dan SMP. Kemudian jumlah tersebut diselaraskan dengan kebutuhan anggaran.

Ubaid menegaskan, pemerintah harus memastikan semua anak bisa sekolah di jenjang pendidikan dasar, sebagaimana perintah Putusan MK. Ia mendorong agar pemerintah segera menghitung berapa jumlah anak yang akan sekolah di setiap daerah. Misalnya, daya tampung sekolah negeri di suatu daerah hanya 5.000 orang, sementara jumlah anak yang ingin sekolah ada 8.000 orang. Maka pemerintah perlu bekerja sama dengan sekolah swasta untuk menampung sisanya, yakni 3.000 calon murid tersebut.

"Kan ada sekolah swasta yang menolak Bantuan Operasional Sekolah (BOS), nggak butuh bos. Ini sekolah untuk menengah atas misalnya. Artinya bisa saja pemerintah nggak bekerja sama dengan sekolah-sekolah itu," ujarnya.

"Kita bekerja sama dengan sekolah-sekolah yang sudah memenuhi standar pendidikan. Mereka diajak oleh pemerintah. Untuk menampung daya tampung yang kurang di situ," sambung dia.

Sementara jika ada masyarakat ingin tetap sekolah di swasta yang tidak bekerja sama dengan pemerintah, konsekuensinya yang bersangkutan harus tetap membayar alias tidak gratis. Pada intinya, pemerintah harus menyediakan kebutuhan pendidikan dasar gratis sesuai dengan jumlah anak-anak yang bersekolah.

"Bahwa ada anaknya orang kaya misalnya, nggak mau ikut sekolah pemerintah itu karena standarnya. Mereka ingin sekolah yang full mandarin misalnya. Dia ingin sekolah swasta yang menggunakan full mandarin, ya monggo saja, tapi dia sudah tahu bahwa pemerintah sudah menyediakan di sini. Kamu nggak ambil, berarti kamu konsekuensi ambil. Jadi intinya adalah pemerintah menyediakan," tutur Ubaid.

3. Perlu koordinasi lintas kementerian

Mendikdasmen, Abdul Mu'ti (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti mengatakan untuk mengakomodir Putusan MK 3/2025 perlu berkoordinasi dan melakukan kajian dengan kementerian dan lembagai terkait. Termasuk menunggu instruksi langsung dari Presiden RI, Prabowo Subianto.

"Terkait dengan pelaksanaannya tentu kami harus koordinasi dengan kementerian keuangan dan juga harus menunggu arahan dari Bapak Presiden,” tutur dia saat ditemui di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri Senin (2/6/2025).

Mu’ti juga menjelaskan, implementasi Putusan MK 3/2025 berkaitan dengan anggaran 2025. Sehingga harus melibatkan Menteri Keuangan (Menkeu) dan DPR. Saat ini, Kemendikdasmen masih fokus menganalisa substansi dalam putusan MK.

Mu’ti menegaskan komitmen pemerintah dalam mematuhi konstitusi. Mengingat putusan MK bersifat final and binding (terakhir dan mengikat).

Saat ditanya berapa lama proses waktu yang dibutuhkan untuk bisa mengimplementasikan kebijakan tersebut, Mu’ti hanya menjelaskan, pemerintah belum bisa memberikan estimasi. Sebab melibatkan banyak pihak.

Hanya saja, menurut pemahaman Mu’ti, putusan MK itu tidak serta-merta membuat SD dan SMP swasta sederajat gratis. Sekolah swasta masih bisa memungut biaya dengan syarat dan ketentuan tertentu.

"Yang kami pahami sebenarnya itu kan tidak menggratiskan semua pendidikan negeri dan swasta. Artinya swasta itu masih boleh memungut dengan syarat ketentuan tertentu," imbuh dia.

4. Kemendagri akan segera bahas dengan pemerintah daerah

(Ilustrasi pelajar) IDN Times/Mardya Shakti

Sementara, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan segera melakukan pembahasan terkait keputusan Mahkamah Konstitusi soal SD dan SMP sederajat gratis baik negeri atau swasta.

"Keputusan MK itu final dan banding. Maksudnya, putusan tersebut bersifat terakhir dan mengikat dan tentunya keputusan itu harus dilaksanakan," kata Wamendagri, Bima Arya saat diwawancarai di Padang, Kamis (29/5/2025).

Bima mengungkapkan, dengan adanya putusan tersebut Kemendagri segera mengumpulkan pemerintah daerah untuk membahas Putusan MK tersebut.

"Pembahasannya akan kami lakukan dalam waktu dekat ini bersama dengan pemerintah daerah sebagai bentuk tindak lanjut dari putusan tersebut," katanya.

Ia mengatakan, pihaknya juga akan meminta masukan dari kementerian lainnya terkait pelaksanaannya. Menurut Bima, akan dilakukan penyesuaian antara perencanaan dan kapasitas fiskal. Hal tersebut akan dilakukan dalam waktu singkat. Penyesuaian itu akan dikaitkan dengan standar pelayanan pendidikan di swasta dan negeri serta kapasitas fiskal yang akan dihitung kembali.

"Ini juga sudah masuk proses RPJMD dan pastinya akan ada penyesuaian-penyesuaian dari perencanaan itu ke depannya," imbuh dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
Yosafat Diva Bayu Wisesa
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us