Prabowo Didesak Segera Patuhi Putusan MK Wujudkan SD-SMP Swasta Gratis

- Desakan Kornas JPPI kepada Presiden Prabowo Subianto untuk segera implementasikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXIII/2025 terkait uji materiil Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
- Kornas JPPI menegaskan bahwa Presiden harus turun tangan karena anggaran pendidikan besar namun salah urus, kebijakan lintas kementerian, payung hukum dan regulasi turunan, serta political will sebagai kunci utama.
Jakarta, IDN Times - Kornas Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Abdullah Ubaid Matraji, mendesak Presiden Prabowo Subianto segera turun tangan mengimplementasikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXIII/2025 terkait uji materiil Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Dalam putusan tersebut, MK mewajibkan pemerintah menanggung biaya pendidikan dasar yang meliputi SD dan SMP negeri maupun swasta/sederajat. JPPI sendiri merupakan Pemohon dalam gugatan ini.
"JPPI mendesak Presiden untuk segera mengambil sikap tegas dan menerbitkan kebijakan yang konkret. Ini adalah kesempatan emas bagi Beliau untuk menunjukkan keberpihakan pada rakyat, dan mewujudkan keadilan pendidikan yang telah lama dinantikan," kata Ubaid kepada IDN Times, Rabu (28/5/2025).
1. Lima alasan utama Prabowo harus turun tangan

Ubaid menjelaskan, ada lima alasan utama mengapa Prabowo harus turun tangan menindaklanjuti Putusan MK 3/2025 ini.
Pertama, anggaran pendidikan besar namun masih salah urus. Ubaid mengatakan, fakta di persidangan MK jelas menunjukkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dan APBD sesungguhnya lebih dari cukup untuk menggratiskan pendidikan dasar di seluruh Indonesia, baik negeri maupun swasta. Namun, selama ini anggaran tersebut terpecah dan dikelola oleh puluhan kementerian dan lembaga yang tidak terkait langsung dengan pendidikan, menyebabkan inefisiensi dan salah sasaran.
"Presiden adalah satu-satunya otoritas yang dapat melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola anggaran ini," tuturnya.
Kedua, kebijakan yang dibuat terkait kewenangan lintas kementerian. Menurutnya, mengubah skema pembiayaan pendidikan dan mengintegrasikan sekolah swasta ke dalam sistem bebas biaya, memerlukan koordinasi lintas kementerian yang kuat.
"Ini melibatkan Kementerian Keuangan untuk realokasi anggaran masif, Kementerian Dalam Negeri untuk sinkronisasi kebijakan di daerah, hingga kementerian lain yang selama ini juga mengelola dana pendidikan. Koordinasi dan keputusan strategis selevel ini hanya bisa dipimpin oleh Presiden," ungkap dia.
Alasan ketiga berkaitan dengan payung hukum dan regulasi turunan. Implementasi putusan MK ini memerlukan payung hukum turunan yang kuat seperti Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres). Proses pembentukan regulasi berada di bawah kendali presiden sebagai kepala pemerintahan. Tanpa arahan tegas dari presiden, regulasi ini bisa tertunda atau tidak efektif.
Lalu keempat, political will sebagai kunci utama. Sejarah menunjukkan perubahan fundamental di sektor publik membutuhkan kemauan politik yang kuat dari pemimpin tertinggi. Tanpa komitmen politik yang jelas dari presiden, Putusan MK ini berisiko menjadi sekadar teks hukum tanpa dampak nyata di lapangan.
Terakhir kelima, amanat konstitusi dan tanggung jawab moral. Putusan MK ini adalah penegasan terhadap amanat Konstitusi UUD 1945 tentang hak setiap warga negara atas pendidikan. Sebagai kepala negara, presiden memiliki tanggung jawab konstitusional dan moral tertinggi untuk memastikan hak ini terpenuhi tanpa hambatan biaya. Rakyat Indonesia menantikan kepemimpinan Presiden untuk mewujudkan janji konstitusi ini secara nyata.
2. Hanya perlu refocusing dari jatah anggaran pendidikan

Berdasarkan hitungan JPPI, dana yang dibutuhkan agar SD dan SMP swasta/sederajat gratis ialah sebesar Rp84 triliun.
Ubaid menegaskan, anggaran Rp84 triliun itu bisa dipenuhi tanpa membebankan anggaran pada APBN. Sebab, mekanisme kebutuhannya memungkinkan dengan pengalihan alokasi anggaran pendidikan yang ada dan dianggap kurang prioritas alias refocusing.
Ia menilai, pihak yang bisa melakukan refocusing anggaran pendidikan ini ialah Prabowo, bukan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Medikdasmen).
"Cukup dengan cara refocusing anggaran pendidikan yang sudah ada, tanpa menambah anggaran lagi dari luar dana pendidikan," tegasnya.
Selain itu, Ubaid menyampaikan, opsi lain terkait skenario anggaran untuk SD dan SMP swasta gratis ini juga bisa dibantu oleh APBD.
Menurutnya, pemerintah daerah harus mulai menghitung ulang berapa jumlah peserta didik SD dan SMP. Kemudian jumlah tersebut diselaraskan dengan kebutuhan anggaran.
"Maka ini menjadi wewenang pemerintah daerah, pemerintah daerah harus menggunakan sumber baik dari APBN maupun APBD untuk menghitung ulang bagaimana meng-cover anak-anak di jenjang pendidikan ini supaya bisa skemanya itu kan jelas. Misalnya daya tampung sekolah negeri itu berapa, sisanya (yang belum dapat di sekolah negeri) berapa, itu bagaimana pembiayaannya," ucapnya.
3. Pemerintah perlu menentukan sekolah swasta mana yang akan dibiayai

Ubaid menegaskan, pemerintah harus memastikan semua anak bisa sekolah di jenjang pendidikan dasar, sebagaimana perintah putusan MK.
Ia mendorong agar pemerintah segera menghitung berapa jumlah anak yang akan sekolah di setiap daerah. Misalnya, daya tampung sekolah negeri di suatu daerah hanya 5.000 orang, sementara jumlah anak yang ingin sekolah ada 8.000 orang. Maka pemerintah perlu bekerja sama dengan sekolah swasta untuk menampung 3.000 calon murid tersebut.
"Kan ada sekolah swasta yang menolak Bantuan Operasional Sekolah (BOS), nggak butuh BOS. Ini sekolah untuk menengah atas misalnya. Artinya bisa saja pemerintah nggak bekerja sama dengan sekolah-sekolah itu. Kita bekerja sama dengan sekolah-sekolah yang sudah memenuhi standar pendidikan. Mereka diajak oleh pemerintah untuk menampung daya tampung yang kurang di situ," jelasnya.
Sementara, jika ada masyarakat ingin tetap sekolah di swasta yang tidak bekerja sama dengan pemerintah, maka konsekuensinya yang bersangkutan harus tetap membayar alias tidak gratis.
Pada intinya, pemerintah harus menyediakan kebutuhan pendidikan dasar gratis sesuai dengan jumlah anak-anak yang bersekolah.
"Bahwa ada anaknya orang kaya misalnya, nggak mau ikut sekolah pemerintah itu karena standarnya. Mereka ingin sekolah yang full mandarin misalnya. Dia ingin sekolah swasta yang menggunakan full mandarin. Ya monggo saja. Tapi dia udah tahu bahwa pemerintah udah menyediakan di sini. Kamu nggak ambil, berarti kamu konsekuensi ambil. Jadi intinya adalah pemerintah menyediakan," ujar Ubaid.
"Kalau sekarang ini kan pemerintah nggak menyediakan. Pemerintah hanya menyediakan sekolah negeri. Sementara negeri kurang. Kalau kurang nggak disediakan sama pemerintah," imbuh dia.