Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Menghapus Stigma Sunan Kuning Sebagai Pusat Pelacuran di Semarang

PEZIARAH. Makam Soen An Ing dipadati ratusan warga yang datang dari dalam maupun luar Semarang. Foto oleh Fariz Fardianto/Rappler

Oleh Fariz Fardianto

SEMARANG, Indonesia —Sayup-sayup gelak tawa ratusan jemaah pecah ketika K.H. Budi Sulaiman memberikan tausiah, pada Minggu petang 10 Maret 2018.

Berlokasi di tengah pemakaman umum Bukit Argorejo, Semarang, Jawa Tengah, mereka antusias mengikuti rangkaian acara peringatan hari lahir (haul) ulama besar berdarah Tionghoa, Soen An Ing.

Sayem, salah satunya. Perempuan yang menjadi Ketua RT 06/RW II, Kampung Taman Kuncoro, Kalibanteng Kulon tersebut berbondong-bondong datang bersama warganya agar dapat mengikuti tausiah.

Menurut Sayem, ini kesempatan langka karena untuk pertama kalinya Haul Soen An Ing dirayakan begitu meriah oleh semua warga Argorejo.

"Sebelumnya ndak ada kayak gini. Makamnya Soen An Ing malah puluhan tahun terbengkalai. Warga luar kota Semarang justru mengenal kampung kami sebagai kompleks lokalisasi Sunan Kuning. Padahal, yang namanya Soen An Ing itu ulama besar berdarah China-Jawa, lalu mucikari lokalisasi sekitar sini hanya ndompleng nama besarnya saja," kata perempuan berusia 70 tahun ini saat berbincang dengan Rappler.

Dekat dengan bisnis "esek-esek"

Ia tak bisa memungkiri bahwa adanya penamaan Sunan Kuning sebagai komplek pelacuran nyaris menghilangkan jejak peninggalan Soen An Ing di Bukit Argorejo. Namun untungnya, kata Sayem, warga kembali tergerak membangkitkan nilai sejarah Soen An Ing, setelah para personel TNI mengusulkan terselenggaranya Haul Soen An Ing.

"Nah, warga mendukung sekali begitu ada usulan mengadakan Haul Soen An Ing. Bagi saya, ini istimewa. Walaupun lokasinya berdampingan dengan kompleks pelacuran. Tapi kami tidak risih untuk ngaji bareng di makamnya Soen An Ing," akunya.

Ia berharap pemerintah Kota Semarang mau merespon keinginan warga untuk menjadikan Haul Soen An Ing sebagai sebuah wisata religi.

Senada, Serka Usman, seorang anggota Skadron 11 Serbu Penerbad yang menjadi ketua panitia acara punya angan-angan serupa. Jika hal itu terwujud, lanjut Usman, maka tak menutup kemungkinan Haul Soen An Ing bisa menjadi daya tarik wisata layaknya Klenteng Sam Poo Kong yang menyimpan petilasan Laksamana Cheng Ho. "Penginnya seperti itu. Semoga saja terwujud," ungkap Usman.

Sedangkan K.H. Budi Sulaiman berpendapat bila adanya perayaan Haul Soen An Ing bisa menjadi wadah untuk mempererat silaturahmi yang terjalin antara warga lokal dengan para peziarah yang mayoritas dari etnis Thionghoa.

https://cdn.idntimes.com/content-images/post/20180312/sunan-kuning2-17c1b6245ae591cc1a41ebe00255e401.jpg

Ia yang sudah menjadi mualaf sejak 30 tahun terakhir mengatakan, Soen An Ing tak hanya milik umat Islam, melainkan juga dari berbagai agama mulai Kristen, Hindu, Buddha sampai Khonghucu.

"Saya yang berasal dari peranakan Thionghoa juga mengapresiasi acara ini. Lihat saja tanpa memandang etnis agama atau golongan apapun, kita semua bisa berkumpul, ngaji bareng di makamnya auliya besar di Semarang," ujar Budi.

Jejak Soen An Ing

Ditemui di tempat yang sama, Saiful Bakrie, warga sekitar mengaku jika makam Soen An Ing sudah ada di kampungnya sejak ratusan tahun silam. Semasa hidupnya, kata Saiful, Soen An Ing menjadi tokoh bangsawan tertinggi peranakan Tionghoa yang hidup pada 1740-1743 silam.

Saat ini, juga terdapat tiga makam lainnya yang konon merupakan pengikut setia sang kyai. Kemudian tahun 1962 silam, Pemkot memindahkan komplek pelacuran di dekat areal makam dan namanya mencatut nama Soen An Ing menjadi Sunan Kuning.

Apa yang disampaikan Saiful tersebut bisa diperkuat dengan literasi milik Sejarahwan Semarang, Yongkie Tio.

Yongkie bilang Pemkot sudah bertindak kurang ajar dengan menamai lokalisasi dengan nama orang suci yang berjasa mensyiarkan Islam di Tanah Jawa. Ia menyebut sepak terjang Soen An Ing telah tercatat dalam buku sejarah Indonesia berjudul Babat Pecinan. Soen An Ing anak Amangkurat IV yang ikut berjuang menumpas penjajahan kolonial Belanda.

https://cdn.idntimes.com/content-images/post/20180312/sunan-kuning1-8ebfcf63131d59db2917822b330641e6.jpg

"Dari penyebutan Soen An Ing, banyak orang keseleo lidah menyebut kompleks lokalisasi jadi Sunan Kuning. Tentunya ini tindakan yang tidak sopan sekali," sergah Yongkie, saat ditemui secara terpisah.

Siti Qomariyah, pengelola makam Soen An Ing berkata pada hari tertentu banyak warga peranakan Tionghoa yang bersembahyang di depan makam Soen An Ing. Di dalam makam tersebut, terdapat sebuah dupa, kongco serta makam yang diyakini berisi jasad sang kyai.

"Yang datang pakai rombongan bus dari Surabaya, Sukorejo Kendal, Yogyakarta maupun daerah sekitar Semarang," tutur Qomariyah.

Banyak peziarah meyakini doa mereka terkabul jika datang pada momentum tertentu untuk meminta kelimpahan rezeki, enteng jodoh dan sejenisnya.

—Rappler.com

Share
Topics
Editorial Team
Yetta Tondang
EditorYetta Tondang
Follow Us