Fakfak, IDN Times – Selasa pagi (25/9) itu, sekitar pukul 05.30 WIT, Kapal KM Sangiang merapat di Pelabuhan Fakfak, Papua Barat. Sembari memanggul carrier biru kesayangan, ku turuni anak tangga dengan riang. Rasa lelah usai menempuh 23 jam perjalanan laut Sorong-Fakfak seketika hilang.
Ini adalah kedua kalinya aku menginjakkan kaki di Kota Pala, kota yang membuatku jatuh cinta dan selalu ingin kembali. Di pintu keluar, ku temukan Bang Saraju dan Mbak Wati —para kakak angkatku—sudah menunggu. Kami bersalaman, kemudian menuju Pantai Reklamasi di Jalan Baru, pusat kota ini. Mereka mengajakku sarapan bubur ayam sebelum aku menempuh perjalanan jauh lagi.
Ya, Kampung Patipi Pasir menjadi tujuan utamaku. Kampung yang memberikan banyak pelajaran hidup padaku. Dua tahun silam, aku tergabung sebagai asisten peneliti dalam tim sosial budaya Ekspedisi NKRI Subkorwil Fakfak. Patipi Pasir menjadi tempat tak terlupakan. Di sana, aku menemukan mama-papa piara (semacam orangtua angkat) yang amat baik. Aku ingin mengunjunginya lagi, meski agak nekat karena sudah setahun lebih kami lost contact.
Setelah bersih-bersih diri dan istirahat sebentar di kos Mbak Wati, Bang Saraju datang menjemputku. Dia mengantarku ke Pasar Tambaruni untuk mencari taksi (angkot) jurusan Patipi Pasir. Namun, alangkah terkejutnya kami ketika melihat papa piaraku di sana. Ku salami ia dengan penuh haru. Ia pun terkejut melihatku tiba-tiba hadir di depan mata. Sungguh takdir Tuhan yang begitu indah.
“Mama ada di kota sekarang. Ayo kita ketemu Mama!” ujar Papa dengan penuh semangat.
Kami bertiga lantas menuju kos Wahyu, salah satu anak Mama dan Papa yang tengah menempuh pendidikan SMP. Di sana, Mama terbengong-bengong beberapa detik, kemudian memelukkku dengan mata berkaca-kaca. Setelah puas bertukar kabar, aku dan Mama naik taksi menuju Patipi Pasir. Papa dan Bang Saraju tidak ikut karena masih ada pekerjaan di kota. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat itu. Seperti mimpi, aku kembali mengunjungi kampung kecil penuh kedamaian.