Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi pornografi (IDN Times/Sukma Shakti)

Jakarta, IDN Times - Kekerasan berbasis gender secara online semakin meningkat, termasuk kasus penyebaran konten intim nonkonsensual. Hal ini merupakan dampak negatif dari perkembangan era digital.

"Ini sangat serius sekaligus memprihatinkan. Dan rata-rata korbannya adalah perempuan. Lalu kita harus berbuat apa?” ujar nggota DPR RI Fraksi Partai Golkar Christina Aryani dalam keterangan tertulis yang diterima IDN Times, Selasa (20/4/2021).

Ia menjelaskan kasus kekerasan berbasis gender secara online meningkat sebanyak 940 kasus pada 2020. Angka itu mengalami peningkatan sebanyak 3 kali lipat dari 2019. Sedangkan, kasus penyebaran konten intim nonkonsensual juga meningkat sebesar 375 persen atau 169 kasus pada 2020.

1. Menjadi ancaman serius bagi perempuan

Ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Arief Rahmat)

Christina mengatakan hal ini menjadi ancaman serius terutama bagi kaum perempuan di Tanah Air. Dia mengatakan hal tersebut tentu menjadi momok menakutkan bagi perempuan di Indonesia.

Untuk itu, ia minta seluruh pihak untuk memberikan perhatian serius dalam menangani kasus kekerasan berbasis gender online. "Bukan saja dari masyarakat, tetapi juga pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya," ujarnya.

2. Bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender online yang menimpa perempuan

ilustrasi pelecehan (IDN Times/Mardya Shakti)

Wakil Sekjen DPP Partai Golkar tersebut membeberkan bentuk kekerasan berbasis gender online yang banyak menimpa perempuan di Indonesia. Di antara lain berupa love scam, revenge porn, sexortation, pemalsuan akun dengan tujuan mencoreng nama baik korban, sexting, cyber stalking, viktimisasi, dan cyber harassing berupa membanjiri akun korban dengan komentar yang mengganggu, mengancam atau menakut-nakuti korban.

“Ini semua bentuk kekerasan riil dan ini sedang menimpa perempuan Indonesia. Kita tentu tidak ingin kasus seperti ini terus terjadi sehingga upaya-upaya, misalnya dari sisi literasi etika bermedia sosial yang selama kita gaungkan perlu terus tingkatkan, selain juga diperlukan upaya perlindungan yang jelas dan tegas dari negara,” tegasnya.

3. Negara perlu secara serius memikirkan langkah konkret untuk lindungi perempuan di ruang digital

ilustrasi perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Selain itu, Christina juga menekankan bahwa negara perlu secara serius memikirkan langkah-langkah konkret perlindungan terutama bagi perempuan yang selama ini banyak menjadi korban. Ia menjelaskan bahwa perilaku di dunia nyata pada dasarnya harus sama dengan adab di ruang digital.

“Apakah dibutuhkan kerangka legislasi selain upaya literasi digital atau media sosial? Biasakan saja, bahwa perilaku kita di dunia nyata harus sama beradabnya dengan perilaku kita di ruang digital,” kata Christina.

Editorial Team