Jokowi Bisa Dimakzulkan Usai Nyatakan Presiden Boleh Kampanye
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Pakar hukum tata negara, Bivitri Susantri, menilai Presiden Joko "Jokowi" Widodo bisa dimakzulkan usai menyatakan seorang presiden bisa berkampanye dan memihak pada salah satu pasangan calon. Menurut Bivitri, Jokowi tidak seharusnya menyatakan seorang presiden boleh memihak.
"Jokowi tidak bisa bilang dia berhak berkampanye. Dia berhak berpolitik, iya, silakan, tetapi ya dalam hati saja. Bukan dengan segala macam gestur-gestur, bahkan tindakan nyata yang dia lakukan, yang sebenarnya diatur secara jelas," ujar Bivitri, dalam diskusi 'Pemilu Curang Menyoal Netralitas Presiden hingga Laporan Kemhan ke Bawaslu', yang disiarkan di kanal YouTube PBH-Nasional, Kamis (25/1/2024).
"Teman-teman bisa lihat Pasal 282, 283 bahwa pejabat negara itu tidak boleh melakukan tindakan, kegiatan, dan sebagainya yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta, selama kampanye. Jadi, sudah melanggar belum? Sudah. Apakah itu bisa dorong sampai pemakzulan, menurut saya sih bisa," tambah dia.
Baca Juga: Beda dengan Jokowi, Sri Mulyani Minta Jajarannya Netral di Pemilu 2024
1. Dorong DPR untuk melakukan pemakzulan
Bivitri mengatakan, proses pemakzulan presiden bisa dimulai dari DPR. Oleh karena itu, masyarakat harus mendorong DPR untuk melakukan pemakzulan terhadap Jokowi.
"Sekarang kita harus dorong supaya DPR itu betul-betul bisa memanfaatkan perubahan konfigurasi politik yang sekarang sudah terjadi karena koalisi sudah berubah. Tetapi kita tahu tantangannya itu satu, politisi itu pragmatis," ucap dia.
Editor’s picks
Baca Juga: Keberpihakan Jokowi dalam Pilpres 2024, Pengamat: Ini Kerusakan Etika
2. Kriteria pemakzulan sudah memenuhi
Lebih lanjut, Bivitri mengatakan pemakzulan untuk Jokowi sudah memenuhi kriteria dalam Pasal 7a Undang-Undang Dasar 1945. Jokowi dianggap sudah melakukan perbuatan tercela dalam konteks jabatannya, dengan menyebut presiden boleh berpihak ke salah satu capres-cawapres.
"Ini tolok ukurnya adalah masih jalan gak sih demokrasi kita. Jadi, isu ini tetap harus kita goal-kan. Ini kita sedang diliputi ketakutan. Ini dibilang pesta demokrasi, pemilu yang riang gembira, enggak loh. Saya gak riang gembira, saya cemas dan kadang takut juga dan itulah yang diciptakan. Karena sering kali kalau saya berdebat di pasal, saya beneran diajak berantem," kata Bivitri.
3. Demokrasi Indonesia sudah di tepi jurang
Dalam kesempatan itu, Bivitri menilai demokrasi Indonesia sudah di tepi jurang. Sebab, tidak ada keseimbangan antara legislatif dan eksekutif.
"Demokrasi kita istilahnya sudah di tepi jurang. Harus pakai semua cara. Jadi, di ruang formalnya oleh DPR menurut saya harus kita dorong supaya mereka melakukan upaya pemakzulan. Bisa dimulai dengan interpelasi atau angket misalnya. Kalau sekarang kan hanya dibicarakan saja, tetapi belum pernah diinisiasi," kata dia.