MUI Tanggapi Nilai Agama dalam Permendikbudristek Kekerasan Seksual

Permendikbudristek 30/2021 diminta dicabut oleh Muhammadiyah

Jakarta, IDN Times - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh bicara nilai agama terkait Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi.

"Jadi, kita perlu untuk menghindarkan diri dari aktivitas kejahatan seksual, tetapi apa makna kejahatan seksual dan bagaimana mekanisme pencegahannya. Jadi ada norma nilai yang terkait dengan agama, ada norma yang nilai terkait dengan kebiasaan di tengah masyarakat dan juga ada norma nilai yang hidup di tengah masuarakat. Nah, itu gak bisa dilepaskan," ujar Asrorun di Jakarta, Selasa (9/11/2021).

1. Hubungan suka sama suka tak bisa berjalan begitu saja

MUI Tanggapi Nilai Agama dalam Permendikbudristek Kekerasan SeksualSekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asrorun Niam Sholeh (Youtube/com/BNPB Indonesia)

Asrorun kemudian memberi contoh terkait hubungan suka sama suka tak bisa berjalan begitu saja. Harus ada bingkai pernikahan di dalamnya, sehingga itu bisa sah secara agama dan negara.

"Tetapi kalau dia tidak dibingkai dengan perkawinan yang sah, maka sungguh pun suka sama suka itu tidak diperkenankan, itu statusnya ilegal, maka melegalkan suatu yang ilegal itu perbuatan yang gak berbudaya," katanya.

Baca Juga: Muhammadiyah Minta Cabut, Menag Justru Dukung Permen Kekerasan Seksual

2. Menag mendukung Permen Kekerasan Seksual

MUI Tanggapi Nilai Agama dalam Permendikbudristek Kekerasan SeksualIlustrasi Logo Muhammadiyah. muhammadiyah.or.id

Sebelumnya, Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas mendukung Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasn seksual (PPKS), di lingkungan perguruan tinggi negeri. Sebagai bentuk dukungannya, Yaqut juga mengeluarkan surat edaran agar memberlakukan Permendikbudristek 30/2021 di Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKIN).

"Kami mendukung kebijakan yang telah dikeluarkan Mas Menteri. Karenanya, kami segera mengeluarkan SE untuk mendukung pemberlakuan Permendikbud tersebut di PTKN," ujar Yaqut dilansir dari laman Kemenag, Selasa (9/11/2021).

Yaqut mengatakan, salah satu penghalang trcapainya tujuan pendidikan nasional karena adanya kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

"Kita tidak boleh menutup mata, bahwa kekerasan seksual banyak terjadi di lingkungan pendidikan. Dan kita tidak ingin ini berlangsung terus menerus," katanya.

"Ini kebijakan baik. Dengan kebijakan ini, kita berharap para korban dapat bersuara dan kekerasan seksual di dunia pendidikan dapat dihentikan," sambungnya.

Baca Juga: Muhammadiyah Minta Aturan Menteri soal Kekerasan Seksual Dicabut

3. Muhammadiyah minta aturan Permindukbudristek soal kekerasan seksual dicabut

MUI Tanggapi Nilai Agama dalam Permendikbudristek Kekerasan SeksualIlustrasi Pendidikan (IDN Times/Arief Rahmat)

Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah, meminta Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 dicabut. Permendikbudristek tersebut berisi tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi.

Ketua Diktilitbang PP Muhammadiyah Lincolin Arsyad mengatakan, ada dua kajian yakni formil dan materiil terkait alasan Permendikbud 30/2021 diminta dicabut. Dari sisi formil, Permendikbudristek 30/2021 dinilai tidak memenuhi asas keterbukaan dalam proses pembentukannya, karena pihak terkait tak dilibatkan secara luas.

"Hal ini bertentangan dengan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menegaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk peraturan menteri), harus dilakukan berdasarkan asas keterbukaan," ujar Lincolin dalam keterangan tertulisnya, Senin (8/11/2021).

4. Ada dua kesalahan materi muatan

MUI Tanggapi Nilai Agama dalam Permendikbudristek Kekerasan SeksualGedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Senayan, Jakarta Selatan (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Masih dari sisi formil, kata dia, Permendikbudristek 30/2021 ini tidak tertib materi muatan. Menurutnya, ada dua kesalahan materi muatan yang mencerminkan adanya pengaturan yang ada melampaui kewenangan.

"Pertama, Permendikbudristek 30/2021 mengatur materi muatan yang seharusnya diatur dalam level undangundang, seperti mengatur norma pelanggaran seksual yang diikuti dengan ragam sanksi yang tidak proporsional," ucapnya.

"Kedua, Permendikbudristek 30/2021 mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi (Vide Pasal 62 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi) melalui pembentukan 'Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual'," sambungnya.

5. Masalah materiil

MUI Tanggapi Nilai Agama dalam Permendikbudristek Kekerasan SeksualUpacara peringatan Hari Guru Nasional di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Senin (25/11) dipimpin langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makariem (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Dalam keterangannya, Lincolin menjelaskan, ada lima poin masalah materiil. Berikut lima poin tersebut.

  1. Pasal 1 angka 1 yang merumuskan norma tentang kekerasan seksual dengan basis “ketimpangan relasi kuasa” mengandung pandangan yang menyederhanakan masalah pada satu faktor, padahal sejatinya multikausa, serta bagi masyarakat Indonesia yang beragama, pandangan tersebut bertentangan dengan ajaran agama, khususnya Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan laki-laki dan perempuan dalam relasi “mu’asyarah bil-ma’ruf” (relasi kebaikan) berbasis ahlak mulia.
  2. Perumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) yang memuat frasa ”tanpa persetujuan korban” dalam Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada “persetujuan korban (consent)”.
  3. Rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi persetujuan dari para pihak. Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah.
  4. Pengingkaran nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta legalisasi perbuatan asusila berbasis persetujuan tersebut, bertentangan dengan visi pendidikan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “pemerintah mengusahakan dan penyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”.
  5. Sanksi penghentian bantuan dan penurunan tingkat akreditasi bagi perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dalam Pasal 19 Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 tidak proporsional, berlebihan, dan represif. Seyogyanya pemerintah lebih mengedepankan upaya pembinaan dan kerja sama dengan berbagai pihak untuk menguatkan institusi pendidikan.

Berdasarkan kajian formil dan materiil itu, Diktilitbang PP Muhammadiyah meminta Kemendikbudristek untuk menyusun kembali PPKS. Lincolin juga menyarankan kepada Kemendikbudristek, dalam menyusun kebijakan harus berdasarkan nilai-nilai agama, Pancasila, dan UUD 1945.

"Kemendikbudristek sebaiknya mencabut atau melakukan perubahan terhadap Permendikbudristek No 30 Tahun 2021," katanya.

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya