Ilustrasi etnis Uighur di Xinjiang (IDN Times/Uni Lubis)
Dari kunjungan dengan penjagaan super ketat itu, rombongan hanya bisa melihat bahwa memang ada persoalan terkait ibadah dan agama, dalam hal ini kebebasan beragama.
"Kebebasan beragama tidak terlihat," ujar Trisno. Ini terlihat tidak hanya di masjid, tapi juga di sekolah vokasi yang dibangun Pemerintah Tiongkok untuk muslim Uighur. Di sekolah tersebut, masyarakat muslim tidak boleh salat dan menjalankan ajaran agama lainnya.
"Kami mengunjungi sekolah vokasi di Khotan, itu persis seperti sekolah vokasi di mana saja, memang bentuknya seperti sekolah. Tapi mereka selama sekolah tidak bisa ibadah," ujar Trisno.
Dari kunjungan ini, Trisno mencatat ada ketidakbebasan bagi masyarakat muslim di Xinjiang dalam menjalankan ajaran agama, baik melaksanakan salat atau pun ibadah-ibadah lainnya. Bahkan persoalan agama juga dikaitkan dengan aksi terorisme.
"Ada sekelompok orang yang menyerang tempat perjudian, dianggap sebagai aksi terorisme, padahal itu kalau dilihat tindakan pidana," papat Trisno.
Tidak hanya itu, seorang ayah yang mengajarkan soal aturan halal haram kepada anak-anaknya juga dianggap sebagai pikiran radikal. Warga yang dianggap berpikiran radikal, akhirnya dimasukkan ke sekolah vokasi.
Hal ini juga disampaikan Muhiddin bahwa konstitusi Tiongkok yang melarang orang melakukan ibadah di tempat terbuka, telah membuat umat muslim Uighur tidak bisa melaksanakan ibadah dan ajaran-ajaran agama lainnya.
"Peserta di pusat reeducation centre (sekolah vokasi) tidak boleh melakukan ibadah ritual, tidak ada masjid dll, tidak boleh salat, puasa, karena dianggap di ruang terbuka. Ini kan melanggar HAM," ujar Muhiddin.
Menurut Trisno, dia telah membuat laporan terkait hasil kunjungannya itu, yang telah diserahkan ke Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App, unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb