Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Gedung MK (Foto: IDN Times)
Gedung MK (Foto: IDN Times)

Intinya sih...

  • Putusan MK Nomor 135/2024 berpotensi menimbulkan kekosongan jabatan DPRD dan menabrak prinsip lima tahunan pemilu.

  • MK dianggap campur kewenangan legislator dengan memutuskan pemisahan rezim pemilu, melemahkan posisi DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang yang sah.

  • Putusan MK memerintahkan pemilu pada 2029 tak lagi serentak, dengan jeda antara pemilu nasional dan daerah paling cepat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan.

Jakarta, IDN Times - Partai NasDem menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/2024 yang mengatur pemisahan rezim pemilu nasional dan lokal berpotensi menimbulkan turbulensi konstitusional yang serius.

Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP Partai NasDem, Atang Irawan menilai, putusan MK 135 bertentangan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang secara tegas mengatur bahwa pemilihan umum (pemilu) harus diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-jurdil) setiap lima tahun sekali.

“Penjadwalan pemilu yang diatur MK ini berpotensi menabrak konstitusi karena melanggar prinsip lima tahunan, sehingga memicu ketidakpastian hukum dan kegaduhan politik,” kata Atang, Kamis (10/7/2025).

1. Bakal menimbulkan kekosongan jabatan DPRD

Ilustrasi gedung MK (IDN Times/Axel Joshua Harianja)

Lebih lanjut, Atang menyoroti, putusan MK juga menafsirkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 secara monolitik dengan menyatakan pilkada harus dilakukan langsung oleh rakyat, padahal pasal tersebut hanya mengisyaratkan pelaksanaan secara demokratis dengan berbagai model sesuai kekhususan daerah.

Contohnya, DIY dengan sistem gubernur dan wakil gubernur yang ditetapkan secara istimewa. Hal ini dinilai mengabaikan semangat otonomi daerah yang menjadi landasan filosofis konstitusi.

Selain itu, putusan MK tersebut berpotensi menimbulkan kekosongan jabatan di DPRD dan mengharuskan penunjukan penjabat DPRD secara massal, yang berbahaya bagi legitimasi politik dan demokrasi.

“Kalau anggota DPRD tidak dipilih rakyat, maka makna kedaulatan rakyat akan tergerus,” ujarnya.

2. MK harusnya tak ikut campur kewenangan legislator

(Ilustrasi gedung MK) IDN Times/M Iqbal

Atang mengingatkan, MK seharusnya bertindak sebagai guardian of constitution yang menguji hal-hal fundamental, bukan teknis, karena hal teknis adalah kewenangan legislator.

Putusan 135 tentang pemisahan pemilu seolah menjadikan MK sebagai “kamar ketiga” pembuat UU justru melemahkan posisi DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang yang sah.

Terakhir, Atang menegaskan pentingnya menjaga kepastian hukum dan prinsip lima tahunan dalam pemilu agar demokrasi di Indonesia tetap berjalan stabil dan sesuai konstitusi.

"Jika perubahan makna konstitusi diperlukan, sebaiknya dilakukan melalui amandemen formal, bukan putusan MK yang berpotensi memicu ketidakpastian hukum dan konflik kelembagaan," kata dia.

3. MK putuskan pemilu 2029 tak serentak lagi

Gedung Mahkamah Konstitusi (sumber foto : www.idntimes.com)

Diketahui, dalam amar putusannya, MK memerintahkan pelaksanaan pemilu pada tahun 2029 tak lagi digelar secara serentak. MK juga memerintahkan adanya pemisahan rezim pemilu nasional dan lokal.

Mahkamah memerintahkan agar ada jeda antara pemilu tingkat nasional dan daerah digelar paling cepat jeda 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan. Pemilu nasional yang dimaksud meliputi pemilihan presiden-wakil presiden, DPR RI, DPD RI. Sementara, pemilu daerah meliputi pemilihan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, wali kota-wakil wali kota, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota.

Editorial Team