Anggota DPR: Wacana Revisi UU MK Bukan karena Putusan Pemilu Dipisah

- Revisi UU MK bukan untuk mengamputasi kewenangan lembaga
- DPR memiliki hak evaluasi lembaga yang diatur konstitusi
- Legislator PKB mendorong revisi UU MK menyusul putusan kontroversial MK
Jakarta, IDN Times - Wacana perubahan terhadap Undang-Undang (UU) Mahkamah Konstitusi (MK) kembali bergulir di parlemen menyusul adanya putusan pemisahan pemilu nasional dan lokal oleh mahkamah baru-baru ini.
Revisi UU MK pernah dibahas DPR periode 2019-2024, tetapi urung disahkan karena menuai penolakan publik. Perubahan UU MK sudah disepakati dalam pengambilan keputusan tingkat satu. Namun, pembahasannya kala itu juga dilakukan secara diam-diam. Di pengujung masa jabatan DPR 2019-2024, revisi UU MK diputuskan dilimpahkan ke DPR periode 2024-2029.
Anggota Komisi III DPR RI, Muhammad Nasir Djamil mengungkapkan, wacana revisi UU MK telah lama bergulir di parlemen. Namun, ia menepis, wacana ini muncul karena adanya putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan lokal.
"Dalam pandangan saya tidak, bahwa kemudian DPR merespons, parpol merespons, itu kan sesuatu hal yang biasa. Sesuatu yang memang harus dilakukan oleh partai politik terkait apa yang diputuskan MK," kata Nasir Djamil di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/7/2025).
1. Bukan untuk mengamputasi MK

Legislator Fraksi PKS itu menilai, upaya memperbaiki UU tentang MK dilakukan bukan karena mau mengamputasi kewenangan lembaga ini. Nasir mengatakan, kewenangan MK sudah ada dalam konstitusi, diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Oleh karena itu, dia menegaskan, upaya memperbaiki MK ini bukan untuk mengerdilkan atau menempatkan lembaga itu di bawah legislatif.
"Jadi tidak ada niat misalnya bagi DPR untuk mengamputasi atau mengerdilkan, atau menjadikan MK di bawah DPR. Jadi kebetulan saja mungkin revisi UU MK itu berdekatan dengan putusan MK," kata Legislator asal Aceh itu.
2. DPR punya hak evaluasi lembaga yang diatur konstitusi

Menurut dia, DPR memiliki kewenangan mengevaluasi lembaga-lembaga yang diatur oleh konstitusi. Kendati, ia kembali menegaskan, upaya perubahan UU MK bukan berarti DPR mau mengerdilkan lembaga ini.
Adapun, pemanggilan terhadap hakim MK, menurut dia, DPR sudah biasa melakukannya dengan menggelar rapat konsultasi, baik MK yang ke DPR ataupun sebaliknya.
"Jadi tentu saja kami tidak mempersoalkan putusan itu, sebab itu ranah dan kewenangan kuasa pada hakim MK. Jadi DPR sebagai pembentuk uu harus mengevaluasi institusi-institusi yang diatur dalam konstitusi, salah satunya MK," kata dia.
"Jadi dalam pandangan saya pribadi tidak ada niat mengamputasi, mengerdilkan, yang dianggap MK itu ingin dilemahkan," sambungnya.
3. Legislator PKB dorong revisi UU MK

Anggota Fraksi PKB DPR RI, Muhammad Khozin, mendorong Revisi Undang-Undang (RUU) Mahkamah Konstitusi (MK) menyusul keluarnya putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dinilai kontroversial.
Putusan MK yang memerintahkan pelaksanaan pemilu nasional dan lokal dipisah, memunculkan gelombang kritik dari parlemen. Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem menilai, putusan MK 135 terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal itu inkonstitusional karena berpotensi melanggar UUD 1945.
Khozin menilai, bila MK terus dibiarkan maka keputusan-keputusannya akan menghasilkan preseden buruk tanpa ada ujungnya. Karena itu, ia menilai wacana perubahan UU MK sangat mungkin untuk didiskusikan.
"Mungkin saja, mungkin saja, sangat mungkin ya dari diskusi kita informal dengan kawan-kawan. Ini kan sebetulnya kalau didiamkan ini akan menjadi preseden yang nggak akan berujung gitu," kata Khozin, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (4/7/2025).
Diketahui, dalam amar putusannya, MK memerintahkan pelaksanaan pemilu pada tahun 2029 tak lagi digelar secara serentak. MK juga memerintahkan adanya pemisahan rezim pemilu nasional dan lokal.
Mahkamah memerintahkan agar ada jeda antara pemilu tingkat nasional dan daerah, digelar paling cepat jeda 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan. Pemilu nasional yang dimaksud meliputi pemilihan presiden-wakil presiden, DPR RI, DPD RI. Sementara, pemilu daerah meliputi pemilihan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, wali kota-wakil wali kota, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota.