Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi kekerasan seksual. (IDN Times/Sukma Shakti)
Ilustrasi kekerasan seksual. (IDN Times/Sukma Shakti)

Intinya sih...

  • Negara wajib sediakan kontrasepsi darurat bagi korban kekerasan seksual

  • Komitmen nasional dan kewajiban negara terhadap penyediaan kontrasepsi darurat

  • Banyak korban berhadapan dengan stigma, diskriminasi, hingga birokrasi dalam akses Kondar

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan Hari Kontrasepsi Internasional 2025 jadi momentum penting bagi untuk menegaskan kembali kewajiban negara menjamin pemenuhan hak kesehatan reproduksi, juga termasuk pada perempuan korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya.

Komnas Perempuan mendesak agar kontrasepsi darurat (Kondar) tersedia dengan cepat, aman, dan tanpa diskriminasi di seluruh fasilitas layanan kesehatan.

”Hari Kontrasepsi Internasional mengingatkan kita bahwa setiap perempuan korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya berhak segera memperoleh Kondar. Negara wajib memastikan layanan ini tersedia tanpa stigma dan penundaan, karena setiap menit berarti bagi pemulihan korban,” kata Komisioner Yuni Asriyanti dalam keterangannya, dikutip Senin (29/9/2025).

1. Negara tak boleh tunda atau tolak kontrasepsi darurat korban

Ilustrasi kekerasan seksual (IDN times/Aditya Pratama)

Jaminan atas hak ini sesungguhnya sudah kuat secara hukum. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyebutkan hak setiap orang untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Selain itu, UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menegaskan hak perempuan atas layanan kesehatan reproduksi. Komnas Perempuan menyatakan, tidak ada alasan bagi negara untuk menunda atau menolak penyediaan layanan kontrasepsi darurat bagi korban kekerasan seksual.

2. Komitmen nasional dan kewajiban negara

Ilustrasi kekerasan seksual (Foto: IDN Times)

Indonesia juga punya komitmen internasional lewat Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang diratifikasi lewat UU No. 7 Tahun 1984. Pasal 12 CEDAW menegaskan kewajiban negara menyediakan layanan kesehatan reproduksi, sementara Pasal 16 ayat (1) huruf e menjamin hak perempuan menentukan jumlah dan jarak kelahiran. Komitmen ini dipertegas oleh Rekomendasi Umum No. 24 Tahun 1999 yang menekankan hak kesehatan reproduksi sebagai tanggung jawab negara. Lebih jauh, Rekomendasi Umum No. 35 Tahun 2017 menilai penolakan layanan kontrasepsi sebagai bentuk kekerasan berbasis gender yang harus dihapuskan.

Pada level kebijakan nasional, berbagai regulasi sudah mengatur kewajiban penyediaan kontrasepsi darurat. Permenkes No. 2 Tahun 2025, PP No. 61 Tahun 2014, dan PP No. 28 Tahun 2024 menegaskan Kondar wajib tersedia, baik bagi korban perkosaan maupun perempuan yang tidak terlindungi kontrasepsi. Regulasi ini menunjukkan negara sudah memiliki payung hukum yang jelas, tinggal memastikan implementasi di lapangan berjalan konsisten.

3. Banyak korban berhadapan dengan stigma, diskriminasi, hingga birokrasi

Ilustrasi kontrasepsi IUD (unsplash.com/Reproductive Health Supplies Coalition)

Namun, Komnas Perempuan menyatakan realitas masih jauh dari ideal. Banyak korban yang berhadapan dengan stigma, diskriminasi, bahkan birokrasi yang memperlambat akses Kondar. Situasi ini tidak hanya memperpanjang penderitaan, tetapi juga melanggar hak korban atas kesehatan, pemulihan, dan keadilan. Padahal, kontrasepsi darurat berfungsi mencegah kehamilan yang tidak diinginkan akibat kekerasan, sekaligus menjadi langkah awal pemulihan korban dari trauma.

Wakil Ketua Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, mengingatkan konsekuensi serius jika akses Kondar terhambat.

“Menunda atau menolak pemberian Kondar berarti menambah lapisan kekerasan baru terhadap korban. Negara harus memastikan setiap fasilitas kesehatan menjadi ruang aman bagi perempuan untuk mengakses hak reproduksinya,” ujarnya.

4. Kontrasepsi darurat hak yang melekat pada korban kekerasan seksual

ilustrasi pil kontrasepsi (unsplash.com/Alexander Mils)

Komnas Perempuan mengungkapkan, kontrasepsi darurat adalah hak yang melekat pada korban, bukan bentuk belas kasihan atau opsi tambahan. Karena itu, negara dituntut menjamin ketersediaan informasi yang benar, layanan yang cepat, dan akses yang bebas stigma serta diskriminasi. Pemenuhan hak ini bukan hanya wujud perlindungan atas tubuh dan masa depan perempuan, tetapi juga langkah penting membangun keadilan reproduktif di Indonesia.

Editorial Team