(Profil Artidjo Alkostar) IDN Times/Sukma Shakti
Menurut Todung, kekuatan Artidjo adalah kejujuran dan keberpihakannya pada mereka yang lemah dan tertindas. Buat Artidjo, dunia ini adalah hitam putih, benar atau salah. Sosok almarhum kurang terbuka terhadap nuansa.
"Dalam benaknya apa yang disebut abu-abu itu hampir tidak dikenal. Jadi dia gampang saja membuat keputusan karena dia yakin kebenaran itu tak bisa dinegosiasikan. Truth is non-negotiable," kata dia.
Setelah jabatan Artidjo berakhir sebagai direktur LBH di Yogyakarta, dia membuka kantor advokat kecil, dan menangani kasus yang juga sederhana. Todung menduga dia kebanyakan kalah dalam menangani kasus. Almarhum memang tak mencari kekayaan dengan profesi advokatnya dan bekerja menjunjung prinsipnya di mana pun dan kapan pun.
"Itu membawanya juga menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur pada waktu itu. Dia bisa tinggal di Timor Timur berlama-lama. Dia tak menonjolkan dirinya, apalagi memasarkan profesi advokatnya, tapi orang tahu kalau mau mencari advokat yang jujur maka carilah Artidjo. Dia punya reputasi yang diakui untuk itu. Di kalangan LBH, advokat pendiam itu adalah tempat untuk diskusi menguji moralitas diri," kata Todung.
Pada zaman pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Artidjo dan Todung sama-sama dicalonkan menjadi Hakim Agung. Ada juga nama Muladi, Benyamin Mangkudilaga dan Bagir Manan. Namun Todung memilih mundur karena tak siap menjadi Hakim Agung yang terbelenggu pekerjaan rutin, memeriksa perkara karena surplus energi.
"Artidjo bertanya pada saya apakah dia harus terus maju? Saya bilang padanya bahwa dia cocok jadi Hakim Agung karena dia bukan orang gaul, berpikir hitam-putih, jujur dan sederhana, dan bisa memeriksa berkas perkara dengan kacamata kuda,” kenang Todung.