Melihat sosok Kartini dan memperingati hari lahirnya setiap tanggal 21 April seperti hari ini selalu menerbitkan rasa penasaran di benak saya, seorang perempuan yang lahir dan besar di Indonesia.
Sejak kecil, saya dan mungkin seluruh masyarakat Indonesia pastilah sudah familiar dengan kisah Kartini dan usahanya menyetarakan posisi, harkat dan martabat perempuan dengan laki-laki. Dan tumbuh besar, sosok Kartini tentu banyak menginspirasi saya, seiring saya belajar lebih lagi tentang perjuangan, hidup dan persoalan yang dilaluinya.
Tapi kemudian sesekali insting kritis dan penasaran itu kembali muncul, terutama jika mendekati peringatan Hari Kartini. Apa benar yang dilakukan Kartini se-menginspirasi itu sampai ia dijadikan tokoh emansipasi sentral di kehidupan sejarah dan bangsa Indonesia? Atau apakah karena saya kurang benar-benar mempelajari sosoknya saja?
Saya sempat gamang, karena meski bukan ahli sejarah, tapi saya tahu bahwa Kartini lahir dan besar di keluarga yang berada. Akses yang dimilikinya terhadap karya sastra, buku dan informasi-informasi dunia luar tentu berbeda dengan yang dimiliki oleh perempuan biasa saat itu. Tentu itu jadi nilai plus.
Tapi mungkin yang membuatnya berbeda adalah karena ia berani mendobrak kebiasaan kehidupan priyayi dan membagikan ilmu itu setidaknya pada orang-orang terdekatnya.
Yang juga bikin saya agak bertanya-tanya adalah karena keputusan Kartini untuk mau dijadikan istri keempat Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosrodiningrat di usianya yang terbilang sangat muda. Saya sempat berpikir-pikir, bagaimana bisa Kartini 'menyerah' begitu saja dengan hidupnya? Bukankah dia tidak belajar dari status ibunya? Ke mana semua pendidikan dan kemajuan cara berpikir yang diperjuangkannya? Kenapa tidak melawan? Semua pertanyaan itu muncul tak henti.
Belum lagi anggapan yang dipikirkan banyak orang (dan terkadang saya juga) soal banyaknya sosok pahlawan perempuan lain yang dimiliki Indonesia yang sepertinya kurang 'populer' mewakili tokoh emansipasi dibanding Kartini. Sebut saja Cut Meutia, Cut Nyak Dien, Maria Christina Tiahahu, Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang sampai Maria Walanda Maramis. Padahal kebanyakan dari pahlawan perempuan ini benar-benar berjuang di medan perang secara fisik. Tapi kenapa Kartini yang muncul sebagai ikon emansipasi perempuan?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, saya sempat berdiskusi dengan seorang teman perempuan juga tentang bagaimana ia melihat sosok Kartini sebelum saya menuliskan opini ini. Satu pesan yang saya dapat darinya cukup mengena dan seakan bisa menumbangkan keraguan saya akan sosok Kartini yang tadinya sempat saya 'pertanyakan' fungsi emansipasinya sesungguhnya.
Bahwa sesungguhnya tak ada gunanya membandingkan Kartini dengan pahlawan lain karena semua berjuang di bidangnya masing-masing. Tak ada yang lebih unggul satu dari lainnya. "Dia membuka cakrawala, membuka akses dan mengubah pandangan. Dia membuka jalan buat mereka, bahkan buat loe dan gue sampai sekarang untuk perempuan bisa melihat dunia ini dari sudut pandang yang berbeda. Semua karena pengetahuan dia yang dia bagi ke perempuan lain," ujar teman saya ini.
Semua memang harus dilihat dari kacamata berbeda. Apa yang dilakukan Kartini saat itu, di masa itu, seperti proyeksi dari apa yang akan terjadi di masa depan. Pandangan yang terbuka dan akses terhadap informasi dan kemajuan oleh perempuan, itu yang diperjuangkan Kartini saat itu. Pesan itu yang ingin disampaikan Kartini saat itu dan tentu abadi hingga kini.
Saya berusaha memahami lebih lagi. Soal keputusannya untuk menikah dan terlibat di arus poligami, tentu sesuatu yang harus dipahami dengan konteks periode waktu di kala itu. Yang saya lakukan selama ini adalah memahaminya dengan kacamata masa kini. Tentu tak sejalan. Mungkin jika Kartini hidup di masa kini, bisa jadi pilihannya akan berbeda. Mungkin.
Pastilah sulit mendobrak tradisi Jawa yang sangat ketat dan kukuh di zaman itu. Sekuat apapun Kartini melawan, sistem yang dihadapinya sudah sangat terstruktur dan kokoh. Yang kuat tidak selalu bisa ditaklukkan dengan yang sama kuat. Mencoba melawan semuanya itu, pada saat itu, mungkin adalah hal yang konyol untuk dilakukan. Mungkin Kartini menyadari itu. Seperih apapun pilihannya, Kartini berani memilih dan menjalani skenario hidupnya. Untuk itu, saya perlahan mengaguminya.
Berbeda dengan Kartini di masa lalu, mungkin lebih mudah bagi saya dan perempuan lainnya di masa kini untuk memilih dan mungkin berkata 'tidak' pada hal-hal yang tidak sesuai dengan pemikiran. Dan ada andil pemikiran dan aksi Kartini di setiap pilihan perempuan-perempuan Indonesia ini.
Sekarang saya berpikir tentang apa yang dipikirkan Kartini di hari-hari terakhir hidupnya. Apakah ia pernah berpikir bahwa lentera yang 'dinyalakannya' masih akan terus bersinar sampai detik ini? Menyesalkah dia 'berkorban' jadi istri keempat demi keluarganya? Tahukah dia bahwa pada akhirnya ia mengubah banyak pemahaman dan cara pandang perempuan di Indonesia?
Hanya Kartini yang tahu jawabannya. Dan mungkin Kartini sudah tahu jawabannya sejak awal dia berjuang lewat surat-suratnya. Seperti yang tercantum satu bait suratnya tertanggal 7 Oktober 1900 yang ditujukan pada Nyonya RM. Abendanon-Mandri di bawah ini:
“Saya tahu, jalan yang hendak saya tempuh itu sukar, penuh duri, onak, lubang; jalan itu berbatu-batu, berjendul-jendul, licin … belum dirintis! Dan walaupun saya tidak beruntung sampai di ujung jalan itu, walaupun saya sudah akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia.”
—Rappler.com