Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Direktur Utama Inhutani V, Dicky Yuana Rady serta delapan pihak lainnya.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengungkapkan kasus ini bermula dari permasalahan tidak dibayarnya Pajak Bumi Bangunan (PBB) periode 2018-2019 senilai Rp2,31 milar serta dana reboisasi senilai Rp500 juta per tahun, serta belum memberi laporan pelaksaanaan kegiatan oleh PT Paramitra Mulia Langgeng (PT PML) ke PT Inhutani V per bulannnya.
"Kemudian pada Juni 2023, berdasarkan keputusan Mahkamah Agung yang telah inkrah atas permasalahan hukum antara PT INH dan PT PML menjelaskan bahwa Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang telah diubah pada tahun 2018 anatara kedua belah pihak masih berlaku dan PT PML wajib membayar ganti rugi sebesar Rp3,4 miliar," ujar Asep, Kamis (14/8/2025).
Meski ada sejumlah masalah, PT PML pada awal 2024 tetap berniat melanjutkan kerja sama dengan Inhutani. Mereka ingin kembali mengelola kawasan hutan di lokasi register 42, 44, dan 46 berdasarkan PKS yang telah diubah pada 2018.
"Pada Juni 2024 terhadi pertemuan di Lampung antara jajaran direksi beserta Dewan Komisaris PT INH dan saudara DJN (Djunaidi) selaku Direktur PT PML dan tim yang menyepakati pengelolaan hutan oleh PT PML dalam RKUPH (Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan)," jelasnya.
Asep mengatakan, Djunaidi pada Agustus 2024 mengeluarkan uang Rp4,2 miliar untuk pengamanan tanaman dan kepentingan Inhutani V. Uang itu dikirimkan ke rekening PT Inhutani.
"Pada saat yang sama, saudara DIC selaku Direktu Utama PT INH diduga menerima uang tunai dari saudara DJN senilai Rp100 juta, yang dugnakan untuk keperluan pribadi," ujarnya.
Pada November 2024, Dicky kembali menyetujui permintaan PT PML terkait perubahan RKUPH yang teridiri dari pengelolaan hutan tanaman seluas 2.619,4 Ha di wilayah register 42 dan pengelolaan hutan tanaman seluas 699,02 Ha di wilayah register 46.
Pada Februari 2025, Dicky Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT Inhutani V yang di dalamnya juga mengakomodir PT PT Paramitra Mulia Langgeng. Lalu, Djunaidi meminta Staf PML bernama Sudirman untuk membuat bukti setor yang direkap dengan nilai Rp3 miliar dan Rp4 miliar dari PT PML ke PT Inhutani V.
"Hal ini membuat laporan keuangan PT INH berubah dari 'merah' ke 'hijau; dan membuat posisi saudara DIC 'aman'. Saudara SUD lalu menyampaikan kepada saudara DJN bahwa PT PML sudah mengeluarkan Rp21 miliar kepada PT INH untuk modal pengelolaan hutan," ujarnya.
Kemudian, Dicky dan Djunaidi bertemu di sebuah lapangan golf di Jakarta pada Juli 2025. Dalam pertemuan tersebut, Dicky meminta mobilbaru kepada Djunaidi.
"Kemudian saudara Djunaidi menyanggupi keinginan saudara DIC untuk membeli satu unit mobil baru tersebut," ujarnya.
"Kemudian pada Agustus 2025, saudara DJN melalui saudara ADT menyampaikan kepada saudara DIC bahwa proses pembelian satu unit mobil baru seharga Rp2,3 miliar telah diurus sudara DJN. Pada saat bersamaan, saudara ADT mengantarkan uang senilai 189 ribu dolar Singapura dari saudara DJN untuk saudara DIC di Kantor Inhutani," imbuhnya.
Atas rangkaian peristiwa itu, KPK mengamankan sembilan pihak di empat lokasi berbeda. Enam orang ditangkap di Jakarta serta masing0masing seorang di Bekasi, Depok, dan Bogor.
Selain itu, KPK menyita bukti mobil Rubicon dan Pajero serta uang 189 ribu dolar Singapura dan Rp8,5 juta.
Setelah dilakukan pemeriksaan, KPK hanya menetapkan tiga orang tersangka. Mereka adalah Dicky Yuana Rady (Direktur Utama PT Inhutani V), Aditya (Staf Perizinan SB Grup), dan Djunaidi PT Paramitra Mulia Langgeng).
Djunaidi dan Aditya selaku pihak pemberi diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkn Dicky Yuana Rady diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi.