Jakarta, IDN Times - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatra Barat, Feri Amsari, menilai wacana presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menambah jumlah menteri hingga 40 tidak efisien dan tak gesit dalam menghadapi masalah Indonesia.
Ia memprediksi jumlah kue kekuasaan yang dibagikan bakal bertambah lantaran kursi wakil menteri juga turut ditawarkan.
"Di mana-mana kabinet yang berlebihan tidak akan pernah efektif. Dari segi kebahasaan, namanya saja kabinet, dari kata cabin. Sejarahnya itu, raja-raja sebelum pergi ke parlemen, mereka akan bertemu orang-orang kepercayaannya di kamar-kamar kecil. Makanya, disebut kabinet. Dari katanya saja sudah bermakna sedikit orang," ujar Feri ketika dihubungi IDN Times, Selasa (7/5/2024).
Selain itu, Feri juga menyinggung biaya tambahan yang harus dikeluarkan jika Prabowo-Gibran tetap menambah kursi menteri. Mulai dari gaji untuk staf menteri, menyewa gedung kementerian, penggunaan kendaraan dinas, rumah dinas hingga gaji ASN.
"Belum lagi kalau kementerian baru ini akan memiliki kanwil hingga ke daerah. Berapa banyak anggaran yang terbebani. Jadi, tidak akan membantu efektivitas dalam bekerja," tutur dia.
Dalam pengisian posisi menteri, pemerintah mengacu kepada UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam Pasal 15 tertulis, presiden membentuk kementerian paling banyak 34 buah. Sedangkan, di Pasal 16 tertulis, pembentukan kementerian paling lama 14 hari kerja sejak presiden mengucapkan janji saat pelantikan.
Aturan itu pula yang diacu oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo selama hampir 10 tahun berkuasa dalam membentuk kabinet. Meski Feri mengakui pemberian kursi wakil menteri adalah cara Jokowi mengakali untuk mengakomodasi lebih banyak orang di kabinet.