Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Mardya Shakti)
Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Mardya Shakti)

Intinya sih...

  • Biaya pemilu terlampau mahalMenurut Prof. Dr. Syamsudin Haris, biaya sosial, politik, dan ekonomi pemilu terlampau mahal jika hanya bertujuan mengubah suara menjadi kursi di parlemen atau mendukung kandidat.

  • Putusan MK 135 sebuah keniscayaan politikPemisahan pemilu serentak nasional dan lokal merupakan suatu keniscayaan politik yang mesti dilakukan untuk mengefektifkan sistem presidensial.

  • Puan ungkap Putusan MK soal pemilu dipisah tak sesuai konstitusiKetua DPR RI, Puan Maharani, menyatakan bahwa putusan MK tidak sesuai dengan UUD 1945 karena pemilu diatur dilaksanakan setiap lima tahun sekali

Jakarta, IDN Times - Guru Besar Universitas  Nasional (Unas), Prof. Dr. Syamsudin Haris menegaskan, DPR dan pemerintah harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/2024 yang memerintahkan adanya pemisahan pemilu nasional dan lokal.

Menurut dia, semua elemen bangsa harus menerima putusan MK tersebut bila hendak memperbaiki dan mengefektifkan sistem presidensial.

“Jika kita konsisten hendak memperkuat dan meningkatkan efektivitas sistem presidensil maka putusan MK nomor 135 tahun 2024 harus diterima dengan lapang dada oleh siapa pun oleh seluruh elemen bangsa termasuk DPR pemerintah dan partai politik,” kata Syamsudin Haris dalam sebuah diskusi virtual, Jumat (18/7/2025).

1. Biaya pemilu terlampau mahal

Ilustrasi Pemilu. (Dok: istimewa)

Menurut dia, sistem politik Indonesia merupakan demokrasi presidensial. Bagi Syamsudin Haris, biaya sosial, politik dan ekonomi pemilu di Indonesia terlampau mahal jika pemilu hanya bertujuan mengonversi suara menjadi kursi di parlemen dan/atau mendukung kandidat calon presiden (capres) dan wakil presiden (wapres) atau kepala daerah.

Oleh sebab itu, ia menilai, mestinya sejak awal pemilu harus didesain untuk kebutuhan memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensial.

“Bagi saya biaya sosial biaya politik dan biaya ekonomi pemilu itu terlampau mahal jika pemilu hanya bertujuan untuk mengubah suara menjadi kursi,” kata dia.

2. Putusan MK 135 sebuah keniscayaan politik

Ilustrasi Pemilu 2024. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Dalam pandangan Haris, pemisahan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal merupakan suatu keniscayaan politik, sesuatu yang mesti dilakukan.

Sebab kalau tidak, sistem pemilu selamanya akan menjadi sesuatu yang terpisah. Sedangkan, pemerintah terus berupaya menggunakan sistem presidensial dan mengefektifkan sistem tersebut.

“Pemilu bukan hanya mengubah instrumen untuk mengubah suara menjadi kursi atau mengubah suara rakyat menjadi dukungan terhadap Paslon tertentu tapi juga instrumen untuk mengefektifkan sistem politik,” kata mantan Anggota Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.

3. Puan ungkap Putusan MK soal pemilu dipisah tak sesuai konstitusi

Ketua DPR Puan Maharani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat. (www.instagram.com/@puanmaharani)

Ketua DPR RI, Puan Maharani, mengatakan, Putusan MK Nomor 135 Tahun 2024 yang memerintahkan agar pemilu tingkat nasional dan lokal/daerah dipisah, tidak sesuai dengan UUD 1945. Sebab, UUD 1945 mengamanahkan, pemilu digelar lima tahun sekali.

Dalam UUD 1945, ketentuan mengenai pemilu terdapat dalam Pasal 22E. Pasal ini mengatur bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD.

Oleh sebab itu, kata Puan, kini banyak partai politik mendiskusikan mengenai Putusan MK tersebut.

"Kita semua mendiskusikan bahwa, ya, apa yang menjadi keputusan MK sudah tidak sesuai dengan undang-undang dasar karena memang sesuai dengan undang-undang, pemilu adalah 5 tahun sekali," kata dia.

Puan memastikan, revisi UU Pemilu segera ditindaklanjuti. Namun ia enggan menjelaskan, apakah dibahas melalui Komisi II DPR atau Badan Legislasi (Baleg) DPR.

"Kita akan tindaklanjuti sesuai dengan mekanismenya apakah nanti itu di Baleg, di Komisi II. Jadi antara Komisi II dan Baleg masih akan kami diskusikan di pimpinan," ucap dia.

Editorial Team