Pendamping AN Sebut Ada Satu Syarat yang Tidak Dipenuhi UGM

Yogyakarta, IDN Times - Kasus dugaan pemerkosaan terhadap mahasiswi Fisipol UGM AN oleh HS mahasiswa Fakultas Teknik UGM saat berlangsungnya KKN di Pulau Seram, Maluku pada 2017 silam, berakhir dengan penyelesaian secara non-litigasi dengan sejumlah persyaratan yang dipenuhi oleh pihak HS dan juga UGM.
Istilah bahwa kasus telah selesai dengan "perdamaian" seperti yang diungkap oleh pihak Kampus UGM diprotes oleh Direktur Rifka Annisa Women's Crisis Center Suharti.
1. AN tidak ingin kasus ini diselesaikan melalui jalur hukum
Dalam jumpa pers di kantor Rifka Annisa, Suharti mengatakan istilah perdamaian seakan-akan menegasikan upaya perjuangan dari penyintas atau korban kekerasan seksual yang hampir satu setengah tahun dilakukan.
"Jadi seakan-akan penyintas menyerah dalam perjuangan mencari keadilan, padahal rasa keadilan bagi penyintas tidak saja sesuai jalur hukum namun ada mekanisme lain seperti pemulihan hak-hak yang dibutuhkan oleh penyintas," katanya, Rabu (6/2).
Suharti mengaku tidak akan menyalahkan media atas penggunaan istilah perdamaian sehingga AN terkesan menyerah dan tidak memperoleh apa-apa, namun dia keberatan istilah tersebut bisa meluncur dari pihak UGM.
"Karena dalam kesepakatan bersama itu tidak ada kata-kata 'perdamaian' namun kok keluar di media kesepakatan damai," ujarnya.
Suharti juga mengatakan proses hukum yang dilakukan oleh aparat kepolisian juga tidak sesuai keinginan AN sejak awal karena tidak akan berpihak pada dirinya. Pihak pendamping sejak awal sudah mengantisipasi akan adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
"Kita melihat bahwa proses hukum yang dilakukan oleh kepolisian masih dengan cara konvensional sehingga butuh bukti-bukti fisik sehingga sulit untuk dipenuhi dengan cara visum. Ada perspektif yang tidak mendukung penyintas," ungkapnya.