Kiki juga mengatakan bahwa sejak awal AN sebagai penyintas telah berjuang agar kasus kekerasan seksual yang menimpanya ditangani oleh Direktorat Pengabdian Masyarakat UGM. HS pun telah mengakui perbuatannya di depan teman-teman setim KKN dan dosen pembimbing melalui sambungan telepon. Namun hingga September 2017 penyintas tidak mengetahui hasil penyelesaian dan rekomendasi apa yang diberikan kepada HS dari Fakultas Teknik UGM.
"Pada Oktober 2017 penyintas memperoleh nilai KKN C dan perlu waktu 1 tahun berjuang hingga 14 September 2018 nilai KKN dipulihkan dari A/B,"ujarnya.
Hingga saat ini, kata Kiki, penyintas juga belum memperoleh salinan hasil investagi yang dibentuk oleh UGM bahkan Agni hanya diminta mendengarkan hasilnya yang didalamnya terdapat kesimpulan terjadi pelecehan seksual.
"Ada informasi di situs UGM yang menyatakan HS akan diwisuda namun wisuda dibatalkan hingga kasus selesai,"ucapnya.
Kiki juga mengatakan penyelidikan yang dilakukan Polda Maluku pada tanggal 19 November 2018 yang berlangsung 12 jam menyebabkan penyintas kembali mengalami depresi.
"Laporan polisi ke Polda DIY juga tanpa persetujuan dari penyintas. Nah, kenapa kita memilih penyelesaian melalui jalur lain karena pertimbangan psikis penyintas," ungkapnya.
Kiki menyangkal pernyataan dari penyidik Polda DIY bahwa pondokan KKN AN dengan HS hanya 50 meter sedangkan dalam artikelnya Balairung Press menyatakan pondokan yang dimaksud adalah pondokan penyintas dengan teman wanitanya yang cukup jauh.
Pengaburan fakta seperti ini membuat lembaga pers mahasiswa UGM tersebut membuat berita bohong yang kemungkinan juga akan dikriminalisasi.
"Karena perkembangan kasus semakin hari semakin tidak jelas dan berpotensi memberikan tekanan psikis bagi Agni sehingga kami berdiskusi untuk menyelesaikan permasalahan yang berdampak paling ringan bagi penyintas," ucapnya.