Jakarta, IDN Times - Kuasa hukum dari penggugat Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral karena kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di SPBU swasta, Boyamin Saiman mempertanyakan mengapa sulit bagi pemerintah memberikan izin bagi badan usaha swasta mengimpor minyak. Sebab, badan usaha swasta menilai base fuel (bahan bakar murni) yang disediakan oleh PT Pertamina tidak sesuai dengan spesifikasi produk BBM yang bakal mereka jual. Mereka menolak membeli dari PT Pertamina karena base fuel-nya mengandung etanol 3,5 persen.
Di sisi lain, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia malah menyebut akan mewajibkan campuran etanol 10 persen di dalam BBM.
"Kebijakan itu kan bukan kitab suci dan bisa diubah. Ini (BBM) kebutuhan masyarakat. Apalagi mereka sudah rela membantu negara dengan tidak mengonsumsi BBM bersubsidi yang ada di SPBU Pertamina dan pindah ke SPBU swasta. Kalau cuma membuka keran impor lagi, apa susahnya?" tanya Boyamin ketika menjawab pertanyaan IDN Times di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (8/10/2025).
Ia pun menggarisbawahi tidak ada aturan atau ketentuan di dalam undang-undang hingga Peraturan Presiden yang melarang impor. Di dalam Peraturan Presiden nomor 191 tahun 2014, justru membolehkan terjadinya impor BBM.
"Di dalam Perpres itu yang dibutuhkan (untuk melakukan impor) hanya butuh rekomendasi (dari Kementerian ESDM)," tutur dia.
Boyamin menjadi kuasa hukum seorang karyawati swasta bernama Tati Suryati (51). Ia menggugat tiga pihak termasuk Bahlil ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain Bahlil, ada pula PT Pertamina sebagai tergugat II dan PT Shell Indonesia sebagai tergugat III.
Gugatan ini teregister dengan nomor perkara 648/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst. Sehari-hari Tati mengisi mobilnya dengan BBM buatan Shell Indonesia jenis V-Power Nitro+ dengan nilai oktan RON 98. Namun, karena kini stoknya kosong, ia terpaksa tak lagi menggunakan kendaraan roda empat.