Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Soeharto Bukan Pahlawan
Poster penolakan Soeharto dijadikan kandidat pahlawan nasional untuk Hari Pahlawan 2025. (IDN Times/Santi Dewi)

Jakarta, IDN Times - Koalisi Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas) menolak keras wacana pengangkatan Presiden kedua RI Soeharto, sebagai pahlawan nasional. Koalisi ini tergabung dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin, mengatakan mendukung Soeharto menjadi pahlawan, sama artinya dengan bersikap antidemokrasi. Menurut dia, warisan 32 tahun rezim Orde Baru bertentangan langsung dengan pilar-pilar fundamental negara demokratis.

"Kalau kita menjadikan Soeharto itu pahlawan, kita itu berarti anti-demokrasi," ujar Usep dalam diskusi yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta, Jumat (31/10/2025).

1. Pemilu pada zaman Orde Baru cuma pura-pura

ilustrasi pemilu (IDN Times/Mardya Shakti)

Menurut Usep, standar utama negara demokrasi adalah pemilu yang bebas dan adil (free and fair election). Hal ini menjadi tolok ukur yang diakui lembaga-lembaga internasional seperti Freedom House hingga The Economist. Namun, apa yang terjadi pada era Orde Baru adalah kebalikannya.

Usep menyebut, pemilu seperti hanya sekadar formalitas, sebab hasilnya sudah bisa ditebak jauh-jauh hari, yakni Soeharto dan partainya yang pasti menang. Tidak ada ruang untuk kompetisi sehat, jajak pendapat independen, apalagi hitung cepat. Pemilu hanya menjadi formalitas untuk melegitimasi kekuasaan yang sudah digenggam erat rezim Soeharto.

"Jangankan bebas dan adil, waktu era Orde Baru, Soeharto memimpin negara ini, itu bukan pemilu. Yang ada tuh pura-pura pemilu. Makanya, eh kalau lagi, ini sekarang kan lagi proses revisi undang-undang pemilu ya. Kalau ada narasumber atau akademisi, atau ada politisi, bahkan yang meng-compare pemilu sekarang terus dengan kalau di era Orde Baru. Ya ngapain dibahas, dibandingin era sekarang sama era Orde Baru, itu bukan pemilu, ngapain dibahas," kata dia.

2. Sistem multipartai cuma ilusi

Ilustrasi partai politik (ANTARA FOTO/Fanny Octavianus)

Ucep menyebut meski secara formal ada tiga kontestan yakni PPP, Golkar, dan PDI, sistem ini sebagai ilusi multipartai. Kenyataannya, parlemen dikuasai satu kekuatan tunggal.

"Kalau dihitung parlemen saat itu, itu cuman Golkar, karena suara Golkar itu sekisaran 70 sampai 90 persen," ungkap dia.

Dengan dominasi absolut seperti itu, fungsi pengawasan dari DPR menjadi mandul. Praktis, Indonesia dijalankan layaknya negara dengan sistem partai tunggal, di mana suara pemerintah adalah suara mutlak.

3. Membunuh ideologi dan membuat politik jadi sesuatu yang busuk

Ilustrasi pemilu (IDN Times/Esti Suryani)

Selain itu, kata Usep, rezim Soeharto juga harus bertanggung jawab atas 'pembunuhan' ideologi. Kekuatan politik berbasis ideologi seperti komunisme dan Islam dilemahkan secara sistematis, membuat partai-partai kehilangan basis gagasan mereka.

Selain itu, ditanamkan pula narasi bahwa politik adalah sesuatu yang kotor dan tidak penting.

"Kalau kita pingin partai di pemilu nanti itu ideologis, pembunuhannya sudah dimulai di era Soeharto, di era Soeharto. Ideologi komunisme dibunuh di 1965. Setelah Soeharto mimpin, ideologi Islam dihancurkan, dibunuh. Jadi, dampaknya masih terasa sekarang. Kita sulit banget bikin partai kita ideologis lagi," tutur Usep.

Selain itu, kata Usep, di kepemimpinan Soeharto, masyarakat menjadi apolitis dan apatis terhadap urusan negara.

"Era Orde Baru itu ada ditanamkan kalau berpolitik itu busuk. Berpolitik itu tidak penting. Kita kerja saja mendukung kehidupan berbangsa bernegara, mendukung pemerintahan," ungkap dia.

4. Akar korupsi sistemik yang masih terasa sampai sekarang

Ilustrasi korupsi (IDN Times/Arief Rahmat)

Praktik korupsi politik yang masif pada masa Orde Baru menjadi dosa demokrasi lainnya. Menurut Usep, kekuasaan dan pemerintahan saat itu menyatu untuk kepentingan mempertahankan jabatan dan mengamankan sumber daya.

Usep menuturkan, masalah pengerahan bansos dan memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pemilu, sebenarnya merupakan warisan pada era Soeharto.

"Karena saat itu yang namanya politik menurut kekuasaan itu menyatu sama pemerintahan itu sendiri. Jadi, bagaimana bisa bertahan di kekuasaan, bagaimana bisa kuat dalam politik yang masuk Golkar. Yang masuk dalam pemerintahannya Soeharto. Sehingga dijamin tuh yang namanya kekuasaan. Itu terus kemudian menurun ke secara hierarkis ke pejabat-pejabat negara di bawahnya," ungkapnya.

"Jadi mendukung pemerintahan, jadi korupsi politik kan artinya bagaimana menggunakan politik, menyalahgunakan kewenangan, memainkan anggaran negara untuk mempertahankan kekuasaan. Itu kan definisi korupsi politik. Nah, Soeharto adalah era di mana Indonesia itu akut banget di dalam soal korupsi politik," sambung dia.

Hal ini, kata Usep, sejalan dengan laporan Transparency International yang pernah menyebut Soeharto sebagai salah satu pemimpin terkorup di dunia. Sistem inilah yang melahirkan budaya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang akarnya masih sulit dicabut hingga hari ini.

5. Stabilitas ekonomi yang dibangun di atas pembungkaman suara rakyat

ilustrasi ekonomi (unsplash.com/Marga Santoso)

Argumen "Bapak Pembangunan" yang berhasil menciptakan stabilitas ekonomi sering kali menjadi pembelaan. Namun, Usep menegaskan, mitos terkait stabilitas tersebut adalah kebohongan yang ditegakkan dengan cara membungkam suara kritis.

Kebebasan berpendapat diberangus, oposisi dimatikan, dan semua harus berjalan sesuai arahan pemerintah. Stabilitas ini harus dibayar mahal dengan kebebasan rakyat.

Usep menekankan, pentingnya bisa membedakan antara "tokoh penting" dan "pahlawan". Soeharto mungkin tokoh penting dalam sejarah, tetapi warisan anti-demokrasi membuat gelar pahlawan menjadi tidak pantas untuk disematkan.

"Pahlawan sejati adalah sosok yang memerdekakan rakyat bersuara. Soeharto itu bukan hanya membuat rakyat takut bersuara, tapi juga membungkam," imbuh Usep.

Editorial Team