Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Pakar Hukum Pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini sebut putusan MK soal ambang batas pencalonan presiden merupakan keputusan yang monumental. (IDN Times/Fauzan)
Pakar Hukum Pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini sebut putusan MK soal ambang batas pencalonan presiden merupakan keputusan yang monumental. (IDN Times/Fauzan)

Intinya sih...

  • Perludem dorong elite politik beri tauladan yang baikMenurut Titi, partai politik harus menghormati putusan MK dan segera merevisi Undang-Undang Pemilu. Hal ini merupakan bentuk ketaatan aturan konstitusi.

  • Putusan MK bisa diubah oleh putusan MK itu sendiriTiti menyebut putusan MK dapat berubah melalui putusan MK yang baru, seperti kasus penghapusan ambang batas pencalonan presiden setelah 34 kali uji materil.

  • Bila DPR dan partai politik tak terima putusan MK, harus ajukan bukti baru untuk diujiTiti menyarankan DPR untuk menyiapkan bukti baru jika ingin menguji kembali putusan MK, meskipun tidak sepakat dengan keputusan tersebut.

Jakarta, IDN Times - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang mengakhiri skema pemilu serentak nasional dan lokal mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan, termasuk DPR. Namun, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai jika polemik yang muncul harus direspons dengan sikap kenegarawanan dan penghormatan terhadap prinsip hukum konstitusi.

"Kontroversi dan kritik soal putusan MK merupakan hal biasa. Kalau kita cermati, beberapa putusan MK terdahulu juga menimbulkan diskursus dan perdebatan di tengah masyarakat. Namun, ada hal prinsipil yang harus dipegang oleh semua pihak. Pertama, putusan MK bersifat final dan mengikat," ujar Titi kepada IDN Times di Jakarta, Selasa (8/7/2025).

Titi yang juga Dosen Hukum Pemilu Universitas Indonesia (UI) mengatakan, perbedaan pendapat terhadap putusan MK bukan hal baru dan tak selalu mencerminkan pelanggaran konstitusi.

"Jadi ada elite politik, partai yang menganggap putusan MK inkonstitusional, tapi ada banyak pakar hukum tata negara lain yang menganggap putusan MK konstitusional,” kata dia.

1. Perludem dorong elite politik beri tauladan yang baik

Titi Anggraini, perempuan tangguh 2024 yang menginspirasi. (IDN Times/Tata Firza)

Menurutnya, MK merupakan lembaga untuk menguji kewenangan undang-undang. Apapun keputusan MK, harus diikuti oleh semua pihak. Oleh karena itu, Titi meminta partai politik untuk menerima putusan MK tersebut.

“Nah, tetapi terlepas dari perdebatan apapun, elite politik, partai politik seharusnya memberikan teladan berkonstitusi dan budaya hukum yang baik, menghormati putusan MK, dan kemudian yang paling mendesak adalah menindaklanjuti putusan MK, membawa perdebatan ini ke dalam forum deliberasi yang formal, yaitu revisi undang-undang pemilu,” ucap dia.

Dalam kesempatan itu, hal yang paling mendesak terkait putusan MK itu adalah DPR segera merevisi Undang-Undang Pemilu. Hal tersebut merupakan bentuk DPR menaati aturan konstitusi.

Lebih lanjut, Titi mengingatkan bahwa putusan MK hanya menyentuh satu aspek dari kompleksitas masalah dalam sistem pemilu nasional.

“Nah, yang mendesak sekarang adalah justru melakukan tindak lanjut dengan segera memulai revisi undang-undang pemilu, sebab yang diputuskan MK itu baru satu variable saja, sedangkan persoalan pemilu kita amat banyak," beber dia.

2. Putusan MK bisa diubah oleh putusan MK itu sendiri

Gedung MK (Foto: IDN Times)

Dalam kesempatan itu, Titi menyebut putusan MK bisa diubah oleh putusan MK itu sendiri. Dia mencontohkan, ambang batas batas perolehan suara kursi di parlemen yang harus dipenuhi partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (presidential threshold), kini sudah dihapus. Padahal, sebelumnya MK telah menolak 34 kali uji materil aturan ambang batas tersebut.

“Putusan MK, dalam pengalaman ketatanegaraan kita, putusan MK itu pendirian hukum MK hanya bisa diubah melalui putusan MK yang baru. Itu terjadi misalnya di ambang batas pencalonan presiden setelah 34 kali diuji, Mahkamah Konstitusi berubah pendirian hukumnya,” ujar dia.

3. Bila DPR dan partai politik tak terima putusan MK, harus ajukan bukti baru untuk diuji

Ilustrasi gedung MK (IDN Times/Axel Joshua Harianja)

Titi tak masalah apabila DPR dan partai politik tak sepakat dengan putusan MK. Namun, kata dia, DPR harus menyiapkan bukti baru apabila ingin menguji kembali putusan MK.

"Ya silakan, kalau DPR ingin melakukan upaya hukum yang sama dengan menguji kembali ke Mahkamah Konstitusi. Namun harus ada bukti baru, kondisi hukum baru, argumentasi baru yang bisa mengubah pendirian hukum MK ini,” kata Titi.

Editorial Team