Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pesan Terakhir Mama Sebelum Direnggut Kanker Payudara

Dominan pasien kanker di Soedarso idap kanker serviks dan payudara. (IDN Times/Teri).
Dominan pasien kanker di Soedarso idap kanker serviks dan payudara. (IDN Times/Teri).

Jakarta, IDN Times - “Kayaknya mama gak lama lagi deh hidupnya,” kata mama kepada anak perempuan satu-satunya, Maya (nama yang disamarkan).

Kalimat itu terucap setelah mama menjalani operasi pengangkatan salah satu payudaranya. Hal itu seraya membuat Maya yang saat itu berusia 17 tahun, terdiam dan menangis.

Momen itu masih membekas nyata diingatannya meski Maya kini sudah 27 tahun dan memiliki satu anak.

Kepada IDN Times, Maya berbagi cerita tentang Mama yang berjuang hidup melawan kanker payudara selama membesarkannya.

“Nyokap gue almarhum, sudah ada riwayat kanker payudara dia awalnya merasa ada benjolan sesuatu di payudara setelah gue lahir (1997) terus dia berfikir itu tuh kelanjar susu, jadi dia diemin sampe gue umur 17 tahun ternyata si benjolan itu makin gede, sebesar telur,” kata Maya.

1. Rasa nyeri membawa Mama bertemu dokter onkologi

ilustrasi kanker payudara (IDN Times/Aditya Pratama)

Rasa nyeri di payudara menghampiri hari-hari Mama. Ia pun memtuskan berobat ke sebuah rumah sakit di Jakarta.

Di sana, dokter memutuskan mengangkat tumor jinak di payudara Mama. Operasi pengangkatan pun dilakukan dan berjalan dengan lancar.

Mama kembali menjalani aktivitasnya seperti biasa, menikmati hari-hari tanpa rasa nyeri itu lagi. Namun, kondisi baik itu tak bertahan lama.

Rasa nyeri kembali menghampiri, kali ini rasanya jauh lebih sakit. Mama memutuskan ke rumah sakit besar di Jakarta dan konsultasi dengan dokter onkologi dengan harapan bisa menyembuhkan sakitnya.

“Ini gak ada jalan lain bu, selain kemo terus operasi,” kata si dokter kepada Mama di hadapan Maya.

2. Kemo dan operasi pengangkatan salah satu payudara Mama

Pengunjung sedang mengikuti pemeriksaan USG Mamae di sela kegiatan Breast Cancer Campaign yang diselenggarakan Mal Ciputra Semarang, Senin (7/10/2024). (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Dalam pandangan Maya saat mendengar itu, dunia seperti berhenti berputar. Keduanya memutuskan pulang dan berdiskusi di rumah.

Saat itu, Mama memutuskan berobat alternatif karena enggan menjalani kemo dan operasi. Mama menjalani pengobatan alternatif selama beberapa bulan, tetapi hasilnya nihil.

Tumor Mama mengganas, menggerogoti tubuh. Mama memutuskan kembali ke rumah sakit dan menemui lagi dokter onkologi.

“Tuh kan bu, saya udah bilang ini itu gak bisa pake alternatif. Yang tadinya stadium awal sekarang udah stadium lanjut,” kata dokter dengan nada ketus.

Dengan pertimbangan dari ayah dan Maya, akhirnya keluarga sepakat mengikuti saran dokter. Mama kemudian menjalani kemo delapan kali, hingga mengharuskan operasi pengangkatan salah satu payudaranya.

“Dia sempat happy tuh, kirain dia bakal sembuh, ternyata gak lama dari operasi itu si kankernya itu udah menjalar ke ginjal, otak, ke seluruh badan, menyebar ke mana-mana udah deh makin parah,” kata Maya.

3. Pesan terakhir Mama sebelum meninggal dunia

ilustrasi kanker payudara (IDN Times/Aditya Pratama)

Kondisi Mama makin memprihatinkan, akibat kemo, rambut mama rontok hingga botak. Seluruh kukunya menghitam.

Kekuatan dalam dirinya untuk berdiri dan berjalan perlahan menghilang. Mama hanya terkapar di kasur putih selama berhari-hari.

Di penghujung akhir hayatnya, mama meninggalkan pesan kepada anak perempuan semata wayangnya, Maya.

“Mba, kamu anak perempuan satu-satunya, berpotensi besar untuk mewariskan penyakit ini. Pesen mama, jadi nanti kalau menemukan benjolan di payudara kamu, harus langsung cek ya ke spesialis onkologi, jangan didiamkan, nanti takutnya makin parah,” kata Mamanya dengan suara lirih.

Ternyata, pesan itu merupakan suara terakhir yang Maya dengar dari seorang Mama yang telah membesarkannya selama ini. Mama yang ia kenal sebagai sosok ibu yang baik, penuh kasih sayang dan mencintai anaknya.

“Sebenernya gue udah ada feeling kayaknya ini gak bakal sembuh. Ternyata bener, akhirnya nyokap gue meninggal 2015,” kata Maya.

4. Tumor kini bersarang di anak Mama

Infografis pemeriksaan payudara sendiri atau SADARI (IDN Times/Aditya Pratama)

Dua tahun berlalu, Maya menemukan benjolan di area payudaranya. Seketika mengingatkan Maya tentang pesan Mama.

Ia melaporkan ke sang ayah, dan disuruhnya untuk memeriksakan diri ke rumah sakit khusus kanker di Jakarta. Di sana ia bertemu dokter onkologi dan menceritakan bahwa sang Mama baru pergi meninggalkan cerita tentang kanker payudaranya.

“Ini bisa jadi kamu itu genetik, gapapa ini masih jinak gak harus diangkat. Nanti dievaluasi enam bulan lagi,” kata si dokter.

Sedikit tenang setelah mendengar penjelasan dokter. Namun, dari hari pertama ke enam bulan itu, tumor di dalam payudara Maya kian membesar.

Ia pun kembali ke rumah sakit dan menemui dokter itu lagi. Diputuskanlah operasi pengangkatan tumor dari payudara Maya.

Operasi berjalan lancar, tumor pun berhasil diangkat. Berdasarkan pemeriksaan, tumor jinak.

“Walaupun dia jinak, gak bisa didiemin gitu aja, takutnya makin berakar, terus kamu karena ada riwayat genetik dan pernah operasi harus rajin-rajin cek, enam bulan atau setahun sekali,” pesan dokter ke Maya.

5. Empat tumor bersarang di payudara Maya

ilustrasi kanker payudara (IDN Times/Aditya Pratama)

Tak pengin kecolongan, enam bulan kemudian Maya memeriksakan diri ke rumah sakit. Hasil USG, ditemukan empat tumor kecil bersarang di payudaranya.

“Kata dokter itu gak apa-apa, itu masih kecil-kecil kemungkinan masih bisa ilang,” kata Maya.

Penjelasan dokter itu ditelan mentah-mentah Maya. Ia terlena dan tak menghiraukan tumor-tumor itu.

Maya semakin larut dalam damai kehidupannya: menikah, berkeluarga dan memiliki satu anak.

Hingga akhirnya, di suatu pagi, ia merasakan rasa nyeri yang sangat di payudara. Bahkan, rasa nyerinya itu tak pernah ia rasakan selama memiliki tumor.

Rasa nyeri itu intens ia rasakan dalam dua minggu. Saat itu ia berpikir, mungkin menjelang haid. Namun, hingga masa haid itu berakhir, rasa nyerinya tak hilang. Ia pun memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter onkologi.

Dari hasil pemeriksaan, empat tumor itu telah membesar hingga dua sentimeter.

“Ini baiknya diangkat aja tapi yang ketahuan ini cuma satu, sisanya gak ketahuan ada di mana, gak keraba. Kalau misalkan dioperasi dan dicari-cari takutnya jaringannya rusak,” kata dokter.

Akhirnya, Maya memutuskan mengikuti saran dokter untuk mengangkat satu tumor di dalam payudaranya. Tiga lainnya entah di mana.

“Sampe sekarang masih nunggu hasil patologinya, belum keluar karena kan baru dua minggu kemarin gue operasi,” kata Maya.

6. Pola hidup dan dukungan keluarga adalah obat ampuh bagi Maya

ilustrasi pemeriksaan payudara sendiri atau SADARI (x.com/KemenkesRI)

Sejak saat itu, Maya mengaku mengubah pola hidupnya. Ia lebih hati-hati dalam mengonsumsi makanan, minuman dan rajin berolahraga.

“Karena kata dokter, itu penyakit gak ada obatnya. Kecuali ubah pola hidup. Gak lagi makan fast food, bakso, nugget, apalagi seblak. Bahkan, kedelai dan turunannya harus dihindari banget karena itu memicu hormon estrogen,” ujar Maya.

Untungnya, sang suami sangat memberi support Maya dalam melawan garis penyakit turunan Mama. Suami Maya, selalu ada di sisinya bahkan saat ia menjalani operasi.

“Dia nemenin, gantiin baju, gantiin celana, nemenin, bolak-balik jagain anak,” kata Maya.

Selama menjalani masa pemulihan, Maya diam-diam memupuk tekad menjalani pola hidup sehat. Semua demi keluarga kecil yang menunggu di rumah.

Gue udah bertekad, makanan makanan yang dilarang itu udah gak gue makan lagi, udah mulai olahraga lagi. Gue sebisa mungkin jaga pola hidup harus diubah, takut banget gue masih punya anak masih kecil kasian kalau kenapa-napa. Gue sempet nangis kemarin, takut banget,” kata Maya.

Pesan Mama kini menyelamatkan anaknya. Setidaknya, Maya mulai berhati-hati dengan semua kemungkinan dan memperbaiki pola hidup dalam usaha untuk melihat anak tumbuh hingga dewasa.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irfan Fathurohman
EditorIrfan Fathurohman
Follow Us