Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini (IDN Times/Margith Juita Damanik)
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Jakarta, IDN Times - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendorong Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pilkada. Hal ini dalam rangka menunda pemungutan suara serentak Pilkada 2020 di 270 daerah pada 9 Desember akibat pandemik virus corona di Indonesia.

"Perlu penyesuaian segera ketentuan penundaan pilkada, agar ada kepastian hukum terkait dengan penundaan pilkada," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini lewat keterangan tertulisnya, Kamis (16/4).

1. Tahapan Pilkada harus ditunda untuk kualitas Pemilu

Seorang penyandang disabilitas netra memasukkan surat suara saat Pemilihan Umum 2019 di Kota Medan (IDN Times/Prayugo Utomo)

Ia mengatakan, penundaan tahapan pilkada demi mencegah penyebaran COVID-19 berimbas pada pergeseran jadwal tahapan Pilkada 2020. Apabila dipaksakan pelaksanaan tahapan digabung dengan tahapan lainnya dinilai akan membebankan penyelenggara Pemilu dan tidak berkualitasnya penyelenggaraan Pilkada.

“Oleh sebab itu, perlu kiranya dilakukan penundaan terhadap tahapan Pilkada 2020 sampai wabah COVID-19 dapat ditanggulangi secara penuh, dan memastikan keselamatan jiwa manusia dari ancaman penularan,” kata dia.

2. Masih ada kekosongan hukum dari kesepakatan penundaan Pilkada 2020

Seorang pekerja tengah merampungkan pengerjaan kotak suara Pemilu 2019 di Gudang eks Bandara Polonia, Medan (IDN Times/Prayugo Utomo)

Titi mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu berperan lebih proaktif dalam penyusunan Perppu. Sebab, saat ini pemerintah pusat tengah sibuk menangani pencegahan penyebaran virus corona di Indonesia.

“Ada kekosongan hukum yang sangat terang, terkait lembaga yang berwenang menerbitkan penundaan pilkada di seluruh daerah pemilihan, yakni 270 daerah yang mestinya melaksanakan Pilkada di September 2020. Selain itu, juga tidak ada aturan terkait dengan lembaga mana yang berwenang memulai kembali tahapan pilkada,” ujarnya.

3. Realokasi anggaran juga perlu kepastian hukum

Ilustrasi pekerja logistik Pemilu 2019 memperhatikan surat suara Pileg 2019 sebelum dilipat dan didistribusikan ke TPS. IDN Times/Prayugo Utomo

Selain itu, Titi juga menilai masih adanya kekosongan hukum terkait realokasi anggaran pilkada di daerah, untuk penanganan COVID-19. Oleh karena itu menurutnya perlu dasar hukum yang jelas, agar tidak terjadi kesalahan dalam pertanggungjawaban keuangan negara.

“Selain itu, perlu juga dasar hukum yang jelas dan pasti, terkait dengan anggaran untuk melanjutkan kembali tahapan pilkada,” kata Titi.

Editorial Team