Indriyanto Seno Adji (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Dikonfirmasi terpisah, eks Komisioner KPK, Indriyanto Seno Adji menilai, yang diperlukan sebenarnya adalah penguatan sistem dan regulasi yang sudah ada di KPK. Baik untuk pemburuan tersangka, terdakwa, terpidana, maupun terhadap aset yang diduga berasal dari tipikor dan kejahatan lainnya.
"(TPK) Tetap diperlukan. Inpres ini diperlukan bagi penguatan sistem dan regulasi tersebut, khususnya perbaikan sistem koordinasi di antara lembaga penegak hukum dan lembaga terkait dalam pemburuan subyek dan obyek kejahatan tersebut. Jadi, memang diperlukan penguatan sistem koordinasi di antara lembaga terkait," katanya kepada IDN Times, Senin (20/7/2020).
Sedangkan Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar memandang TPK dalam dua perspektif. Dari perspektif harapan dan doa, semoga TPK berhasil. Namun dari perspektif realitas penegakan hukum, masih menjadi pertanyaan.
"Realitasnya, buron kakap sekelas DT (Djoko Tjandra) bisa bolak balik 'ngentutin' aparat keluar masuk Indonesia tanpa beban status buron. Artinya apa? Artinya ada banyak oknum birokrasi pemerintahan dan penegak hukum yang masih berpihak pada kepentingan sempit dan receh. Sehingga, rela menegasikan penegakan hukum," ucapnya.
Abdul menuturkan, meskipun Mutual Legal Assistance (MLA) atau bantuan hukum timbal balik sudah ditanda tangani, tidak adanya perjanjian ekstradisi seringkali mengagalkan pengejaran buronan. Menurut Abdul, negara-negara tempat pelarian buronan korupsi atau tindak pidana pencucian uang (TPPU), cenderung lebih melihat pada kepentingan investasi di negaranya.
"Karena itu lebih menguntungkan. Contoh, kasus Maria Paulina gagal diekstradisi di Singapura dan Belanda, meskipun sudah ada Asean MLA Treaty UU No.15/2008. Jadi dengan dasar realitas seperti itu, saya pesimis Tim Pemburu Korupsi dapat mencapai targetnya," tuturnya.