Polda Jabar Stop Kriminalisasi Whistleblower Korupsi Baznas

- Penggunaan Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU ITE dapat membuat whistleblower jera
- Tuntutan hukum pada pelapor harus ditunda hingga kasus diputus pengadilan
- Kriminalisasi terhadap Tri Yanto akan mempertanyakan komitmen Indonesia dalam pemberantasan korupsi
Jakarta, IDN Times - Koalisi Lawan Kriminalisasi Whistleblower (KOLIBER) meminta agar Polda Jabar menghentikan kriminalisasi Tri Yanto. Dia adalah mantan kepala auditor internal Baznas Jawa Barat, seorang whistleblower yang berani melaporkan dugaan tindak pidana korupsi dana zakat dan dana hibah sebesar Rp13,3 miliar yang terjadi di Badan Amil Zakat Nasional Provinsi Jawa Barat (Baznas Jabar).
Dalam kasus ini, dia dilaporkan balik salah satu pimpinan Baznas Jawa Barat, dengan Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman pidana hingga 9 tahun penjara.
"Kami mendesak Direktorat Reserse Siber Kepolisian Daerah Jawa Barat (Dit Ressiber Polda Jabar) untuk menghentikan kriminalisasi terhadap Tri Yanto yang saat ini berstatus sebagai tersangka. Tri Yanto, dan siapapun yang berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi, tidak boleh dibalas dengan laporan pidana maupun perdata karena laporan yang diajukan merupakan bentuk itikad baik," tulis Koliber dalam keterangan resminya kepada IDN Times, dikutip Selasa (22/7/2025).
1. Khawatir whistleblower jadi jera membagikan informasi dan buka suara

Koliber mengatakan penggunaan Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU ITE terhadap Tri Yanto sebagai whistleblower, dapat menimbulkan efek jera atau chilling effect yang dapat menghambat peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi maupun tindak pidana lain ke depannya.
2. Tuntutan hukum pada pelapor wajib ditunda hingga kasus yang dilaporkan diputus pengadilan

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memang sudah memberikan status Terlindung kepada Tri Yanto, berdasarkan hasil putusan Sidang Mahkamah Pimpinan LPSK pada 30 Juni 2025. Perlindungan pada saksi dan korban termuat dalam Undang-Undang nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yakni di Pasal 10 ayat (1).
"Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.”
Ayat 2 dari pasal tersebut juga menyatakan, jika terdapat tuntutan hukum terhadap pelapor, maka tuntutan hukum wajib ditunda hingga kasus yang dilaporkan telah diputus pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
3. Pelaporan dugaan tindak pidana korupsi adalah bagian dari hak partisipasi masyarakat

Berlanjutnya kriminalisasi pada Tri Yanto, kata Koalisi, juga akan membuat masyarakat internasional mempertanyakan komitmen Indonesia sebagai salah satu negara peratifikasi Konvensi Anti-Korupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCAC).
Jaminan perlindungan bagi Tri Yanto selaku pelapor, khususnya terkait kasus dugaan korupsi, telah diatur di Pasal 41 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Selain itu, pelaporan dugaan tindak pidana korupsi adalah bagian dari hak partisipasi masyarakat.
LPSK disebut telah tepat mengakui bahwa Tri Yanto, sebagai whistleblower, telah bertindak demi kepentingan publik.
4. Kejaksaan Tinggi Jawa Barat wajib diminat segera investigasi laporan dugaan korupsi

Koliber mengungkapkan, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat wajib segera secara transparan menginvestigasi laporan dugaan korupsi yang telah disampaikan oleh Tri Yanto.
"Negara tidak boleh memberikan ruang dan impunitas bagi koruptor hanya karena sibuk menangani kriminalisasi terhadap pelapor. Fokus utama harus tetap pada substansi laporan dugaan korupsi di Baznas Jawa Barat," ujar mereka.