Jakarta, IDN Times - Gelombang demonstrasi besar yang meletus di sejumlah kota pada akhir Agustus 2025 berakar dari akumulasi ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan dan gaya hidup mewah para pejabat di tengah kondisi ekonomi rakyat yang kian sulit.
Pemicu utamanya adalah polemik besaran tunjangan rumah anggota DPR yang mencapai Rp50 juta per bulan. Angka fantastis itu dianggap tidak masuk akal, terlebih saat masyarakat masih bergulat dengan inflasi, kenaikan harga kebutuhan pokok, hingga gelombang PHK.
Polemik tunjangan pejabat ini kemudian meluas ke ranah lain. Tidak hanya DPR, sorotan publik juga tertuju pada DPRD DKI Jakarta yang diketahui menerima tunjangan perumahan lebih besar, yakni mencapai Rp60 juta hingga Rp78 juta per bulan.
Fakta ini semakin mempertebal kesan ketimpangan dan memicu amarah publik, sebab rakyat menilai para wakilnya justru menikmati fasilitas berlebihan ketika kondisi ekonomi masyarakat sedang berat.
Perwakilan masyarakat miskin kota menilai kebijakan tersebut tidak adil dan semakin memperlebar jurang ketimpangan antara wakil rakyat dengan warga yang diwakilinya.
Urban Poor Consortium (UPC), Nafisa, menilai pemberian tunjangan rumah menunjukkan tidak adanya rasa keadilan sosial di tengah kondisi rakyat miskin, khususnya di Jakarta.
“Intinya, ini tidak adil. Gelombang aksi sejak 25 sampai 31 Agustus kemarin membuka mata kita tentang ketimpangan antara pemerintah dengan rakyat. Kita lihat, ada pejabat yang punya banyak aset rumah, sementara jutaan rakyat miskin tidak punya rumah layak, bahkan tanah pun tidak punya, air pun harus beli. Jadi terlihat jelas ketimpangannya,” kata Nafisa, Rabu (17/9/2025).