Persaudaraan Alumni (PA) 212, Front Persaudaraan Islam (FPI), dan organisasi lain yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pembela Rakyat (GNPR) menggelar demo di Patung Kuda. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Arskal menjelaskan, politik identitas tidak lazim dimainkan oleh kelompok mayoritas yang sebenarnya memiliki akses lebih atau privilege dibandingkan kaum minoritas.
Politik identitas oleh kelompok minoritas kerap dimanfaatkan untuk memperlihatkan posisi sebagai korban (playing victim) dari sistem represif yang dijalankan oleh kelompok mayoritas.
“Bagaimana mungkin kelompok mayoritas dengan privilege, kemudian mem-frame diri sebagai korban?” kata dia.
Arskal menegaskan, politik identitas berbeda dengan politik kebangsaan. Menurut dia, politik kebangsaan memahami keberadaan kelompok mayoritas dan minoritas.
Namun, haluan politik ini bertujuan untuk mengakomodasi agar kedua kelompok menjadi inklusif. Hal ini berbeda dengan politik identitas yang salah satu kelompoknya menuntut hak ekslusif.
Dalam kacamata politik kebangsaan, ujar Arskal, keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia di atas segalanya.
"Setiap warga dari latar belakang sosial, kultural, agama apapun memiliki hak dan kewajiban yang setara untuk berpartisipasi dalam politik," kata dia.
Sebaliknya, dalam perspektif politik identitas, pemenuhan hak satu kelompok yang menjadi tujuan utama. Hal itu, kata Arskal, justru bisa menimbulkan ketegangan atau bahkan perpecahan antar kelompok.
Meski demikian, politik praktis belum tentu membawa politik identitas. Menurut dia, pelaku politik praktis adalah anggota masyarakat dengan kesamaan identitas tertentu. Misalnya adanya kesamaan visi misi politik, geografis hingga kesamaan agama.
“Namun, hal ini tidak serta-merta menjadikan setiap praktik politik sebagai gerakan politik identitas,” kata Arskal.
Menurut Arskal, sebuah politik praktis menjadi gerakan politik identitas adalah ketika afiliasi kesukuan, keagamaan atau ras dijadikan komoditas untuk memobilisasi pengaruh perilaku pemilih.
Preferensi objektif terhadap calon pemimpin yang memiliki kapasitas mumpuni pun disebutnya menjadi terdistorsi oleh sentimen kesukuan atau keagamaan itu.
Contohnya adalah calon pemimpin yang tidak kompeten tetapi memiliki keyakinan agama yang sama akan lebih dipilih daripada calon pemimpin yang kompeten tapi berbeda keyakinan.
"Acapkali, politik identitas memanipulasi doktrin agama untuk mendiskriminasi dan menyudutkan pemilih seagama yang menyalurkan aspirasi politik yang berbeda," ujar dia.