ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
PT Kertas Nusantara terus menjadi perbincangan dan tidak bisa dilepaskan dari Calon Presiden Prabowo Subianto. Termasuk, menjelang debat calon presiden Pilpres 2019 dengan topik ekonomi. Sebab, perusahaan pulp yang awalnya milik Bob Hasan itu menjadi saksi bagaimana Prabowo membangun bisnis setelah tak lagi berkarier di militer.
Saat itu, Prabowo yang baru saja mengakhiri kariernya di militer mendapatkan pinjaman lebih dari USD 200 juta dari Bank Mandiri, bank milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah listed di pasar modal.
Runtuhnya rezim Orde Baru menyusul krisis ekonomi yang melanda Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menyebabkan sejumlah konglomerasi runtuh dengan utang menggunung.
Kiani Kertas, cikal bakal PT Kertas Nusantara termasuk perusahaan yang disita pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebagai jaminan atas utang Bob Hasan di Bank Umum Nasional.
Lewat proses divestasi BPPN, Prabowo membeli PT Kiani Kertas yang kemudian mengubah nama menjadi PT Kertas Nusantara. Salah satu pendanaannnya, memanfaatkan fasilitas pinjaman Bank Mandiri.
Prabowo mendapat kucuran Bank Mandiri senilai USD 201.242.000 (saat itu sekitar Rp1,89 triliun) meski baru beberapa tahun menjadi pengusaha setelah tak lagi di militer sejak 1998. Namun pembayaran kredit itu hingga 2007. Hal itulah yang menyebabkan Prabowo pernah mengakui dirinya sulit mendapatkan pinjaman dari bank-bank yang ada di Indonesia.
“Kreditnya macet triliunan. Lalu oleh BPPN dijual melalui Program Penjualan Aset Kredit (PPAK). Alasannya, sayang kalau diambil asing. Karena jiwa nasionalismenya tinggi, Prabowo mau dan menyuntik dana US$ 30 juta. Kalau tidak salah ingat, itu tahun 2003,” ungkap Dewan Pakar Ekonomi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Dradjad Wibowo kepada IDN Times, Kamis (13/3).
"Setelah itu, jelas Kiani perlu kredit modal kerja untuk operasinya. Kiani menghubungi beberapa bank, termasuk Bank BUMN. Ternyata tidak ada yang mau memberi kredit. Padahal bank-bank itu begitu mudahnya menggelontorkan kredit ratusan miliar, bahkan triliunan ke konglomerat yang berlatar belakang etnis tertentu,” Dradjad melanjutkan.