Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto (tengah) usai menghirup udara bebas dari rutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (IDN Times/Santi Dewi)
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto (tengah) usai menghirup udara bebas dari rutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (IDN Times/Santi Dewi)

Intinya sih...

  • Prabowo memberikan amnesti kepada Hasto tanpa pertimbangan hukum

  • Amnesti bagi Hasto menuai kontroversi karena tak ada pertimbangan hukum, berbeda dengan kasus Baiq Nuril

  • Amnesti biasanya tidak diberikan untuk kasus korupsi, namun Hasto menjadi yang pertama dalam kasus korupsi selama 18 tahun di KPK

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti atau pengampunan bagi politikus PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto tanpa dilandasi pertimbangan hukum. Hal itu tertulis di dalam Keppres nomor 17 tahun 2025 mengenai pemberian amnesti yang diteken pada 1 Agustus 2025 lalu.

Pemberian amnesti bagi Hasto menuai kontroversi. Sebab, ia menjadi terdakwa kasus rasuah yang terbukti di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menyuap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Di dalam Keppres setebal 77 halaman itu, tertulis presiden memberikan amnesti mengacu kepada UUD 1945 pasal 14 ayat (2). Isi dari pasal tersebut yakni 'presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.' Ada pula yang dijadikan acuan untuk mengeluarkan kebijakan amnesti yaitu UUD 1945 pasal 4 ayat (1) yang berisi kekuasaan presiden.

Melalui keppres itu, Prabowo memberikan amnesti kepada 1.178 terpidana atau narapidana, termasuk Hasto. Padahal, Hasto belum berstatus terpidana lantaran kasus hukumnya belum berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah memasukkan pengajuan banding terhadap putusan majelis hakim yang menjatuhkan vonis 3,5 tahun.

1. Surat permohonan pertimbangan amnesti bagi Hasto tak pernah dibacakan di rapat paripurna

Presiden Prabowo Subianto (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Sementara, berkaca kepada pemberian amnesti bagi Baiq Nuril, pengampunan bagi Hasto dinilai tak sejalan dengan landasan kebijakannya. Baiq Nuril mendapat pengampunan dari Presiden ke-7 Joko "Jokowi" Widodo karena menjadi terpidana kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena ia merekam percakapan mesum dari seorang kepala sekolah terhadap dirinya.

Baiq yang merupakan guru perempuan asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu divonis enam bulan bui dan denda Rp500 juta. Ia akhirnya berhasil dibebaskan usai Keppres amnesti diteken Jokowi pada 29 Juli 2019 lalu.

Sesuai dengan UUD 1945 pasal 14, Jokowi ketika itu meminta pertimbangan kepada DPR RI sebagai manifestasi dari perwakilan rakyat. Mengutip jurnal yang dirilis oleh Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Info Singkat, permintaan pertimbangan itu dilayangkan dalam bentuk surat dengan nomor R-28/Pres/07/2019. Surat itu kemudian dibacakan di rapat paripurna dan dibahas di rapat Badan Musyawarah DPR RI.

Sedangkan, di dalam pemberian amnesti bagi Hasto, tidak ada surat dari Prabowo yang dibacakan di rapat paripurna. Tiba-tiba pada Kamis malam 31 Juli 2025, Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas dan pimpinan DPR mengumumkan secara mendadak, Prabowo memberikan amnesti bagi Hasto dan abolisi bagi Tom Lembong.

Meskipun Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan sudah melakukan rapat konsultasi dengan pemerintah untuk membahas surat dari Prabowo yang mengajukan amnesti bagi Hasto dan abolisi untuk Tom Lembong.

2. Amnesti biasanya tidak diberikan untuk kasus korupsi

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto saat menghadiri Kongres ke-VI PDIP di Bali Nusa Dua Convention Center, Badung, Bali, Sabtu (2/8/2025).

Di sisi lain, jurnal Info Singkat juga memaparkan amnesti atau pengampunan biasanya tidak diberikan untuk tindak pidana korupsi. Amnesti diberikan untuk tindak pidana politik, pelanggaran Hak Asasi Manusia berat dan perpajakan.

Khusus untuk pemberian amnesti bagi pelaku pelanggaran HAM berat menggunakan UU nomor 27 tahun 2004 mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang batal demi hukum lewat putusan Mahkamah Konstitusi - sebagai dasar pertimbangan.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Asep Guntur Rahayu. Ia membenarkan kasus Hasto Kristiyanto adalah kasus korupsi pertama kali yang diberi amnesti Presiden.

Padahal, Hasto terbukti di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memberikan suap untuk komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam penggantian antar waktu (PAW) anggota DPR. KPK pun sudah mendaftarkan banding terhadap vonis bui 3 tahun dan 5 bulan bagi Hasto.

"Kalau untuk KPK sendiri, sejauh saya dinas di sini, ini adalah amnesti pertama," ujar Asep di Gedung Merah Putih, KPK pada Sabtu (2/8/2025) dini hari.

Asep diketahui mulai ditugaskan di KPK pada 2007 lalu. Amnesti terhadap Hasto menjadi yang pertama dalam kasus korupsi selama Asep bertugas 18 tahun di KPK.

3. Dari 1.178 napi yang dapat amnesti, cuma Hasto yang ditahan di rutan KPK

Ilustrasi borgol. (IDN Times/Mardya Shakti)

Keppres Prabowo soal amnesti dan ambolisi kemudian ditindak lanjuti oleh Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas). Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Mashudi, menerbitkan surat kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan di seluruh Indonesia terkait pemberian amnesti ini.

Dari dokumen yang diterima IDN Times, Senin (4/8/2025), Hasto jadi satu-satunya nama yang menerima amnesti sebagai tahanan dari Cabang Rutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Setidaknya, ada beberapa hal yang disampaikan. Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2025, memerintahkan seluruh Kepala Lapas, Rutan, dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), agar melakukan pengecekan cermat terhadap data narapidana penerima amnesti.

Narapidana penerima amnesti harus dibebaskan paling lambat pada Minggu, 3 Agustus 2025. Hasto keluar dari rutan KPK pada 1 Agustus 2025 dan keesokan harinya terbang ke Bali untuk mengikuti kongres PDI Perjuangan (PDIP).

Editorial Team