Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG-20250806-WA0002.jpg
Pihak pemohon perkara nomor 81/PUU-XXIII/2025 soal uji formil UU TNI ke MK (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Intinya sih...

  • Putri Gus Dur dan koalisi masyarakat sipil serahkan kesimpulan uji formil UU TNI ke MK

  • Fakta pelanggaran prosedur pembentukan UU TNI disampaikan dalam persidangan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI (UU TNI) yang dimohonkan oleh putri Presiden Ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Inayah Wahid bersama koalisi masyarakat sipil memasuki babak baru.

Dalam perkara nomor 81/PUU-XXIII/2025 ini, Inayah bersama aktivis Fatia Maulidiyant, dan mahasiswi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STH) Jentera, Eva Nur Cahyani tercatat sebagai pemohon perorangan. Selain itu ada pula pemohon lainnya yang berasal dari berbagai organisasi masyarakat sipil, yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dan Imparsial.

Mereka sebagai pemohon dengan memberikan kesimpulan ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (5/8/2025).

1. Sampaikan fakta dalam persidangan soal pelanggaran prosedur pembentukan UU TNI

Kepala Divisi Hukum KontraS, Andri Yunus (kiri) ketika menunjukkan surat penolakan terbuka terhadap revisi UU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat. (IDN Times/Santi Dewi)

Direktur Yayasan LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, mengatakan, materi dalam kesimpulan itu salah satunya membahas soal fakta-fakta pelanggaran prosedur pembentukan UU TNI yang juga terbukti selama jalannya persidangan.

"Kami menyampaikan apa yang menjadi fakta-fakta yang terbukti di persidangan, di antaranya mengenai berbagai pelanggaran prosedur yang terjadi sepanjang proses pembentukan revisi UU TNI. Termasuk pula di dalamnya soal pelanggaran terhadap asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan seperti asas transparansi, asas kejelasan tujuan, dan berbagai hal yang berkenaan dengan partisipasi publik," kata dia saat ditemui di lokasi.

2. Tidak terbantahkan adanya pelanggaran prosedur

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Menurut para pemohon, keterangan yang disampaikan ahli dan saksi dari pemerintah maupun DPR justru tidak terbantahkan adanya pelanggaran prosedur khususnya pada proses perencanaan dan penyusunan UU TNI.

"Bahkan kami menilai dalam proses persidangan DPR dan pemerintah bahkan kebingungan proses perencanaan dan penyusunan revisi undang-undang TNI ini melalui dalam tanda petik pintu apa, apakah daftar kumulatif terbuka, prolegnas prioritas atau carry over dari proses sebelumnya," kata Fadhil.

"Sehingga di situ kami menilai bahwa proses revisi undang-undang TNI ini sudah dalam tanda petik cacat atau gagal," sambung dia.

3. Soroti draf revisi UU TNI yang tidak dibuka ke publik

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sementara kuasa hukum pemohon lainnya, Gina Sabrina menyoroti tertutupnya DPR dan pemerintah dalam menyusun UU TNI. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya draf revisi UU TNI yang dibuka ke publik. Bahkan, masalah ini juga dikonfirmasi langsung oleh Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono.

"Itu berdasarkan keterangan Dave Laksono, Anggota Komisi I DPR untuk menghindari keriuhan publik soal draf yang tidak dibuka itu yang pertama," ujar dia.

Selain itu, sejak awal persidangan sampai akhir, Majelis Hakim MK berkali-kali meminta kepada DPR maupun pemerintah untuk menunjukkan bukti baik, kemudian daftar hadir, notulensi, dan rekaman CCTV. Namun permintaan ini justru diabaikan DPR dan pemerintah.

"Itu membuktikan bahwa drafnya tidak pernah dibuka dan memang tidak pernah ada partisipasi," kata Gina.

Editorial Team