Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi radikalisme (IDN Times/Mardya Shakti)
Ilustrasi radikalisme (IDN Times/Mardya Shakti)

Jakarta, IDN Times - Ahli Kriminologi Universitas Indonesia Arijani Lasmawati meminta kepada pemerintah, agar mewaspadai gerakan bernuansa radikalisme menjelang Pemilu 2024, seperti yang pernah terjadi pada masa Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 dan Pemilihan Presiden 2019.

“Kontestasi politik di Pilgub DKI Jakarta dan Pilpres 2019, terutama dengan adanya aksi massa 212, mengeskalasi perkembangan radikalisme di Indonesia,” kata Arijani, dilansir ANTARA, Senin (24/1/2022).

Pernyataan tersebut ia utarakan ketika memaparkan hasil temuan penelitiannya dalam seminar riset bertajuk, “Pelibatan Remaja dalam Kejahatan Terorisme di Indonesia sebagai Designated Victim” yang disiarkan yang disiarkan secara daring.

 

1. Aksi 212 muncul akibat carut-marutnya Pilkada DKI

ilustrasi pemilu (IDN Times/Aditya Pratama)

Arijani melakukan wawancara dengan empat orang perwakilan mantan anggota kelompok teror. Melalui wawancara tersebut, ia memperoleh informasi bahwa kelompok-kelompok radikal secara aktif membawa keempat orang tersebut, untuk turut serta masuk ke pusaran kontestasi politik.

“Aksi massa 212 tidak bisa dipungkiri merupakan sebuah peristiwa yang muncul akibat carut-marutnya Pilgub DKI waktu itu,” ucap perempuan yang akrab disapa Ari itu.

2. Peristiwa politik bisa memicu masuknya radikalisme

Ilustrasi Aksi Terorisme (IDN Times/Mardya Shakti)

Menurut Arijani para informan yang sebelumnya fokus pada kegiatan-kegiatan murni keagamaan, seperti memberantas miras dan judi, menjadi masuk ke jejaring radikal akibat peristiwa politik tersebut.

“Perkumpulan massa dalam kondisi yang sangat besar dan padat, serta di dalam media sosial menjadi perbincangan. Itulah yang saya potret sebagai eskalasi,” tutur dia.

3. Potensi ancamannya kemungkinan meningkat terkait remaja dan radikalisme

Ilustrasi Melawan Radikalisme (IDN Times/Mardya Shakti)

Salah satu informan Ari yang merupakan mantan anggota kelompok teror berinisial DR. Ari menjelaskan DR mulai tertarik pada Islam radikal sejak berjejaring dengan simpatisan FPI, tepatnya ketika aksi massa 2021.

Setelah kekalahan Prabowo pada Pilpres 2019, Ari melanjutkan, DR merasa kecewa dengan FPI dan beralih menjadi simpatisan Negara Islam Iraq dan Suriah (ISIS).

Hasil wawancara tersebut membawa Ari pada kesimpulan bahwa pergolakan politik dapat menjadi pemicu perkembangan gerakan radikalisme di Tanah Air, khususnya radikalisme yang melibatkan remaja.

“Inilah konteks sosial yang patut menjadi kewaspadaan. Ke depan akan ada kontestasi politik 2024, ini perlu menjadi perhatian bagi kita semua. Potensi ancamannya mungkin meningkat terkait remaja dan radikalisme,” kata Ari.

Editorial Team