Anggota Komisi XIII DPR RI Yasonna Laoly minta pemerintah tak kejar tayang bahas undang-undang. (IDN Times/Amir Faisol)
Ketua DPP PDIP, Yasonna Laoly, mengkritik wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto. Ia meminta pemerintah untuk mengkaji ulang wacana tersebut, sebelum diumumkan ke publik pada Senin (10/11/2025).
Politikus senior PDIP itu melihat, rencana penganugerahan gelar pahlawan untuk mantan mertua Presiden Prabowo Subianto itu menuai ragam reaksi publik.
"Sekarang terjadi pro kontra yang sangat besar ya. Jadi, reaksi-reaksi, kalau boleh ya kita berharap sebaiknya pemberian gelar pahlawan nasional betul-betul dikaji dengan baik lah," kata Yasonna di Gedung DPR RI, dikutip Kamis, 6 November 2025.
Yasonna pun meminta pemerintah sebaiknya memberikan penjelasan yang utuh kepada publik atas rencana pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto. Karena itu, ia berharap pemerintah memperhatikan prinsip kehati-hatian, dan tidak sembarang memberikan gelar pahlawan.
"Sebaiknya diberi penjelasan yang lebih sempurna karena ini tidak mudah. Jadi kalau pemberian gelar pahlawan nasional itu saya harap, kita berharap agar hati-hati lah. Ya. Itu aja," ucap anggota Komisi XIII DPR RI itu.
Sementara, anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, menyinggung soal syarat ketat yang harus dijadikan sebagai pertimbangan terkait rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
"Salah satu blue tier point, dia tidak boleh pernah terbukti di bidang lain, dan tidak boleh punya cacat yang bisa membuat nilai-nilai perjuangannya jadi terkurangi. Nah, itu syaratnya sempurna," kata dia, Jumat, 7 November 2025.
Bonnie menyoroti sejumlah peristiwa penting dalam masa kepemimpinan Soeharto. Mulai dari terbatasnya kebebasan berekspresi, hingga krisis ekonomi yang melanda Indonesia di akhir masa pemerintahan Orde Baru.
"Wacana pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto, perlu melihat fakta sejarah secara utuh. Kalau bicara soal kebebasan berekspresi, sekarang mau ngomong apa saja di media sosial, diperbolehkan,” kata dia.
“Dulu (era Soeharto) memang tidak ada media sosial. Tetapi kalau kritik, dianggap kritiknya supersif, mengganggu, dan ketafsiran penguasa, dia bisa ditangkap, bahkan hilang. Itu fakta sejarah," sambung Bonnie.
Bonnie menyebut, Soeharto merupakan tokoh bangsa namun ia juga pelaku sejarah. Bonnie menyinggung luka sejarah yang terjadi buntut pemerintahan Soeharto, termasuk pada masa reformasi. Menurut dia, seorang pahlawan sejati tidak seharusnya meninggalkan luka bagi bangsanya sendiri.
"Pahlawan sejati bukanlah dia yang membawa dampak kesengsaraan begitu banyak. Bukanlah dia yang pernah membungkam suara-suara kritis dari aktivis, dari mahasiswa,” ujar dia.