Kisah Hidup Christianto Wibisono, Ekonom Senior di Era Soeharto

Christianto Wibisono meninggal dunia karena COVID-19

Jakarta, IDN Times – Berita duka datang dari ekonom senior Christianto Wibisono. Ekonom di era mantan Presiden Soeharto tersebut tutup usia pada umur 76 tahun hari ini, Kamis (22/7/2021).

Menurut keterangan Pianis, Ananda Sukarlan melalui akun Twitternya, Christianto meninggal sore ini pukul 17.00 WIB akibat terpapar COVID-19.

“Turut berduka cita atas wafatnya pak Christianto Wibisono (Oey Kian Kok). Beliau adalah seorang analis bisnis terkemuka di Indonesia dan pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia 1980. Wafat pukul 17 baru saja setelah terpapar COVID-19,” ungkapnya.

Berikut adalah sekilas kisah hidup dan profil ekonom senior Christianto Wibisono.

1. Profil singkat Christianto

Kisah Hidup Christianto Wibisono, Ekonom Senior di Era Soeharto(Christianto Wibisono) IDN Times/Kevin Handoko

Christianto Wibisono atau Oey Kian Kok lahir di Semarang, Jawa Tengah, 10 April 1945. Dikenal sebagai seorang analis bisnis terkemuka di Indonesia, ia juga merupakan pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) 1980.

Awal karirnya adalah menjadi penulis di surat kabar yang diterbitkan oleh Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) bernama Harian KAMI yang terbit perdana 18 Juni 1966. Pada 1971, bersama Gunawan Muhammad, ia juga turut menjadi pendiri mingguan Ekspres, yang kemudian menjadi cikal bakal majalah Tempo.

Christianto pernah menjadi Asisten Pribadi Wapres Adam Malik 1978-1983 khusus masalah Dialog Utara Selatan, ketika Adam Malik menjadi anggota Komisi Utara Selatan yang diketuai mantan kanselir Jerman Willy Brandt.

Baca Juga: Ekonom Senior Christianto Wibisono Meninggal Dunia

2. Pernah mengungsi ke AS pasca-kerusuhan Mei 1998

Kisah Hidup Christianto Wibisono, Ekonom Senior di Era SoehartoIlustrasi Kerusuhan Mei 1998. (IDN Times/Capture Buku Politik Huru Hara Mei 1998)

Dalam wawancara khusus dengan IDN Times yang diterbitkan pada Mei 2019, Christianto bercerita bahwa keluarganya sempat “mengungsi” ke Washington DC, Ibu Kota Amerika Serikat (AS), pasca Tragedi Mei 1998.

Ia juga mengatakan mereka kerapkali menjadi korban rasisme hingga rumah putri tertuanya, Yasmin, dibakar massa tak dikenal. Yasmin saat itu sudah memiliki dua anak, masing-masing berusia 1,5 tahun dan beberapa bulan.

Christianto mengaku kecewa berat dengan perlakuan rasis yang diterimanya. “Kamu tahu kan, bagaimana saya, sejak 1966 saya ikut berjuang, idealis. Kok seperti ini?” tutur Christianto saat itu.

3. Surat kaleng jadi alasan pergi ke AS

Kisah Hidup Christianto Wibisono, Ekonom Senior di Era SoehartoIDN Times/Kevin Handoko

Ia juga mengaku pernah menerima surat kaleng yang isinya kata-kata kasar dan bernuansa SARA pada 10 Juni 1998. Surat itu membuat dirinya sangat tersinggung.

“Sangat rasis, dan memaki-maki saya. Surat dikirim ke rumah di Jalan Kartini. Ini yang membuat saya sakit hati. Traumatik. Ya sudah, good bye,” kata Christianto saat itu sambil menunjukkan surat bertanggal 10 Juni 1998.

“Saat itu memang saya kerapkali mengkritisi kekayaan yang dikumpulkan oleh Soeharto dan kroni-kroninya yang saya perkirakan mencapai sekitar Rp200 triliun. Sempat ada yang informasi ke saya, bahwa saya mungkin akan ditangkap. Kaki-tangan Soeharto masih kuat meskipun dia sudah lengser,” kata lulusan Universitas Indonesia itu lagi.

Christianto mengatakan dirinya memutuskan meninggalkan Indonesia pada tanggal 11 Juni 1998 dan baru kembali ke Indonesia tahun 2006.

Sebelumnya, Wibisono juga pernah bergabung dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), untuk menjadi calon legislatif di Pemilu 2019.

“Setiap zaman akan ada leader yang muncul untuk menangani problem yang dihadapi warga Tionghoa dalam berpolitik. Sekarang generasi Grace Natalie,” ujar Christianto, kepada IDN Times, Jumat (27/4/2018) silam.

Baca Juga: Wawancara Khusus Christianto Wibisono: Mengungsi ke AS Pasca Kerusuhan Mei 1998

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya