2019 Tahun Drama Politik Berdarah yang Menorehkan Sejarah

Ratusan nyawa melayang akibat pemilu serentak

Jakarta, IDN Times - Tahun 2019 menorehkan sejarah politik di Tanah Air. Tak salah memang jika tahun ini disebut-sebut sebagai tahun politik. Pemilu serentak menjadi sejarah pemilu pertama sepanjang sejarah yang meninggalkan duka mendalam. Ratusan penyelenggara pemilu dan petugas keamanan meninggal dunia.

Tak hanya korban jiwa, pemilu 2019 pun menyisakan kultur baru. Muncul polarisasi di masyarakat akibat pilihan politik yang berbeda, yang bahkan berlangsung hingga kini meski pemilu telah usai. Dinamika partai politik juga turut mewarnai 2019 lewat manuver-manuver politik, untuk mencapai tujuan kekuasaan.

Fenomena politik 2019 yang lebih mengejutkan lagi, calon presiden yang kalah akhirnya bergabung dengan pasangan calon presiden yang menang. Ya, Prabowo Subianto yang menjadi rival politik Joko Widodo-Ma'ruf Amin dalam Pemilu Presiden 2019, akhirnya duduk di kursi Kabinet Indonesia Maju, setelah kalah dengan perolehan 68.650.239 suara. Sementara pasangan Jokowi-Ma'ruf mendapat 85.607.362 suara.

Berikut ringkasan kilas balik Pemilu 2019, yang dikutip dari berbagai sumber:

1. Pemilu serentak 2019 menjadi pemilu serentak terbesar dan terumit di dunia

2019 Tahun Drama Politik Berdarah yang Menorehkan SejarahIlustrasi (IDN Times/Haikal Adithya)

Pemilu serentak 2019 disebutkan sebagai pemilu terbesar di dunia, bahkan terumit di dunia. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu menyiapkan 813.000 Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar di 17.000 pulau dan luar negeri.

Sebagai perbandingan, pemilu di India diselenggarakan tidak hanya satu hari. Sementara, Amerika Serikat diselenggarakan per dapil. Sementara, Indonesia menggelar pemilu serentak dalam satu hari di 34 provinsi.

Mengutip data The Spectator Index 2018, Indonesia tercatat memiliki populasi penduduk sebanyak 265 juta jiwa. Jumlah penduduk terbesar nomor empat di dunia. Tiongkok memiliki jumlah penduduk terbesar pertama dunia dengan 1,4 miliar jiwa. Disusul India dengan populasi 1,33 miliar jiwa dan Amerika Serikat 328 juta jiwa.

Harian New York Times juga mengakui, pemilu di Indonesia sebagai "the world's largest direct presidential election" atau pemilihan "presiden secara langsung terbesar di dunia". Begitu juga CNN, mengutip laporan lembaga kajian Australia, Lowy Institute, menyebutkan pemilu di Indonesia merupakan "satu hari pemungutan suara paling rumit" yang pernah dilakukan.

Pemilu 2019 disebut terumit? Karena pemilih dibingungkan dengan lima surat suara sekaligus saat memilih di TPS. Pemilih harus memilih pasangan calon presiden, anggota DPR, DPRD, hingga DPD. Kertas surat suara warna hijau untuk memilih anggota DPRD kabupaten atau kota, warna biru untuk anggota DPRD provinsi, warna kuning untuk anggota DPR RI, warna merah untuk DPD RI, dan abu-abu untuk memilih pasangan capres-cawapres.

Ada dua pasangan capres yang bertarung yakni Presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Sebanyak 7.968 calon anggota legislatif juga bertarung dalam Pemilu serentak 2019, 575 di antaranya caleg DPR RI. Sebanyak 807 anggota DPD juga ikut bertarung dalam pesta demokrasi kali ini. Sebanyak 16 partai politik nasional dan empat partai lokal di Aceh juga turut serta dalam Pemilu 2019.

Tak hanya itu, ada sebanyak 192.866.254 pemilih yang sudah berhak memilih, terdiri dari 190.779.969 pemilih di dalam negeri dan 810.329 pemilih luar negeri. Mereka tersebar di 514 kabupaten atau kota, 7.201 kecamatan, dan 83.405 kelurahan atau desa.

Baca Juga: Perludem: Pemilu 2019 Bukan Pemilu Serentak, Tapi Pemilu Borongan

2. Berawal dari penghematan dan memenuhi hak politik warga

2019 Tahun Drama Politik Berdarah yang Menorehkan SejarahGedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. (IDN Times/Axel Jo Harianja)

Pemilu serentak sudah barang tentu berdasarkan undang-undang, meskipun setelah pelaksanaannya menjadi perdebatan karena banyak memakan korban jiwa. Pemilu serentak 2019 dilaksanakan berdasarkan hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi dari akademisi Effendi Ghazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak terhadap UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres.

Hakim Konstitusi membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU Pilpres, yang mengatur pelaksanaan pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan Pileg alias tidak serentak.

Selain alasan penghematan waktu dan anggaran, MK mempertimbangkan Pilpres dan Pileg diselenggarakan secara serentak lantaran atas beberapa alasan dan pertimbangan, pertama Pilpres yang diselenggarakan secara serentak mengurangi konflik atau gesekan horizontal di masyarakat.

Dalam sidang gugatan tersebut, Anggota DPR dari Fraksi PDIP Arifin Wibowo mengkalkulasikan jika pemilu digelar serentak akan menghemat anggaran sekitar Rp150 triliun, atau sepersepuluh APBN dan APBD, serta sekitar Rp120 triliun biaya yang dikeluarkan partai dan pihak lain.

Sementara, berdasarkan perhitungan anggota KPU saat itu, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, penyelenggaraan pemilu serentak bisa menghemat anggaran Rp5 sampai Rp10 triliun.

Kedua, pemilu serentak untuk memberikan hak politik kepada warga secara langsung sekaligus sebagai kontrol sosial. Masyarakat dapat mempertimbangkan sendiri penggunaan hak pilihnya untuk memilih presiden dan wakil presiden, serta anggota DPR, DPRD, juga DPD.

Ketiga, untuk menghindari transaksi politik antara kandidat dengan partai politik. Penyelenggaraan Pilpres 2004 dan 2009 yang dilakukan setelah Pileg, ditemukan fakta politik untuk mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai presiden, calon presiden terpaksa bernegosiasi politik dengan partai politik. Sehingga dikhawatirkan mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari.

3. Masa kampanye terlalu lama namun pemilih mengalami ketimpangan informasi

2019 Tahun Drama Politik Berdarah yang Menorehkan SejarahRatna Sarumpaet yang disebut-sebut sebagai ratu hoaks dalam Pemilu 2019 tengah menjalani sidang kasus hoaks. (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Selain rumit, masa kampanye Pemilu serentak 2019 juga menjadi yang terlama sepanjang sejarah pemilu di Indonesia. Berdasarkan jadwal Pemilu 2019, masa kampanye Pilpres dan Pileg dimulai sejak 23 September 2018 hingga 13 April 2019.

Lamanya masa kampanye dinilai menjadi melelahkan. Meski masa kampanye terbilang panjang, namun pemilih mengalami ketimpangan informasi penting mengenai, regulasi, profil kandidat, dan konsekuensi masyarakat jika tidak menggunakan hak pilihnya.

“Ruang publik kita ini lebih menarik disoroti soal kompetisinya, kontekstasinya. Jadi hal-hal yang kontroversi, spekulatif para kandidat, soal partai, soal elit politik, kami perhatikan lebih dominasi ruang publik kita ketimbang soal proses pemilu itu sendiri bagaiman pemilu itu dikelola,” ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini dikutip dari laman perludem.org.

Masyarakat juga dijejali berbagai hoaks atau berita bohong, yang membuat kebingungan dan ketidakpercayaan pada media arus utama. Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat sebaran hoaks di berbagai platform media sosial sejak Agustus 2018 hingga 30 September 2019, berjumlah 3.356 hoaks.

Jumlah hoaks terbanyak ditemukan pada April 2019 yang bertepatan dengan momentum pesta demokrasi Pilpres dan Pileg. Khusus pada April 2019, ditemukan 501 hoaks, disusul Maret berjumlah 453 dan Mei 402 hoaks.

4. Ratusan penyelenggara pemilu meninggal dunia

2019 Tahun Drama Politik Berdarah yang Menorehkan SejarahIlustrasi (IDN Times/Sunariyah)

Tak bisa dipungkiri, Pemilu 2019 menghadapi problematika dan kompleksitas kinerja teknis bagi penyelenggara pemilu di lapangan. Di antaranya adalah masalah distribusi alat perlengkapan pemungutan suara atau logistik, yang menambah beban kerja petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), yang meninggal dunia hingga ratusan.

Tercatat, petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia mencapai 440 orang, sementara petugas yang sakit 3.788 orang. Secara keseluruhan petugas Pemilu 2019 yang meninggal mencapai 554 orang, baik dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun personel Polri.

Selain rekapitulasi banyaknya surat suara, minimnya pelatihan serta pembekalan seputar aturan teknis dan administrasi mengenai proses pemungutan dan penghitungan suara dalam pemilu serentak 2019, menjadi alasan petugas KPPS kelelahan hingga meninggal dunia.

Surat suara tertukar, surat suara yang kurang dan datang tidak tepat waktu juga turut menambah beban petugas KPPS. Proses rekrutmen juga menjadi faktor lain banyaknya petugas KPPS meninggal, karena banyak di antara mereka yang berusia tak lagi muda sehingga rentan sakit.

5. Terbentuk polarisasi di masyarakat akibat politik

2019 Tahun Drama Politik Berdarah yang Menorehkan SejarahPrabowo Subianto menjelang pelantikan sebagai Menteri Pertahanan. (kemhan.go.id)

Meski menjadi pemilu terumit dunia, Pemilu serentak 2019 yang digelar pada 17 April 2019 membawa dampak positif yakni angka partisipasi masyarakat yang cukup tinggi mencapai 80 persen. Namun di sisi lain muncul polarisasi di masyarakat akibat pilihan politik berbeda pada kedua pasangan capres-cawapres.

Perang tagar di media sosial mewarnai sepanjang Pemilu 2019, antara pendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kampanye hitam hingga hoaks juga tak kalah heboh selama pemilu, yang tidak sedikit berujung hingga ke meja hijau.

Tak hanya itu, Pilpres 2019 juga muncul istilah baru dari kedua pendukung pasangan capres-cawapres, yakni "kecebong" bagi pendukung pasangan nomor urut 01, dan "kampret" bagi pendukung nomor urut 02.

Umat Islam juga terpecah karena dukungan politik yang berbeda. Kalangan Muslim konservatif mendukung pasangan capres nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga, sedangkan kelompok Islam moderat menyokong pasangan Jokowi-Ma'ruf.

Kendati, keberhasilan penyelenggaraan Pemilu serentak 2019 menurut Perludem patut mendapat apresiasi di tengah kekurangannya. Indonesia yang mayoritas penduduknya umat Muslim dapat menggelar proses demokrasi dengan lancar, karena penyelenggaraan pemilu 2019 dianggap tidak mudah dilakukan, seperti di Timur Tengah, Muslim dan demokrasi tidak bisa jalan beriringan.

“Kita jadi negara muslim demokratis terbesar dunia. Mematahkan Islam dan demokrasi tidak kompatibel,” kata Titi Anggraini.

Titi pun menyesalkan ada pihak yang berupaya membangun delegitimasi terhadap penyelenggaraan pemilu 2019, karena dianggap tidak jujur. Pendukung pasangan Prabowo-Sandiaga menuding, ada upaya kecurangan pemilu terstruktur, masif, dan sistematis. Namun setelah digugat di Mahkamah Konstitusi tuduhan itu tidak terbukti.

“Padahal ada hukum. Tapi ada bahasa-bahasa people power dan sebagainya,” kata dia.

Usai putusan MK, pasangan Jokowi-Ma'ruf akhirnya ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2019, dan dilantik pada 20 Oktober 2019. Usai pelantikan presiden dan wakil presiden, berbagai partai politik bermanuver untuk mengambil hati Jokowi agar mendapat 'kue' kekuasaan di pemerintahan. Partai-partai yang sebelumnya mendukung pasangan nomor urut 02, berbalik arah mendekati pemerintahan.

Lebih unik lagi, drama politik Pemilu 2019 diakhiri dengan bergabungnya Prabowo yang notabene rival politik Jokowi pada Pilpres 2019 menduduki kursi Menteri Pertahanan dalam kabinet Indonesia Maju. Tak hanya itu, Wakil Ketua Partai Gerindra Edhy Prabowo juga kebagian jatah kursi kabinet sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Sementara, Sandiaga memilih kembali bergabung di Gerindra.

Tentu, jatah dua kursi menteri untuk Gerindra membuat kecemburuan politik bagi partai politik yang selama Pemilu 2019 mendukung Jokowi-Ma'ruf. Seperti Partai Nasdem yang sejak awal mendukung pasangan nomor urut 01, belakangan menunjukkan kekecewaannya dengan mendekati Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang kini ditinggal Gerindra dengan memilih sebagai oposisi.

Selain menteri dan lembaga, jabatan-jabatan strategis di pemerintahan juga diberikan kepada mereka yang mendukung dan menyukseskan pasangan Jokowi-Ma'ruf pada Pilpres 2019. Mulai dari wakil menteri, staf khusus presiden dan wakil presiden, hingga jajaran direksi perusahaan pelat merah. Jokowi pun akhirnya dianggap berlaku politik akomodatif.

 

Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App, unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb

https://www.youtube.com/embed/VPbDYBaVUYM

Baca Juga: [INFOGRAFIS] Fakta-Fakta Pemilu 2019 dari A Sampai Z

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya