IDI: Puncak COVID-19 di Depok Terjadi Juni, Pemkot Terganjal Sarana

Diterpa krisis alat untuk screening massal dan swab test

Depok, IDN Times - Fase puncak pandemik virus corona di Kota Depok diprediksi terjadi pada awal Juni mendatang atau setelah berakhirnya tahap III masa PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Prediksi yang diutarakan oleh Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Alif Noeriyanto Rahman itu, salah satu tolok ukurnya merujuk pada tren kasus positif yang terus bertambah selama dua pelaksanaan PSBB sebelumnya.

Data menunjukkan, penambahan kasus pada tahap 1 PSBB sebanyak 117 orang. Kemudian jumlah itu bergerak naik hingga 121 orang saat rampung PSBB tahap II. Tren naik jumlah kasus tersebut, diprediksi akan tetap terjadi saat rampungnya PSBB tahap III. Kendati fase puncak digadang-gadang berlangsung awal Juni, kemungkinan prediksi bisa meleset terbuka lebar, bila Pemerintah Kota Depok luput melakukan intervensi medis dan non-medis.

Baca Juga: Puncak Pandemik COVID-19 di Indonesia Sulit Diprediksi, Mengapa?

1. Pemkot Depok mesti lakukan tes swab massal

IDI: Puncak COVID-19 di Depok Terjadi Juni, Pemkot Terganjal SaranaIDN Times/Debbie Sutrisno

Kata Alif, akhir dari pandemik COVID-19 dimulai dengan adanya fase puncak. Yaitu di mana kasus positif melonjak tinggi dalam satu waktu secara konsisten atau jumlah kasus tak bergerak secara fluktuatif.

Untuk Depok mencapai pada fase itu, ia berpendapat pemerintah mesti berpacu dengan waktu dalam menyiapkan segala sarana dan prasarana untuk screening massal. Tes swab berbasis Polymerase Chain Reaction (PCR) dalam jumlah banyak dari sebelumnya mutlak dilakukan sebelum beresnya masa PSBB tahap III pada 26 Mei mendatang.

Screening massal dengan tes swab itu, terang Alif, idealnya menyasar hingga 10 persen dari total penduduk. Berarti, sekira 230 ribu jiwa dari total penduduk sebanyak 2,3 juta lebih semestinya menjalani tes swab di bulan Mei ini.   

“Coba dari jumlah 2,3 juta masyarakat, itu 10 persennya kita swab test menggunakan bantuan dari jejaring-jejaring kampung siaga virus corona. Setelah ada screening massal, kemungkinan kita akan temukan angka positif sekira 4-5 persen. Itu artinya bagus, jadi kita bisa segera tracing,”  kata Alif saat dihubungi IDN Times, Sabtu (16/5).

Ketika adanya lonjakan pemeriksaan atau tes swab, maka secara otomatis lonjakan kasus positif akan terjadi. Saat itu, intervensi medis lanjutannya adalah bagaimana Pemkot Depok mampu melakukan tracing secara tuntas, kemudian diikuti dengan langkah mengisolasi pasien.

“Jangan khawatir dengan peningkatan kasus. Karena kalau kita sigap dalam tes, tracing, dan isolasi secara cepat dan tepat, nah kita akan menyelesaikan masalah COVID ini dengan baik,” ujarnya.

“Harapannya ketika sampai pada puncak kasus, kita akan jadi daerah pertama yang selesai wabah COVID-nya,” imbuhnya.

Dalam pandangannya, ketika pemerintah sudah mampu menyediakan pusat-pusat pemeriksaan tes swab dan melakukan screening dalam jumlah banyak, maka imbasnya kurva kasus akan melandai. Termasuk risiko penularan dari Orang Tanpa Gejala (OTG) pun bisa ditekan habis.

2. Terkendala jumlah mesin PCR dan krisis VTM

IDI: Puncak COVID-19 di Depok Terjadi Juni, Pemkot Terganjal SaranaVTM yang diproduksi Fakultas Farmasi UGM. Dok: istimewa

Namun, intervensi medis yang diharapkan tersandung masalah belum lengkapnya Pemkot Depok dalam menyiapkan sarana dan prasarana untuk screening massal dengan tes swab.

Masalah pertama muncul dari minimnya alat PCR yang tersedia. Dari 3 rumah sakit rujukan utama yang ditunjuk pemerintah, hanya satu yang benar siap melayani pemeriksaan COVID-19, yaitu di rumah sakit Universitas Indonesia (RSUI). Jumlah sampel dapat diuji pun masih terbatas, sekitar 140 sampel per harinya.

Sementara RSUD Depok belum bisa melayani penuh pemeriksaan tes swab, lantaran mesti berbagi jatah dengan uji sampel penyakit TBC. Sedangkan RS Bhayangkara Brimob  yang punya dua alat PCR, belum bisa melakukan uji sampel secara massal, menyusul terganjal legalitas. Sebab, alat PCR hanya dapat digunakan untuk pemeriksaan pasien yang dirawat di rumah sakit tersebut.

“RS Brimob butuh izin resmi dari Pemkot Depok dan Pemprov Jabar agar bisa melakukan uji sampel di luar jumlah internal (pasien dalam rumah sakit),” kata Wakil Direktur RS Brimob Kompol Arinando.

Data dari IDI Depok menunjukkan, Pemkot Depok baru bisa melakukan uji swab sebanyak 1.365 sampel. Jumlah itu di luar dari tes swab yang digelar seara mandiri oleh warga.

Belakangan, Pemkot Depok menyadari minimnya alat penguji sehingga baru-baru ini menambah 2 alat PCR, yang segera beroperasi di Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda). Dengan begitu, Depok sebenarnya punya 5 alat PCR yang tersebar di fasilitas kesehatan rujukan pemerintah. Tetapi, yang baru siap 100 persen melayani uji swab secara massal hanya berpusat di RSUI.

Anggaplah bila kelima alat PCR tersebut bisa beroperasi dalam melayani screening massal, namun kata Alif, masalah belum sekonyong-konyong tuntas. Sebab, Depok juga sedang dikrisis VTM atau Viral Transport Medium, yaitu media untuk membawa spesimen sampel lendir hidung dan tenggorokan pasien yang telah melalui uji swab.

“Dari 9 rumah sakit rujukan penanganan pasien COVID-19, hanya 3 rumah sakit yang jumlah VTM-nya cukup. Terutama di RS swasta, ada yang cuma punya 2 dan 5, bahkan ada yang tidak punya sama sekali. Di RS rujukan yang tidak punya alat PCR, itu krisis VTM,” ujar Alif.  

Ia juga mewanti-wanti Pemkot Depok untuk segera menambah jumlah tenaga kesehatan yang menjalankan tugas sebagai pengambil swab, bila semua alat PCR bisa berfungsi melayani uji sampel secara banyak.

3. Jangan sampai COVID-19 jadi wabah musiman

IDI: Puncak COVID-19 di Depok Terjadi Juni, Pemkot Terganjal SaranaIDN Times, ilustrasi virus Corona

Kemudian untuk urusan intervensi nonmedis, Pemkot Depok didesak untuk menekan pergerakan warga selama masa PSBB tahap III ini. Kata Alif, langkah Pemkot dalam mengurai warga di titik-titik kerumunan belum berjalan efektif. Terlebih saat masa bulan Ramadan kini, di mana menjamurnya pasar tumpah yang menjajakan menu takjil berbuka puasa.

“Mesti ada penataan biar berjalan perilaku jaga jarak antar warga saat membeli. Karena ga bisa tiba-tiba kita membubarkan,” tuturnya.

Pun untuk urusan pembatasan moda transportasi. Ia menilai pemerintah daerah lemah dalam bernegosiasi dengan pemerintah pusat, semisal ketegasan dalam pembatasan KRL. Ia lantas mewanti-wanti skenario terburuk, bila tak ada ketegasan pemerintah dalam hal intervensi medis dan non medis.    

“Jangan sampai COVID-19 ini gak bisa selesai, karena bisa nanti yang terjadi seperti DBD. DBD itu kan gak selesai-selesai, ada musimnya. Kalau kita gak tegas, nanti virus ini juga ada musim-musimya,” kata Alif.

Persebaran total kasus positif di Kota Depok sendiri mencapai 395 orang dan 21 orang di antaranya meninggal dunia per Sabtu. Jumlah itu menjadikan Kota Depok sebagai wilayah kedua dengan kasus positif tertinggi di kawasan Jabodetabek, setelah Jakarta.   

Baca Juga: BIN Prediksi Puncak COVID-19 pada Juli 2020, Mencapai 106.287 Kasus

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya