"Topi Sinterklas Itu Urusan Dagangan, Bukan Iman"

Tak jauh berbeda dengan ketupat

Ribut-ribut tentang fatwa MUI yang melarang umat Muslim memakai atribut Natal, termasuk topi Sinterklas, menyita perhatian publik beberapa hari terakhir ini. Beragam respon diberikan oleh masyarakat, terutama setelah kemarin sekelompok massa FPI mendatangi sejumlah pusat-pusat perbelanjaan besar di Surabaya dengan "dikawal" oleh pihak Polrestabes dan Brimob Surabaya.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam, menjelaskan barang-barang dalam sebutan atribut keagamaan adalah yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.

Tak ada paksaan maupun ancaman pemecatan jika tak mau pakai topi Sinterklas.

Topi Sinterklas Itu Urusan Dagangan, Bukan ImanStevie Widya/Dokumentasi Pribadi

Salah satu pusat perbelanjaan yang didatangi FPI kemarin adalah Grand City Mall. Sebelumnya, di tahun 2015, FPI pernah melakukan hal serupa di mal ini. Stevie Widya, selaku Operational Manager Grand City Mall, adalah orang yang menemui dan menandatangani kesepakatan dengan FPI dengan poin-poin seperti di bawah ini:

Topi Sinterklas Itu Urusan Dagangan, Bukan ImanStevie Widya/Dokumentasi Pribadi

Saat dijumpai tim IDNtimes.com, Stevie menyebut, "Tak pernah ada pemaksaan dari pihak manajemen Grand City maupun para tenant agar karyawan memakai topi Sinterklas". Ancaman pemecatan pun tak pernah ada bila karyawan tak memakai topi tersebut. Bahkan Stevie bahkan menekankan,

Justru karyawan-karyawan sendiri yang sering bertanya mengapa mereka tak diberi topi Sinterklas

IDNtimes juga sempat menanyakan perihal ini kepada beberapa karyawan di pusat perbelanjaan ini yang sama-sama tak ingin disebutkan namanya. Namun, mereka mengaku tidak ada masalah jika harus memakai atribut Natal. Ketika ditanya mengenai kesepakatan dengan FPI pun mereka pilih bersikap diplomatis dan mengaku menurut pada apapun isi kesepakatan tersebut.

Tokoh Sinterklas adalah produk dongeng Eropa.

Topi Sinterklas Itu Urusan Dagangan, Bukan Imanquotesgram.com

Jika kita mau belajar sejarah sedikit saja tentang asal muasal Sinterklas, barangkali kesalahpahaman tentang topi tersebut bisa dikurangi. Sinterklas (dan kostumnya) bukanlah ciptaan agama Kristen. Tidak ada Sinterklas di dalam ajaran agama ini.

Sinterklas adalah produk dongeng Eropa yang terinspirasi dari seorang uskup baik hati bernama St. Nicholas yang tinggal di Myra -- kini berlokasi di Provinsi Antalya, Turki. Ia suka memberikan hadiah secara diam-diam kepada warga miskin di sekitar tempat tinggalnya. Karena sifat-sifatnya, anak-anak pun menyukai St. Nicholas. Bahkan, saking populernya, hari kematiannya yang jatuh pada tanggal 6 Desember pun diperingati oleh banyak orang yang terinspirasi kisah-kisahnya.

Seiring waktu, ia pun disebut sebagai Bapak Natal dalam budaya Barat -- baik di Inggris, Perancis, Belanda, maupun Amerika Serikat untuk mewakili semangat cinta kasih dan kebaikan saat Natal. Sebutannya pun bisa Sinterklaas, Sinterklas, maupun Santa Claus. Di tahun 1823, Henry Livingston Jr. membuat sebuah puisi berjudul A Visit from St. Nicholas atau T'was the Night before Christmas yang terinspirasi dari St. Nicholas.

Dari situlah legenda Sinterklas mulai berkembang, termasuk tentangnya yang berasal dari Kutub Utara, suka mengendarai kereta rusa, hingga melintasi angkasa saat malam Natal untuk memberi kado. Thomas Nast lah ilustrator pertama yang menggambarkan Sinterklas berdasarkan puisi Livingston di tahun 1863. Namun, Coca Cola bisa jadi adalah pihak yang paling bertanggungjawab dalam penyebarluasan propaganda tentang Sinterklas dan kaitannya dengan Natal di era modern.

Iklan Coca Cola di abad 20 semakin menguatkan anggapan publik tentang Sinterklas dan perayaan Natal.

Topi Sinterklas Itu Urusan Dagangan, Bukan ImanCoca Cola Company via adbranch.com

Anak-anak agensi periklanan pasti akrab dengan berbagai jenis reklame Coca Cola karena perusahaan ini sangat kuat menancapkan akarnya dalam budaya pop. Salah satu penyebab iklan Coca Cola bisa legendaris adalah karena keterlibatan si bapak tua Sinterklas. Produsen minuman bersoda dari Amerika Serikat ini bahkan mendedikasikan satu halaman khusus di situs resminya untuk menjabarkan tentang sejarah bergabungnya Sinterklas dengan Coca Cola dalam iklan bertema Natal.

Singkat cerita, Sinterklas sudah jadi bagian dari iklan Coca Cola jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, yakni di tahun 1920an. Mereka menempatkan iklan tersebut di majalah-majalah seperti The Saturday Evening Post. Inspirasinya? Ilustrasi Thomas Nast. Di tahun-tahun berikutnya Coca Cola turut serta membentuk citra Sinterklas hingga jadi seperti sekarang. Fred Mizen dan dan Haddon Sundblom adalah dua ilustrator awal yang dipekerjakan Coca Cola untuk misi tersebut dan berhasil.

Baca Juga: Setelah Pokemon GO, Kini MUI pun Keluarkan Fatwah Haram Polisi Tidur. Mengapa?

Topi Sinterklas tak ada kaitannya dengan ajaran agama Kristen.

Topi Sinterklas Itu Urusan Dagangan, Bukan Imanunsplash.com

Meminjam frasa yang sering diucapkan mantan presiden SBY, semestinya urusan latar belakang Sinterklas sudah terang-benderang: bahwa ajaran agama Kristen tidak mengenal Sinterklas. Sinterklas bukan bagian dari tradisi, ritual ibadah, apalagi keyakinan dari agama Kristen.

Tak pernah juga ada maksud dari St. Nicholas untuk dijadikan sebuah simbol dari perayaan agama sebesar Natal. Kalaupun ada yang menjadikannya simbol hingga kini, itu adalah buah dari kerja keras perusahaan dan agensi periklanan agar dagangannya semakin laris di bulan Desember.

Ini senada dengan pernyataan dari Romo Widayaka, seorang Romo paling senior di Gereja Kristus Raja di Surabaya.

Atribut-atribut seperti topi Sinterklas itu sebenarnya tidak menunjukkan ciri khas suatu agama. Atribut yang ada lebih ditujukan untuk kegembiraan saja agar lebih semarak.

Romo Widayaka pun dengan tegas mengungkapkan bahwa "tak ada makna sakral" dari topi Sinterklas dalam Kristen. Dirinya pun menghormati tren "anak-anak muda memakai atribut itu hanya sekadar untuk bersenang-senang" yang berarti "bukan untuk menunjukkan iman mereka". Romo Widayaka juga menyinggung atribut lain seperti pohon terang atau pohon Natal. Menurutnya, pohon Natal yang ada sekarang ini lebih bersifat komersil. Itu sudah menjadi suatu hiasan untuk meramaikan suasana dan lebih mengacu pada "dalil bisnis".

Tak ada yang perlu ditakuti dari topi Sinterklas.

Topi Sinterklas Itu Urusan Dagangan, Bukan Imandarkroom.baltimoresun.com

Pernah ada ungkapan bahwa "jika kamu masuk ke dalam garasi, itu tak serta-merta membuatmu menjadi mobil". Hal yang sama bisa diterapkan kepada pemakaian atribut Natal, salah satunya topi Sinterklas. Memakai topi yang diciptakan dari dongeng zaman dulu, kemudian dipopulerkan oleh sebuah perusahaan minuman bersoda semestinya tak langsung dipahami sebagai pengkhianatan terhadap keyakinan akan Tuhan atau agama tertentu.

Fatwa -- yang menurut tokoh besar Nahdlatul Ulama Mustofa Bisri tak lebih dari opini dan tak punya kekuatan memaksa kecuali kepada yang meminta fatwa -- yang dikeluarkan MUI pun semestinya tak langsung direspon dengan tergesa-gesa oleh kepolisian. Apalagi seperti yang ditunjukan kepada masyarakat kemarin ketika pasukan kepolisian dan brimob menjadi "pengawal" ormas FPI yang mendatangi sejumlah pusat perbelanjaan di Surabaya. Kepercayaan masyarakat pada kepolisian dan pemerintah pun jadi menurun.

Sudah selayaknya kita lebih bijaksana dalam bersikap. Topi Sinterklas bagi Kristen itu tak ubahnya ketupat bagi Islam: keduanya adalah produk budaya yang dikomersilkan, bukan ajaran agama dan tak menunjukkan iman. Untuk lebih menyederhanakannya, orang Kristen di Indonesia tak akan dianggap menistakan agamanya jika tak pakai topi Sinterklas saat Natal seperti halnya orang Islam di Arab Saudi juga tetap Islam meski tidak makan atau merayakan lebaran ketupat.

Baca Juga: Sinterklas Masa Kini Tak Hanya Beri Kado Natal, Tapi Juga Tangkap Pengedar Narkoba

Topik:

Berita Terkini Lainnya