Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
DENSUS. Densus 88 Polri menjadi salah satu 'pemain utama' dalam penanggulangan terorisme di Indonesia. Ilustrasi oleh Rappler
DENSUS. Densus 88 Polri menjadi salah satu 'pemain utama' dalam penanggulangan terorisme di Indonesia. Ilustrasi oleh Rappler

JAKARTA, Indonesia—Menyusul serangkaian aksi terorisme yang mengepung Indonesia dalam beberapa hari terakhir, pemerintah berencana mengebut pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Antiterorisme yang sudah tiga tahun berturut-turut masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan mengancam akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) jika DPR tak kunjung mengesahkan RUU Antiterorisme. Hal itu diungkapkan Jokowi setelah serangkaian aksi bom bunuh diri digelar kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Surabaya pada 13 dan 14 Mei 2018. 

Bukan tanpa sebab RUU Antiterorisme mangkrak pembahasannya. Muaranya, ada banyak pasal yang masih diperdebatkan. Salah satu yang paling mengganjal ialah rencana pelibatan TNI dalam memberantas terorisme. Selain ditolak beberapa fraksi di DPR, para pegiat hak asasi manusia (HAM)) juga mengkritik keras rencana tersebut. 

Default Image IDN

 

Siapa saja yang belum sepakat?

Di Senayan, setidaknya ada 3 fraksi yang masih belum menyepakati sejumlah substansi dalam RUU Antiterorisme, yakni Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat. Menurut Sekjen PPP Arsul Sani, ketiga parpol itu masih mempersoalkan definisi terorisme yang tidak diatur secara rinci dalam RUU. 

“Beberapa fraksi meminta agar motif-motif masuk dalam definisi di batang tubuh RUU. Namun beberapa fraksi, seperti PPP, menawarkan alternatif lain agar motif politik, ideologi, dan ancaman keamanan negara cukup di penjelasan umum,” ujar Arsul di Kompleks Parlemen, DPR, Senayan, Jakarta, Senin 14 Mei 2018.  

Kritik juga dilontarkan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) semisal KontraS, Imparsial dan Amnesti Internasional Indonesia. Pegiat HAM dari Amnesti Internasional Indonesia Puri Kencana Putri melihat desakan agar RUU Antiterorisme segera disahkan merupakan bentuk 'ketakutan' pemerintah sejak teror mengepung Indonesia dalam beberapa hari terakhir.  

Menurut dia, pemerintah harusnya mengevaluasi kinerja pemberantasan terorisme terlebih dahulu sebelum menggeber revisi UU Antiterorisme. Pasalnya, Amnesti kerap menemukan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat penegak hukum dalam pemberantasan terorisme sejak 2003. Salah satunya ialah kasus matinya Siyono, terduga teroris Klaten. Siyono diduga meregang nyawa karena disiksa anggota Densus 88 Polri. 

Default Image IDN

 

Apa saja pasal-pasal bermasalah di RUU Terorisme?

Selain yang terkait definisi terorisme, setidaknya ada enam pasal yang bermasalah dalam RUU Antiterorisme. Pertama, pasal 43b mengenai pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme. Pasal tersebut tumpang tindih dengan dengan Pasal 7 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) yang sudah mengatur hal yang sama.

Kedua, pasal 31 tentang mekanisme penyadapan. Sebelumnya, sempat disebutkan dalam pasal tersebut penyadapan tidak perlu menggunakan izin dari pengadilan negeri. Ketiga, pasal 13a terkait penebaran kebencian. Pasal ini dinilai mengancam kebebasan berekspresi jika tidak diatur dengan ketat penggunaannya. 

Keempat, pasal 43a atau yang kerap disebut sebagai pasal Guantanamo'. Disebutkan dalam pasal itu, ‘penyidik atau penuntut umum dapat melakukan pencegahan terhadap setiap orang yang diduga akan melakukan tindak pidana terorisme untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu yang menjadi wilayah hukum penyidik atau penuntut umum dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan’. 

Kelima, Pasal 12b ayat (5) yang menyebutkan warga negara Indonesia yang merupakan pelaku terorisme dapat dicabut kewarganegaraannya oleh pejabat yang berwenang. Terakhir, pasal 25 yang mengatur tentang perpanjangan masa penangkapan dan penahanan. 

Apa argumentasi pemerintah?

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menegaskan ada dua hal krusial yang menjadi perdebatan antara pemerintah dan DPR sehingga RUU Antiterorisme lambat disahkan, yakni terkait definisi dan pelibatan TNI. Namun, Wiranto menegaskan, pemerintah dan DPR telah mencapai kesepakatan dalam kedua poin krusial tersebut. 

“Kita anggap selesai ada kesepakatan. Kedua, pelibatan TNI bagaimana? Sudah selesai juga. Dengan demikian, maka tidak perlu ada lagi yang perlu kita perdebatkan," kata Wiranto tanpa merinci kesepakatan macam apa yang telah tercapai. 

Sebelumnya, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional KemenkumHAM, Enny Nurbaningsih yang mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU Terorisme, menegaskan, pelibatan TNI akan diatur tersendiri melalui Peraturan Presiden (Perpres). Perpres nantinya akan memperkuat aturan pelibatan TNI yang sudah termaktub dalam UU TNI. 

Disebutkan dalam UU TNI, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme bisa dilakukan lewat keputusan politik presiden. “Agar definisi keputusan politik negara jelas seutuhnya, diperlukanlah Perpres ini. Perpres ini nantinya diterbitkan dengan masukan dari DPR juga,” ujar Enny seperti dilansir Detik.com. 

Apa pendapat pakar?

Kepada Rappler, pengamat terorisme Hasibullah Satrawi sepakat, RUU Antiterorisme perlu segera disahkan. Pasalnya, masih ada sejumlah persoalan terkait terorisme yang masih belum memiliki payung hukum. “Misalnya soal para deportan dari Suriah. Sampai sekarang kan tidak jelas perlakuannya seperti apa? Ini harus segera ada payung hukum yang mengaturnya,” ujar dia. 

Meskipun menilai revisi penting, peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, menegaskan, pemerintah harus berhati-hati dalam menyusun substansi pasal di RUU. “Jangan sampai UU Antiterorisme nanti lebih menakutkan dari terorisme itu sendiri," ujarnya. 

—Rappler.com

Editorial Team