Wacana Amandemen, Ketua MPR: UUD 1945 Bukanlah Kitab Suci

Wacana amandemen UUD 1945 terus bergulir

Jakarta, IDN Times - Ketua MPR Bambang Soesatyo menyebut Undang-Undang Dasar 1945 bukanlah kitab suci. Hal itu menanggapi wacana amandemen terbatas terhadap konstitusi tersebut.

"Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang bukanlah kitab suci. Karenanya tidak boleh dianggap tabu jika ada kehendak, jika ada kehendak untuk melakukan penyempurnaan. Secara alamiah, konstitusi akan terus berkembang sesuai dengan dinamika dan kebutuhan masyarakatnya," kata dia saat berbicara pada acara Peringatan Hari Konstitusi dan Hari Ulang Tahun ke-76 MPR RI, di YouTube MPRGOID, Rabu (18/8/2021).

Baca Juga: [BREAKING] Ketua MPR Sebut COVID-19 Berpotensi Bangkitkan Komunisme-Intoleransi

1. Bamsoet sebut UUD 1945 sangat dimuliakan sebelum masa reformasi

Wacana Amandemen, Ketua MPR: UUD 1945 Bukanlah Kitab SuciIDN Times/Marisa Safitri

Pria yang akrab disapa Bamsoet itu mengatakan UUD 1945 sangat dimuliakan sebelum masa reformasi. Bila ingin melaksanakan amandemen UUD 1945, lanjutnya, harus melalui referendum yang tertuang dalam Ketetapan MPR RI Nomor: IV/MPR/1983 tentang Referendum.

"Di masa sebelum reformasi Undang-Undang Dasar sangat dimuliakan secara berlebihan. Pemuliaan itu terlihat dari tekad MPR untuk melaksanakannya secara murni dan konsekuen, dan tidak berkehendak untuk melakukan perubahan. Kalau pun pada suatu hari ada keinginan untuk mengubahnya, maka harus melalui referendum, harus melalui referendum, ketika itu," kata Bamsoet.

2. Bamsoet sebut amandemen UUD 1945 mengenai PPHN merupakan responsif masyarakat

Wacana Amandemen, Ketua MPR: UUD 1945 Bukanlah Kitab SuciIlustrasi Hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Bamsoet mengklaim masyarakat menuntut UUD 1945 diamandemenkan pada pertengahan 1998. Karena itu, kata dia, MPR langsung menyikapi aspirasi masyarakat tersebut.

Politikus Partai Golkar itu mengatakan MPR segera menyikapi tuntutan masyarakat dengan mencabut Ketetapan MPR RI Nomor: IV/MPR/1983, tentang Referendum melalui Ketetapan MPR RI Nomor: VIII/MPR/1998.

"Pencabutan Ketetapan MPR tersebut memuluskan jalan bagi MPR hasil pemilihan umum 1999, untuk menindaklanjuti tuntutan masyarakat yang menghendaki perubahan Undang-Undang Dasar," ujar Bamsoet.

"Responsifitas yang sama saat ini sedang ditunggu masyarakat, yaitu berkaitan dengan adanya arus besar aspirasi yang berhasil dihimpun MPR, yaitu kehendak menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN)," sambung dia.

Baca Juga: [BREAKING] Ketua MPR Bamsoet: MPR Bakal Lakukan Amandemen Terbatas UUD 1945

3. Wakil Ketua MPR khawatir amandemen UUD 1945 bakal melebar dan belum urgent

Wacana Amandemen, Ketua MPR: UUD 1945 Bukanlah Kitab SuciIDN Times/Irfan Fathurohman

Sebelumnya, Wakil Ketua MPR Fraksi Demokrat Syarief Hasan mengatakan, MPR belum memutuskan apapun tentang amandemen UUD 1945, termasuk terkait PPHN.

"MPR RI belum memutuskan apapun karena masih melakukan pengkajian yang lebih komprehensif dari semua aspek ketatanegaraan. Pengkajian ini penting dilakukan untuk mengetahui, apakah amandemen UUD 1945 perlu dilakukan untuk memasukkan PPHN atau cukup dengan penguatan UU RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional), dan UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai payung hukum rencana pembangunan nasional. Begitu pun pengaruhnya terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia," kata Syarief dalam keterangannya di laman mpr.go.id, Selasa (17/8/2021).

Syarief mengatakan belum ada keputusan apapun dari fraksi-fraksi MPR RI mengenai amandemen UUD 1945. MPR pun, lanjutnya, belum memiliki keputusan final terkait amandemen terbatas.

"Amandemen UUD 1945 berpotensi melebar pada pembahasan lain yang saat ini belum diperlukan antara lain periodesasi jabatan presiden atau wakil presiden, dan sebagainya," ujarnya.

"Masyarakat mengkhawatirkan amandemen UUD NRI 1945 seperti membuka kotak pandora, sebagaimana yang pernah disampaikan Presiden Jokowi. Tidak ada jaminan bahwa amandemen UUD NRI 1945 tidak akan melebar ke mana-mana," kata Syarief, menambahkan.

Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini mengaku mendapat masukan dari para akademisi tentang amandemen UUD 1945, yakni PPHN belum perlu dihadirkan. Sebab, kata dia, pemerintah sudah memiliki RPJPN yang memuat rancangan pembangunan yang berkelanjutan.

"Dari masukan akademisi di berbagai perguruan tinggi, RPJPN yang dikukuhkan dalam UU No 17 Tahun 2007 sudah cukup menjadi landasan untuk pembangunan yang berkelanjutan. Kita hanya perlu melakukan penguatan sehingga RPJPN tersebut dilaksanakan konsisten dan berkesinambungan pada setiap era kepemimpinan," ucap Syarief.

Dia pun mengatakan PPHN tidak urgent. Pemerintah, kata dia, lebih baik fokus menangani wabah COVID-19.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya